Rendang memang tidak pernah habis memiliki cerita. Mulai dari dinobatkan oleh sebuah kantor berita asing sebagai makanan terlezat di dunia, menjadi salah satu menu resto cepat saji Amerika, hingga menguatkan nasionalisme kala rendang hendak diklaim dan dipatenkan oleh Malaysia. Setelah sempat mengundang polemik, rendang kali ini justru menjadi “pemersatu” antara Indonesia dengan Malaysia.

Hal ini bermula saat salah seorang juri di Masterchef UK mengkritik hidangan rendang ayam dari peserta Malaysia. Juri itu mengatakan, rendang ayam yang dibuat oleh peserta itu tidak renyah. Peserta asal Malaysia itu pun dieliminasi.

Para warganet asal Indonesia dan Malaysia pun menyerbu media sosial milik juri John Torode dan Gregg Wallace. Mereka mendapatkan banyak komentar dari tidak mengetahui seluk-beluk makanan Asia hingga penghinaan terhadap budaya Melayu. Belakangan, protes juga datang dari warganet Brunei Darussalam dan Singapura.

Rendang pun menjadi pembicaraan dan sempat menjadi tren pembicaraan di media sosial global. Secara tidak langsung, rendang kian populer. Lalu, kenapa rendang bisa populer dan mengakar kuat di beberapa negara ASEAN?

Foto dokumen masakankhas.com

 

Resep rendang diperkirakan berasal dari wilayah Minangkabau pada abad ke-16. Tradisi merantau yang dimiliki oleh orang Minang ini dipercaya membawa rendang ke negara tetangga seperti Malaysia. Namun, kapan orang Minang mengenal rendang?

Koran ini pernah menulis tentang rendang dalam liputan khususnya bertajuk Jelajah Kuliner Nusantara berjudul Rendang dan Martabat Minang. Berdasarkan liputan itu, catatan tentang rendang tidak banyak diketahui, padahal rendang dipercaya memiliki aspek penting dalam konteks sosial-budaya orang Minang. Kalaupun ada, sejarawan Minang hanya bisa menyodorkan dugaan.

Ada sejarawan yang mengatakan, rendang sudah pernah disebutkan secara lisan sekitar abad ke-4 dan ke-10. Namun, makanan olahan daging ini baru muncul dalam laporan ulama Islam Syekh Burhanuddin asal Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17. Seiring dengan proses islamisasi Tanah Minang, Syekh Burhanuddin menggunakan makanan olahan daging ini sebagai media syiar Islam. Dia ingin mengubah kebiasaan masyarakat memakan makanan berbahan daging yang tidak halal menjadi halal. Dan kemungkinan itu, rendang.

Foto dokumen citarasaindonesia.co.id

Namun, pendapat lain lagi juga ada berdasarkan catatan tertulis yang paling jelas mendeskripsikan makanan serupa rendang pada abad ke-19. Catatan itu ditulis oleh Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, seorang komandan militer dan residen di Padang yang tinggal pada 1824–1829. Ia menulis bahwa para pedagang Minang yang berdagang ke luar negeri melalui Sungai Kuantan dan Indragiri membawa bekal makanan menyerupai daging yang dimasak kering sampai menghitam.

Nama rendang sendiri belum dikenal saat itu. Nama itu mulai muncul pada 1930 di majalah perkumpulan orang Minang. Walaupun demikian, rendang diduga lahir pada era perdagangan rempah dunia sekitar abad ke-13 dan 14. Pada saat itu, pedagang India menetap di pesisir barat Sumatera untuk berburu lada. Diduga interaksi antara orang Sumatera, terutama Aceh dan Minangkabau dengan pedagang India melahirkan kari dan gulai.

India menurunkan racikan bumbu rempah dan menjadikan Aceh memiliki kari, sementara orang Minang memiliki rendang. Kata ‘rendang’ sendiri berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti ‘randang’ atau ‘marandang’ (rondang di Payakumbuh) yang berarti metode memasak rempah-rempah dan santan dalam waktu lama di atas api kecil.

Foto dokumen nacelopendoor.wordpress.com

 

Kondisi lingkungan Minangkabau yang banyak memiliki pohon kelapa menjadi logis kalau rendang punya kandungan santan yang sangat banyak. Lalu, pedasnya rendang pada awalnya menggunakan lada, tetapi dalam buku Food Culture in Southeast Asia karya Penny Van Esterik, sejak abad ke-19, orang Asia Tenggara mulai mengenal cabai yang dibawa Portugis dari Amerika Tengah. Dengan cepat, orang Asia mengganti lada dengan cabai.

Pada akhirnya, rendang tidak hanya menjadi sekadar makanan, tetapi juga budaya. Masih banyak orangtua Minang yang mengirimkan rendang kepada anaknya yang sedang merantau. Bahkan, saat si anak kembali ke kampung halaman, oleh-oleh yang dia bawa kembali ke tempat rantau adalah rendang. Kini, rendang bahkan sudah merambah ke aspek ekonomi, sebab rendang kini sudah bisa diperjualbelikan dan digemari banyak orang, tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. [*/VTO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 6 April 2018