Siapa tak kenal rendang? Masakan khas Minang ini sudah mendunia. Rendang dinobatkan sebagai masakan paling enak nomor satu di dunia menurut CNN pada 2011. Namun, seluk-beluknya belum tentu kita kenal. Di dalam bukunya yang berjudul Randang Bundo, Wynda Dwi Amalia mengulas serba-serbi rendang dengan cara menarik.
Nah, tahukah kalian bahwa di daerah asalnya, masakan ini sebenarnya bernama randang? Nama ini mungkin terdengar aneh dan tidak familiar. Namun sebenarnya, nama randang diambil dari merandang, yang dalam masyarakat Minang berarti memasak santan hingga kering secara perlahan. Tepat seperti proses pembuatan rendang.
Selain asal-usul nama rendang, banyak hal lainnya yang belum diketahui orang, seperti lapangan pekerjaan unik yang diciptakan karena pembuatan rendang. Sudah pernah mendengar jasa baruak? Ini adalah pekerjaan memetik kelapa yang dilakukan baruak atau beruk (monyet) untuk membuat santan rendang. Nah, berbagai hal unik inilah yang menjadi dasar penulisan buku pertama Wynda Dwi Amalia.
Baca juga : Cerita Rendang yang Tak Pernah Usai
Buku setebal 120 halaman ini mempunyai desain isi yang sangat menarik, yang mampu memanjakan mata pembacanya. Dilengkapi dengan ilustrasi di tiap lembarnya, mempelajari sejarah rendang menjadi tak seberat belajar sejarah pada umumnya.
Sebuah literatur yang ditulis pada abad ke-19 menceritakan, masyarakat Minang di daerah darek (darat) biasa melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga ke Singapura yang memakan waktu sampai satu bulan melewati sungai. Karena sepanjang jalan tidak ada perkampungan, para perantau menyiapkan bekal yang tahan lama. Dari sinilah tercipta masakan rendang dengan waktu proses perandangan yang lama, yang menciptakan masakan yang tahan lama pula.
Proses memasaknya tidak bisa lepas dari kelapa sebagai bahan dasar yang mencapai 60 persen dari komposisi rendang. Dari situlah tercipta pekerjaan unik jasa baruak. Uniknya lagi, beruk-beruk ini mendapat pelatihan khusus untuk memetik kelapa. Standar pemetik kelapa adalah beruk yang berusia lebih dari enam bulan dan sudah terlatih. Menarik, bukan?
Secara detail, buku ini juga mendeskripsikan pemilik jasa baruak yang biasanya menggunakan sepeda ontel dengan ukuran besar dan dilengkapi dua buah keranjang di sisi kiri dan kanan. Ia mendudukkan si beruk pada bagian bangku belakang saat mengendarai sepeda. Dan, ternyata, meskipun unik, jasa ini tidak sulit ditemukan karena para pemilik beruk biasanya berkeliling kampung.
Hal lain yang patut diketahui adalah rendang memiliki posisi terhormat dalam adat Minangkabau. Bahan-bahan rendang memiliki makna tersendiri. Daging sapi sebagai bahan utama rendang melambangkan niniak mamak dan bundo kandung, yang dipercaya akan memberikan kemakmuran. Kelapa atau karambia melambangkan kaum intelektual atau dalam bahasa Minang disebut cadiak pandai, yang menjadi simbol perekat kebersamaan. Yang terakhir adalah lado atau sambal. Sambal dinilai sebagai representasi alim ulama yang tegas dalam mengajarkan agama. Sungguh rendang sangat kaya makna.
Berbagai ulasan menarik tentang rendang membuat buku ini turut ambil bagian dalam pelestarian kuliner dan budaya Indonesia. Setiap unsur warisan kuliner ini sangat lekat dengan nilai-nilai adat yang tinggi. Mulai dari bahan-bahannya, lama pembuatannya, variannya, semuanya tak lepas dari adat dan budaya masyarakat Minang.
Buku yang dikemas menarik ini mumpuni untuk membuka mata pembaca akan sisi lain kuliner Indonesia, rendang asal Minang. [KIK/Litbang Kompas]