Mengutip Kompascom, nilai ini meningkat drastis jika dibandingkan situasi sebelum pandemi. Pada saat itu, jumlah pengguna internet di Indonesia hanya mencapai 175 juta orang. Namun, pandemi memaksa seluruh orang untuk bertransformasi ke dunia digital.
Di sisi lain, Avina Sugiarto, Partner East Ventures, justru menganggap ini sebagai hal yang positif. Melalui siniar Obsesif bertajuk “Pemberdayaan Ekosistem Digital dan Talenta Baru” dengan tautan akses dik.si/ObsesifAvina, ia mengungkapkan masa inilah yang memperluas peluang untuk mengembangkan diri dan berbisnis.
Mirisnya kondisi dunia digital Indonesia
Indonesia sendiri memiliki sumber daya manusia dengan kuantitas yang bisa dibilang sangat cukup. Sayangnya, jumlah yang besar ini tak sebanding dengan kualitasnya. Data BPS menunjukkan bahwa tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tamatan SD ke bawah (tidak/belum pernah sekolah/belum tamat SD/tamat SD), yaitu 39,10 persen.
Kurangnya kualitas sumber daya manusia juga berpengaruh pada kondisi talenta digital di Indonesia. Banyak dari mereka yang sudah terpapar internet tanpa mengetahui seluk-beluk dan bahayanya. Fenomena ini menyebabkan pemanfaatan dunia digital menjadi kurang tepat.
Kita dapat melihat banyaknya orang yang dengan mudah terkenal secara cuma-cuma. Pendek kata, mereka terkenal bukan karena mencatutkan prestasi melainkan kontroversi. Dengan bermodalkan internet dan gawai yang berada dalam genggaman tangan, orang-orang tersebut bebas berucap tanpa mengetahui konsekuensi dari setiap kata yang dikeluarkan.
Di sisi lain, kita tak bisa mengontrol bagaimana audiens merespons hal tersebut. Alhasil, audiens yang kurang teredukasi berhasil menjadi target pasarnya. Mereka pun dengan bangga menjadi pendukungnya. Bahkan, sering kali meminta konten yang jauh lebih ekstrim.
Tanpa disadari pula, orang-orang yang kurang menyukai konten tersebut berperan menyebarluaskannya. Dengan mengunggah kalimat-kalimat serapah yang mengungkapkan ketidaksukaan, kita justru menarik banyak orang untuk menjadi penasaran. Alhasil, konten tersebut pun dibicarakan banyak orang. Gongnya adalah target sang kreator pun tercapai.
Ia pun menjadi viral dan namanya semakin besar. Orang-orang pun mengundangnya tanpa sadar pijakan moral dari tindakannya. Sebab, yang mereka utamakan hanyalah keuntungan semata. Sementara itu, siklus baru pun sedang terjadi pada masyarakat Indonesia dengan akses yang minim terhadap internet.
Penyebab masalah digital di Indonesia
Adapun penyebab dari masalah ini adalah kurangnya pendampingan. Sudah seharusnya para orangtua mampu mengarahkan bagaimana anak mereka memanfaatkan dunia digital. Namun, di sisi lain, banyak pula orangtua yang minim edukasi dan terjerat siklus baru karena tidak siap menerima informasi digital.
Penyebab lainnya adalah kurangnya kontrol diri. Ketika berada di dunia digital, semua orang berlomba-lomba untuk mengubah hidupnya. Mereka pun bebas berlindung di balik akun-akun yang dapat dimodifikasi sesuai citra yang diinginkan. Alhasil, orang yang di dalamnya tak memiliki batas.
Lantas, bagaimana solusi yang paling efektif? Jawabannya pun tak pasti. Pasalnya, dibutuhkan kerja sama keras antara masyarakat digital dan pemerintah untuk menciptakan ekosistem yang positif.
Sebab, sebagus apa pun program yang ditawarkan pemerintah, jika sikap penggunanya tak mencerminkan kemampuannya, semua hal itu pun bisa menjadi abu tak bersisa.
Ingin mengetahui perspektif lain terhadap topik fenomena ekosistem digital di Indonesia? Dengarkan pendapat lengkap Avina Sugiarto dalam siniar Obsesif bertajuk “Pemberdayaan Ekosistem Digital dan Talenta Baru” di Spotify.
Tak hanya itu, di sana, ada pula beragam informasi menarik seputar dunia kerja untuk para fresh graduate dan job seeker, loh!
Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya. Akses sekarang juga episode ini melalui tautan dik.si/ObsesifAvina.
Penulis: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion