Seorang eksekutif di industri farmasi baru saja mendapat jabatan yang menantang. Setelah enam bulan bekerja, ia merasa kehilangan motivasi. Awalnya ia mengira tidak menyukai pekerjaannya. Namun, setelah menyelidiki lebih dalam, ia menyadari bahwa masalah utamanya adalah rasa kesepian.

“Saya menghadiri banyak pertemuan dan berkenalan dengan banyak orang serta rekan kerja, tapi belum merasa benar-benar terhubung dengan mereka,” katanya.

Ternyata bukan jumlah interaksi yang penting, melainkan kualitas dari hubungan yang terjalin. It’s lonely at the top, pepatah yang sering kita dengar karena semakin tinggi posisi kita, semakin terbatas teman yang dapat kita ajak bicara dari hati ke hati, bebas dari penilaian. Setengah dari para CEO melaporkan merasa terisolasi dalam peran mereka.

Seorang karyawan lain menyaksikan rekan-rekannya berbicara penuh semangat tentang akhir pekan mereka. Meski sangat ingin menjadi bagian dari percakapan itu, ia merasa tak mampu mendekati kelompok tersebut karena merasa bukan bagian dari mereka. Ia pun mencoba mengabaikan perasaan terisolasinya, tapi rasa cemas dan tertekannya semakin kuat hingga berdampak pada kinerjanya.

Banyak organisasi mendorong karyawannya kembali bekerja di kantor agar memiliki interaksi yang lebih kuat dengan rekan kerja. Namun, berada seharian di kantor dengan setiap mata menatap layar komputer masing-masing dapat membuat seseorang merasa terasing di tengah keramaian.

Pada kenyataannya, kita menghabiskan sebagian besar waktu bersama dengan rekan kerja, tapi apakah mereka benar-benar tahu apa yang kita pedulikan? Apakah mereka memahami nilai-nilai kita? Apakah mereka berbagi dalam kesenangan dan kesulitan bersama dengan kita?

Kesepian di tempat kerja menjadi fenomena yang semakin sering ditemui. Meskipun kita hidup pada era teknologi yang sangat terhubung, tingkat kesepian justru meningkat.

Vivek Murthy dalam tulisannya, Work and the Loneliness Epidemic, menyampaikan, kesepian tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi dapat berdampak serius pada produktivitas bisnis. Murthy mencatat, kesepian kini bisa dianggap sebagai epidemi kesehatan, dengan lebih dari 40 persen orang dewasa di Amerika mengalaminya. Jumlah orang yang melaporkan memiliki teman dekat juga menurun selama beberapa dekade terakhir.

Kesepian, ancaman kesehatan dan produktivitas

Dalam sebuah penelitian, dampak dari kesepian dikatakan lebih buruk dari obesitas, setara dengan merokok 15 batang sehari. Kesepian memicu peningkatan hormon stres kortisol, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan peradangan kronis dan meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, obesitas, serta kematian dini.

Jadi, kesepian tidak hanya masalah kesehatan mental, tetapi juga berdampak pada kesehatan fisik. Di rumah, anak-anak yang kesepian mencari pengisi hati mereka dari media sosial yang berpotensi menjerumuskan mereka dalam situasi berbahaya.

Selain itu, kesepian di tempat kerja memiliki konsekuensi bisnis yang nyata. Karyawan yang merasa terisolasi menunjukkan penurunan performa kerja, kurangnya kreativitas, dan ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan. Kesepian juga dapat mempercepat tingkat turn over dan membuat karyawan merasa burn out.

Memitigasi kesepian di tempat kerja

Gallup menemukan, mereka yang bekerja lebih sedikit yang mengalami kesepian (20 persen) dibandingkan yang tidak memiliki pekerjaan (32 persen). Di sinilah peran penting organisasi untuk membantu individu mengatasi rasa kesepian ini.

Banyak organisasi menganggap acara sosial seperti happy hour atau team-building dapat memperkuat hubungan antarkaryawan. Padahal, kegiatan bersosialisasi semacam ini belum tentu menciptakan koneksi yang bermakna. Yang dibutuhkan adalah interaksi lebih mendalam, autentik, dan berbasis empati.

Baca juga: Berkompetisi pada Era VUCA

Salah satu cara melawan kesepian dengan mengorkestrasi empati atau merencanakan interaksi sosial dengan memprioritaskan rasa empati. Beberapa organisasi mulai mendorong aktivitas yang mendorong karyawan berbagi cerita mengenai dirinya sendiri selama 5–10 menit setiap hari.

Mereka dapat bercerita mengenai keluarganya, hobinya, apa pun yang mereka ingin bagikan mengenai diri mereka. Ini berhasil memperdalam hubungan di antarkaryawan meskipun tidak merata.

Selain itu, menunjukkan kepedulian dengan saling membantu ketika seorang karyawan pindah rumah atau menghadapi kesulitan—juga bisa membangun persahabatan yang lebih tulus di atas hubungan kerja. Langkah-langkah kecil ini bisa membuat perbedaan besar dalam membangun lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.

Pentingnya psychological safety

Prof Amy Edmondson dari Harvard Business School, pelopor penelitian psychological safety, menemukan, karyawan lebih mungkin mengajukan pertanyaan, menyampaikan kekhawatiran, dan mengakui kesalahan dalam lingkungan yang memberikan rasa aman. Tanpa ini, karyawan cenderung menutup diri dan menghindari koneksi yang mendalam dengan rekan-rekan mereka.

Ketika seseorang merasa aman untuk terbuka, mereka lebih mungkin menunjukkan kerentanan yang pada akhirnya bisa memperdalam hubungan interpersonal. Mengakui kegagalan atau tantangan yang dihadapi di luar pekerjaan bisa menjadi jembatan untuk membangun hubungan yang lebih dalam. Tanpa rasa aman, karyawan cenderung menjaga jarak secara emosional, yang berdampak pada semakin kuatnya perasaan kesepian.

Menciptakan psychological safety memerlukan komitmen dari pemimpin organisasi. Pemimpin harus memberikan sinyal yang jelas mendukung karyawan yang berbicara. Mengadakan pertemuan empat mata dengan karyawan, berbicara tentang hal-hal pribadi dan kehidupan di luar pekerjaan dapat menciptakan ruang aman untuk terbuka dan merasa dihargai. Pada gilirannya, ini bisa memperkuat hubungan sosial di tempat kerja.

Pimpinan harus bersedia untuk menunjukkan sisi kerentanannya guna membangun hubungan yang lebih kuat. Ingat, kesepian adalah musuh yang tidak terlihat di tempat kerja, dan solusinya tidak hanya terletak pada teknologi atau kebijakan perusahaan, tetapi juga hubungan antarmanusia yang bermakna.

Dengan memprioritaskan koneksi sosial dan menciptakan rasa aman secara psikologis, kita dapat mengurangi risiko kesepian yang merusak produktivitas, kesehatan, dan kesejahteraan karyawan.

“Rasa sakit karena kesepian adalah salah satu yang tidak pernah bisa benar-benar dipahami. Rasanya seperti terperangkap di sebuah ruangan tanpa pintu atau jendela.”

Anonim

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.