Cukup lama ia melakukan itu sampai akhirnya merasa frustrasi karena melihat tidak ada perubahan yang berarti dari upayanya ini. Banyak yang seolah tidak peduli pada imbauan untuk menjaga kesehatan. Kebiasaan untuk mencurigai semua orang yang kita jumpai sebagai orang tanpa gejala (OTG) mulai meluntur.
Anggapan bahwa orang-orang di sekeliling kita pasti menjaga kesehatannya dengan baik membuat pertemuan-pertemuan kecil mulai diadakan dan kita cenderung melonggarkan protokol yang sebelumnya digaungkan dengan ketat. Perubahan memang tidak mudah, perubahan harus dikawal terus-menerus agar tidak kembali ke titik awal.
Jadi, apakah perubahan benar-benar bisa terjadi? Kita mengenal kesulitan meng-unlearn kebiasaan-kebiasaan lama. Di sini, kita bisa melihat perubahan palsu yang sebenarnya terjadi hanya sementara. Kepalsuan perubahan inilah yang membuahkan gelombang serangan Covid-19 yang kedua.
Ada juga gejala yang sering disebut they vs us. Setiap orang yang berpikir mengenai perubahan sangat ingin mengatur orang lain kecuali dirinya sendiri untuk berubah. Ia tidak merasa perlu berubah, karena ia yakin bisa mengontrol dirinya sendiri. Padahal, inilah cikal bakal kegagalan perubahan.
Kita tidak bisa mengandalkan penguasa ataupun aparat keamanan untuk menjadi change agent apalagi bila alat perubahan yang mereka gunakan berbau kekerasan dan hukuman-hukuman. Perubahan yang dihasilkan melalui metode seperti itu hanyalah menghasilkan perubahan sementara belaka. Perubahan yang dibuat haruslah berangkat dari dasar pemahaman, kesadaran, dan niat yang kuat sehingga ketika kebiasaan lama kembali lagi.
Individu dengan cepat bisa mengingatkan dirinya sendiri untuk mengarah lagi ke jalan perubahan yang sudah dia sepakati. Oleh karena itu, bukan sekelompok orang, pemerintah, apalagi kelompok elite tertentu yang mencanangkan perubahan. Change agent harus ada di mana-mana, setiap orang harus menjadi change agent dan bertanggung jawab terhadap perubahan di sekitarnya.
“Head” – “heart” – “soul”
Sebagai individu, kita sering enggan menjadi motor perubahan. “Biarkan orang lain yang memimpin, kita ikut saja”, demikian pikiran yang sering muncul di benak individu. Kita khawatir menghadapi penolakan-penolakan dalam proses menginisiasi perubahan. Belum lagi beragam istilah seperti SJW (social justice warrior), yang kerap ditempelkan pada mereka-mereka yang kencang menyuarakan isi hatinya mendorong perubahan di masyarakat sering kali membuat para penggerak ini mengurungkan niatnya.
Namun, kondisi seperti sekarang, ketika kita sangat perlu berubah bila ingin terus bertahan hidup, membuat kita tidak bisa mundur dan menolak untuk menjadi change agent. A change agent is a catalyst for change, a person who can make changes happen by inspiring and influencing others. Kita harus bertanggung jawab terhadap perubahan di lingkungan, baik itu terdiri dari 2–3 orang, 100 orang atau bahkan 1 organisasi ataupun 1 wilayah besar.
dKita tidak boleh tinggal diam saja. Jadi, bagaimana cara kita mengubah orang dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah menetap ini? Tentunya, pertama, kita sendiri perlu mawas diri tentang apa dan bagaimana kita berprinsip dan bertingkah laku. Kita tidak bisa pointing fingers tanpa kita sendiri menjadi orang yang pertama kali berubah. Ada beberapa hal yang bisa menjadi landasan seorang untuk menjadi change agent, yaitu sebagai berikut.
Pertama, seorang change agent perlu punya rasa memiliki terhadap perubahan ini. Ia tidak sekadar tahu, tetapi juga menjadikan tujuan perubahan ini sebagai bagian dari darah daging pada dirinya. Untuk itu, dia harus memiliki keberanian terhadap penolakan, kemunduran, dan hal-hal yang tidak konsisten di lapangan, terutama yang datang dari pihak yang lebih berkuasa.
Kedua, seorang change agent sudah memiliki gambaran yang jelas akan hasil yang akan didapatkan ketika perubahan terjadi. Ia sudah meyakini situasi seperti apa yang akan dijalaninya ketika perubahan sudah terealisasi.
Ketiga, seorang change agent tentunya sudah harus berubah terlebih dahulu. Tidak mungkin ia mendapatkan trust mendorong perubahan bila dirinya sendiri tidak memberikan contoh.
Keempat, seorang change agent perlu berusaha membina hubungan baik, membangun engagement dengan individu-individu yang akan diajak berubah.
Kelima, seorang change agent perlu memiliki kesabaran untuk mendengar, menangkap aspirasi kebutuhan stakeholder dan orang di sekitarnya, sebelum ia berusaha mempengaruhi mereka untuk berubah.
Keenam, seorang change agent harus siap untuk menghadapi konfrontasi, resistensi dan bahkan bully dari orang sekitar yang menolak perubahan.
Ketujuh, seorang change agent harus memiliki kekuatan untuk konsisten mengatasi segala rintangan menuju tujuan perubahan. Ia tidak boleh goyah di tengah jalan.
Kita perlu selalu melakukan sense checking ketika ingin menggaungkan perubahan. Kita perlu bisa mengartikulasikan dengan baik situasi sekarang maupun situasi yang akan kita tuju. “Your self-awareness and long-term vision helps. You must know yourself, the ideas you stand for, your aspirations, your passion for change, its boundaries, and the relationship or disconnection between your self-fulfilling desires and the changed outcome.”
Perubahan yang kita harapkan pastinya tidak mudah. Orang di sekitar bisa mengecewakan kita, menguras energi, bahkan mengajak untuk pindah ke situasi lain yang tampaknya lebih mudah. Namun kita perlu ingat bahwa situasi baru akan menciptakan kesempatan baru, kebebasan, hubungan satu sama lain yang lebih baik dan tentunya hidup yang lebih bermakna. “Let’s keep up acting for change. Have the courage and everything else will come.”
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING