“Kita semua membutuhkan orang yang akan memberikan kita umpan balik. Begitulah cara agar kita dapat berkembang.” —Bill Gates

Dalam bekerja dan berkarier, orang pasti membutuhkan umpan balik. Mana mungkin seseorang bisa meniti kariernya tanpa sekalipun mendapat masukan dari atasan, pelanggan, atau orang lainnya?

Koreksi, kritik, masukan, dan pujian dalam kegiatan coaching, counselling, dan mentoring adalah contoh pemberian umpan balik. Umpan balik juga dapat menginspirasi, meningkatkan kepercayaan diri, dan menimbulkan kepuasan kerja pada bawahan. Banyak milenial yang mengatakan bahwa mereka menyukai umpan balik dan berharap agar atasannya memberikan lebih banyak umpan balik. Dengan demikian, mereka tahu, pekerjaan mereka diperhatikan.

Namun, tidak jarang, kita menemui situasi dalam organisasi yang umpan balik menjadi tidak efektif. Ada organisasi yang mengatur pemberian umpan balik dengan sangat teratur, berkala, dan terkontrol. Ada juga yang seadanya sehingga tidak mengena, bahkan menurunkan semangat belajar para karyawannya. Ada pimpinan perusahaan yang bisa tanpa kontrol memberi teguran, mulai dari sindiran halus sampai ucapan keras yang tidak jarang menyinggung harga diri karyawannya di depan umum.

Ada atasan yang bingung mencari kata-kata. “Tidak tahu apa yang mau dikatakan,” komentar mereka. Ada pula yang menganggap bawahannya yang tidak kunjung mengerti karena meskipun sudah ditegur dengan beragam cara tetap tidak berubah. Artinya, banyak potensi kegagalan pada proses penyampaian umpan balik ini.

Ini ironis. Riset menunjukkan, 58 persen manajer mengaku sudah melakukan umpan balik. Sebenarnya kalau melihat angka ini, artinya organisasi sudah membangun budaya pembelajaran. Namun, mengapa sulit sekali kita merasakan kalau gejala pembelajaran ini sudah tertanam dalam organisasi? Mengapa banyak manajer yang berhasil mencapai target kinerja, tetapi tidak berhasil dalam mengembangkan perilaku anak buahnya?

Terkadang, dalam pemberian umpan balik, kita sering melupakan inti dan “nilai” dari umpan balik itu sendiri. Dalam organisasi yang kegiatan umpan balik ini sudah menjadi sistem dan keharusan, banyak manajer melakukannya sebagai “tugas yang harus diselesaikan”. Yang penting selesai, tanpa peduli hasilnya sehingga umpan balik malah berujung tidak produktif.

Sementara itu, penelitian lain menemukan, 70 persen pekerja merasa kurang dibimbing, kurang mendapat kesempatan bertatap muka, dan kemudian menjadi disengaged. Bayangkan keseriusan fungsi pemberian umpan balik ini. Para atasan memang perlu benar-benar menguasai cara memberi umpan balik yang pas.

Ada tiga hal yang perlu disadari oleh kita, baik sebagai atasan maupun bawahan. Kita perlu berstrategi untuk membangun hubungan yang bermakna sehingga para bawahan dapat menikmati hubungan yang lebih dalam dengan tempat kerjanya. Umpan balik positif akan membuat pengaruh Anda lebih kuat.

Pertama, pertanyakan apakah pemberian umpan balik Anda merupakan real conversation atau tidak. Hal ini berarti komunikasi yang terjadi bukanlah komunikasi satu arah yang bernada mencerca sampai membuat bawahan Anda tidak mampu menjawab, tidak mampu berkata-kata, bahkan berpikir.

Kim Scott dalam buku best seller-nya Radical Candor mengatakan, seorang pemimpin sejati selalu mampu menunjukkan perhatian personalnya dan sanggup memberi tantangan kepada bawahannya, tanpa membuat mereka merasa kecil atau terpojok. Banyak orang merasa, kalau mereka terlalu baik pada bawahan, bawahan tidak merasa tertantang. Di sinilah seninya. Bagaimana menjadi atasan yang kind and direct, yang tahu cara mengkritik yang tepat.

Kunci dari pemberian kritik adalah kita sendiri sebenarnya sudah memiliki solusinya meskipun tetap meminta mereka untuk mencoba mencari dulu jawabannya. Bawahan juga perlu merasa bahwa kritik yang disampaikan bukan pada pribadinya, tetapi pada pekerjaannya. Jadi, ia tetap memiliki rasa aman dan tidak merasa terancam.

“Saya memberimu umpan balik karena saya ingin kamu maju,” demikian pesan tersirat yang harus diterima mereka. Ingat bahwa bawahan memiliki hak atas perasaannya. Kita tidak bisa mempertanyakan mengapa ia memiliki perasaan tertentu.

Kedua, kita perlu memperhatikan frekuensi pemberian umpan balik. Banyak atau hampir semua perusahaan membuat jadwal pemberian umpan balik. Ibarat hubungan percintaan, bagaimana membuatnya menjadi harmonis bila pembicaraan dari hati ke hati dilakukan 3 atau bahkan 6 bulan sekali? Giving feedback to employees should not be limited to the annual performance review.

Alangkah bedanya bila kita sebagai atasan selalu berada on a feedback mode. Artinya, kita siap bertanya jawab dengan bawahan. Siap memberi umpan balik berarti kita secara teratur melakukan observasi terhadap perilaku bawahan, laporan-laporannya, sampai sikapnya kepada pelanggan dan teman kerja. Bila observasi ini dilakukan bersamaan dengan pemberian umpan balik positif, bawahan tidak akan merasa bahwa ia dalam pengawasan, tetapi justru diperhatikan.

Dari laporan How Millennials Want to Work and Live, ternyata alasan utama para milenial pergi dari tempat kerjanya adalah mereka tidak mendapatkan kedekatan, umpan balik, dan arahan dari atasannya mengenai bagaimana mereka bisa berkembang.

Ketiga, umpan balik haruslah actionable. Banyak atasan yang hanya mengkritik, tetapi tidak memberikan petunjuk bagaimana memperbaikinya. Sebaik-baiknya niat atasan dalam memberi umpan balik, bila mereka tidak paham jalan perbaikan yang harus ditempuh, umpan balik itu tidak akan berdampak positif.

Seorang teman memiliki kebiasaan untuk menuliskan pesan kepada bawahannya tentang apa yang baru saja mereka bicarakan bersama. Hal ini membuat bawahannya merasa benar-benar memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti perbaikan yang sudah dituliskan secara jelas itu. Inilah yang sering disebut sebagai individual development plan dalam teknik coaching. Bisa juga kita meminta bawahan yang menuliskannya dalam pesan untuk kita dan kemudian kita perbaiki bila perlu. Yang penting, hubungan seperti itu perlu dibina secara berkesinambungan. Dan, ini adalah tugas pemimpin.

 

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/ Konsultan SDM

Baca juga: Menyikapi Anak Buah Bermasalah