“Sebesar apakah rumah yang kita butuhkan?” Pertanyaan itu dilontarkan arsitek Ahmad Djuhara di Jakarta. Kita, khususnya yang tinggal di kota yang padat, menurut Ahmad kerap kurang peka terhadap pemanfaatan ruang dan kondisi sosial di sekitar.

Ahmad Djuhara aktif di Atap Jakarta, lembaga kerja sama Indonesia-Jepang yang bertujuan mencari solusi arsitektural, terutama untuk kehidupan urban. Beberapa orang peneliti, konsultan, dan arsitek dari Indonesia dan Jepang yang terlibat di Atap Jakarta mengamati bahwa pembangunan rumah sering kali belum memperhitungkan kebutuhan riil tentang rumah itu sendiri dan keadaan sosial budaya yang melingkupinya.

Peneliti Kengo Hayashi mengatakan bahwa kondisi kemasyarakatan di Jakarta saat ini mirip dengan kondisi di Jepang sekitar 30–40 tahun lalu. Hal ini juga berkaitan dengan desain rumah. “Di Jepang waktu itu rumah pun sangat kompleks. Orang Jepang ingin membuat rumahnya sangat nyaman sekaligus melindungi privasi,” ujar Kengo.

Salah satu masalah perumahan yang menonjol, menurut Ahmad, adalah rumah masih terlalu besar. Momen untuk menyadari apakah rumah kita terlalu besar atau tidak, menurut Ahmad, adalah pada saat Lebaran. Rumah terlalu besar ketika kita tidak bisa mengelolanya tanpa pekerja rumah tangga. Sebagian rumah di Jakarta sangat kompleks, ada kamar tidur yang luas, ruang tamu, ruang keluarga, gudang, dapur, semua terpisah-pisah.

Konsep ruang tamu, misalnya, dipertanyakan kembali oleh Ahmad. “Masihkah kita membutuhkan ruang tamu? Pertanyaan saya sebagai arsitek adalah seberapa sering Anda menerima tamu di ruang tamu dalam satu tahun? Sebagian besar berkata satu sampai lima kali, rata-rata tamu yang bukan keluarga. Lalu, apakah kita masih membutuhkan ruang tamu? Ruang tamu itu ruang dan uang yang bisa dipakai untuk hal lain. Ruang tamunya bisa dipotong, uangnya bisa dialokasikan untuk pos lain.” Rumah yang tepat adalah yang kompak, yang besar dan pemanfaatan ruangnya sesuai kebutuhan.

Luas rumah juga terkait penggunaan lahan oleh generasi selanjutnya. Manusia senantiasa berkembang biak sementara Bumi tak meluas. Jika setiap orang, dengan egonya masing-masing, hanya memikirkan kebutuhan rumah untuk diri atau keluarganya sendiri pada saat ini, kita tak bisa menjamin beberapa generasi selanjutnya masih punya lahan untuk memenuhi kebutuhan papan.

Rumah bukan sekadar perkara bangunan tempat tinggal. Perencanaan rumah terkait dengan kemampuan mengelola rumah, pola komunikasi antaranggota keluarga, bahkan keberlanjutan hidup generasi selanjutnya. Selayaknya kita memikirkan ulang konsep tentang rumah sebelum bangunan tegak berdiri. [NOV]

Foto dokumen galeriarsitektur

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 Oktober 2013