Hampir semua orang tidak suka hidup dalam situasi konflik meskipun kadang ada orang yang senang memancing konflik. Bahkan, kadang kita ingin memalingkan muka bila berada dalam situasi tersebut, enggan terlibat di dalamnya. Dalam situasi konflik, sering kali kita mengandalkan pihak otoritas untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, salah satu tugas terberat pemimpin adalah melakukan resolusi konflik dengan jitu. Seorang pemimpin diharapkan bisa memainkan berbagai peran, menggunakan berbagai macam topi yang sesuai dengan segala macam fungsi prosedur dan budaya kelompok untuk membangun hubungan yang harmonis antara berbagai elemen dalam kelompok kerjanya.
Dari sikap para pimpinan negara dalam menyelesaikan konflik, kita bisa belajar bahwa tidak ada cara jitu yang sudah terstandardisasi dalam penyelesaian konflik. Kesemuanya itu sangat bergantung pada situasi, pihak-pihak yang berkonflik, dan kepribadian pemimpinnya sendiri.
Penyebab utama konflik adalah adanya perbedaan. Akar dari permasalahan adalah setiap pihak tidak mampu memahami apalagi menyelami pihak lain dan merasa bahwa jalan pikiran atau tindakannya sendirilah yang paling benar. Saat sekarang, situasi bertambah kompleks dengan adanya perbedaan generasi. Setiap generasi mempunyai pilihan, gaya, nilai dan cara pikir berbeda-beda, yang menambah kompleksitas situasi. Hal yang juga sangat sulit adalah sering kali kesalahpahaman ini tidak berada di permukaan kesadaran individu. Banyak hal yang terbuka dan bisa dibicarakan, tetapi banyak hal yang terpendam dan sulit dibeberkan bersama untuk dianalisis.
Hindari “false harmony”
Banyak pemimpin tergoda untuk menenangkan timnya sehingga suasana tim terlihat harmonis. Apalagi bila pemimpin adalah manajer menengah yang ingin memberi kesan kepada atasannya bahwa ia pandai memimpin tim menjadi harmonis. Padahal, bagian besar dari tugas pemimpin adalah menggarap konfrontasi dan mengubahnya menjadi kekuatan.
Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan pendapat atau bahkan menyimpan konflik di bawah meja. Sikap menyimpan api dalam sekam ini akan menimbulkan ledakan masalah yang besar di kemudian hari. Pemimpin justru perlu jeli mengenali potensi masalah dan menggarapnya hingga tuntas sebelum menjadi besar.
Perhatikan “timing” dan informasi
Atasan tidak selalu harus masuk di setiap konflik. Kita perlu bisa read the room, mengenali anggota tim kita. Apakah mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan itu bersama dan berkolaborasi? Kita bisa meraba nada bicaranya, apakah sudah semakin tajam sehingga kita perlu masuk untuk menengahi, atau masih tetap kondusif. Kita pun perlu peka terhadap pesan-pesan yang tidak diucapkan, tetapi hanya dirasakan. Sambil kita juga menakar nuansa emosi kita sendiri dan menjaganya tetap positif karena emosi itu menular. There’s no room in the modern workplace, or anywhere else, for stubborn pride.
Adakalanya kita sulit memilih timing yang tepat juga karena tiba-tiba sudah berada dalam situasi konflik, sementara kita sendiri juga belum jelas mengerti duduk perkaranya. Banyak informasi simpang siur yang beredar, dari fakta sampai asumsi diambil dengan penuh emosi. Dalam kondisi ini, kita perlu memasang telinga baik-baik dan berusaha mendapatkan fakta sebanyak mungkin. Hal terpenting di sini adalah jangan sampai kita panik dan mengabaikan fakta-fakta kecil yang bisa jadi merupakan kunci permasalahan.
Kompromi
Dalam konflik, kompromi adalah situasi yang diidamkan setiap pihak. Kita semua bisa membayangkan indahnya kehidupan yang tenteram dan damai bila kompromi terjadi. Sayangnya, hal ini tidak dengan mudah terjadi. Bagaimana menemukan titik tengah dari dua pihak yang berkonflik ketika keduanya merasa diri sangat benar? Bagaimana kita menemukan resolusi yang sehat dalam kondisi seperti ini? Apa biasanya alasan orang menolak kompromi?
Ada yang mudah seperti ketidaktahuan cara untuk menuju situasi yang kompromistik ini, tetapi banyak yang melibatkan ego yang membuat situasi menjadi sulit karena beranggapan bahwa berkompromi adalah simbol kelemahan dan mengurangi wibawa. Belum lagi bila setiap pihak menuduh pihak yang berseberangan memiliki kepentingan lain di luar kepentingan bersama. Inilah yang sering disebut sebagai konflik kepentingan.
Ada lagi situasi kompromi palsu di mana salah satu pihak mengalah tanpa diskusi, tetapi sebenarnya ia hanya ingin menghindari stres. Dalam hidup berpasangan, hal ini masih memungkinkan karena adanya ikatan rasa sayang yang kuat. Namun, dalam situasi kerja, hal ini lebih sulit karena pihak yang terpaksa berkorban hanya memendam rasa dan suatu saat bisa mengeluarkan rasa tidak senangnya. Hubungan yang tidak seimbang akibat situasi yang win lose ini juga pastinya terasa oleh kedua belah pihak dan mengganggu suasana kerja samanya.
Konflik itu sebenarnya wajar dan perbedaan antar individu tidak perlu destruktif atau menjadi negatif. Bahkan, pemimpin yang berpandangan luas dapat menyulap dan mengubahnya menjadi kesempatan. Contohnya, bila berhasil menemukan kesamaan tujuan dari dua pihak yang berkonflik, kita justru bisa memanfaatkan dua pandangan terhadap satu tujuan dan menggunakan dua pendekatan yang berbeda untuk membuat inovasi baru. Justru hubungan yang tanpa gejolak sama sekali membuat kemajuan pun terhambat.
Resolusi konflik karenanya menjadi suatu hal yang sangat penting karena tidak saja bisa mencegah terjadinya masalah, tetapi justru bisa membuka potensi tiap individu menjadi lebih optimal.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING