Pernahkah kita merasa langsung “klik’ dengan seseorang, sementara dengan yang lain tetap canggung meski sudah lama kenal? Situasi seperti ini kerap terjadi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di tempat kerja. Perbedaannya sering kali terletak pada sambung rasa, sinyal dari keterhubungan emosional yang dalam psikologi dikenal sebagai rapport. Istilah ini merujuk pada jembatan psikologis tak terlihat yang menghubungkan orang-orang melalui rasa percaya, pengertian, dan niat baik.
Sekilas, membangun rapport tampak sederhana, cukup dengan senyuman, obrolan ringan, atau basa-basi. Namun, kedekatan yang tulus tidak otomatis tercipta hanya karena percakapan yang seru dan penuh tawa. Banyak orang tetap merasa sulit menjalin koneksi, bahkan dengan rekan yang ditemui setiap hari. Bukan karena kurang ramah, melainkan tidak benar-benar hadir atau memahami apa yang membuat seseorang merasa terhubung.
Rapport sejati lahir dari niat tulus untuk memahami orang lain, dengan mendengarkan penuh empati dan menyisihkan ego. Banyak profesional, terutama pimpinan, terbiasa mengarahkan, bukan membangun hubungan. Mereka fokus menyelesaikan tugas, memberi instruksi, dan menjaga jarak profesional. Tanpa sadar, sisi kemanusiaan perlahan memudar, tergantikan komunikasi yang efisien, tetapi hambar.
Christina Hillsberg, mantan analis CIA, menyadari pentingnya membangun kepercayaan, baik di dunia intelijen maupun di industri teknologi. Menghadapi keraguan terhadap ide-idenya, ia mengubah pendekatannya. Ia menerapkan teknik “You, Me, Same Same” yang dipelajari di CIA, dengan membangun kesamaan dan hubungan yang lebih tulus. Ia hadir bukan sebagai ahli, melainkan pendengar dan pembelajar yang ingin mengenal. Dari situ, percakapan menjadi lebih cair, kepercayaan pun tumbuh, begitu pula penerimaan terhadap gagasannya.
Ketika asumsi menutup rasa ingin tahu
Seorang pimpinan pernah mengeluh soal sulitnya mempertahankan karyawan muda. Ia merasa sudah memberi arahan dan evaluasi rutin. Namun, saat exit interview, suara yang terdengar justru sederhana, “Saya merasa semuanya baik-baik saja, hanya saja saya tidak merasa terhubung dengan atasan saya. Rasanya selalu ada jarak.” Tak ada yang salah secara sistem, tetapi hubungan terasa terlalu mekanis. Seolah tak ada ruang untuk kebersamaan yang hangat, untuk rasa saling mengerti yang tumbuh alami.
Sering kali, kegagalan membangun rapport bermula dari asumsi. Kita mengira atasan terlalu sibuk untuk obrolan pribadi. Kita merasa klien hanya peduli pada hasil. Kita pikir tim hanya butuh instruksi. Tanpa sadar, asumsi ini membatasi cara kita hadir dan berinteraksi. Akibatnya, percakapan jadi dangkal dan hubungan kehilangan kedalaman. Padahal, seperti dikatakan Julia Martins dari Asana, “Orang tidak hanya ingin didengar, mereka juga ingin merasa dimengerti.”
Rapport yang ubah segalanya
Seorang relationship manager di sebuah bank terus-menerus gagal mencapai target. Bukan karena ia tak menguasai produk, melainkan terlalu cepat menawarkan. Ia selalu memulai dari solusi, bukan dari hubungan. Setelah mencoba active listening dan mulai bertanya tentang harapan nasabah, kehidupan keluarga mereka, atau sekadar, “Bagaimana akhir pekan kemarin?”, segalanya berubah.
Ia tidak hanya menutup lebih banyak penjualan, tetapi juga membangun hubungan yang lebih kuat dan tahan lama. Ia sadar, kepercayaan tumbuh dari perhatian dan kehadiran yang konsisten. Kita menyapa atau mengingat nama anak kolega bukan karena strategi, tapi karena kita benar-benar peduli.
Mike Schultz dari RAIN Group menegaskan, produk terbaik saja tidak cukup. Ketika ada pilihan, orang cenderung membeli dari yang disukai dan dipercayai. Artinya, keputusan tidak hanya ditentukan oleh kualitas produk, tetapi juga kualitas hubungan. Sejalan dengan itu, Robin Dreeke, mantan Kepala Behavioral Analysis FBI, berkata kita tidak bisa meyakinkan orang untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Namun, kita bisa menginspirasi dengan membuat mereka merasa didengar dan aman.
Di sinilah kekuatan rapport menjadi sangat relevan. Di tengah dunia penuh skeptisisme dan banjir informasi, justru rasa saling percaya dan koneksi yang hangat menjadi fondasi yang paling dibutuhkan.
Rapport tak sekadar teknik, tetapi juga soal niat
Seorang CEO perusahaan ritel pernah bercerita, ia mulai membiasakan diri menyapa satu per satu tim gudangnya. Ia menanyakan kabar anak atau perjalanan pagi mereka. Ini bukan kebiasaan yang mudah karena ia bukan tipe yang peka atau luwes.
Namun, hal-hal kecil itu memantik rasa dihargai yang tak bisa dicapai dengan bonus sekalipun. “Saya butuh waktu tiga bulan untuk dianggap bukan bos yang hanya datang saat ada masalah.” Sejak itu, laporan lebih jujur, inisiatif muncul, dan masalah dibicarakan sebelum meledak.
Mengapa banyak orang kesulitan membangun rapport? Karena hubungan membutuhkan waktu dan kerentanan. Tidak semua orang nyaman membuka diri, apalagi dalam lingkungan kerja yang menekankan efisiensi daripada koneksi personal. Ketika tekanan angka, tenggat, dan ekspektasi mendominasi, perhatian terhadap manusia mudah terpinggirkan.
Dalam banyak pelatihan kepemimpinan, kita belajar teknik komunikasi seperti bahasa tubuh terbuka, nada suara hangat, atau pertanyaan terbuka. Namun, semua itu hanyalah alat jika tidak dilandasi niat yang tulus. Rapport tak sekadar teknik komunikasi, tetapi juga cerminan bahwa kita benar-benar peduli. Ia tidak tumbuh dari satu sesi team building, tetapi konsistensi percakapan yang kecil dan jujur. Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, kebutuhan akan koneksi emosional justru semakin besar.
Apakah kita benar-benar hadir?
Rapport tumbuh dari kepekaan, keberanian memberi ruang bagi orang lain, dan kerendahan hati untuk belajar, bahkan saat kita di posisi lebih tinggi. Ini bukan sebuah tujuan, melainkan cerminan dari cara kita memperlakukan orang lain. Di tengah dunia yang makin terhubung, tetapi dingin secara emosional, siapa pun yang mampu membangun koneksi autentik akan menjadi pemimpin yang diikuti, kolega yang dipercaya, dan manusia yang diingat.
Jika ada satu pertanyaan reflektif setelah membaca artikel ini, mungkin isinya begini, “Apakah saya hadir untuk mendengarkan atau hanya untuk didengar?”
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman & Linawaty Mustopoh
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.