Rasanya belum terlalu lama kita membahas mengenai milenial yang memasuki dunia kerja dan bagaimana kita menjalin kerja sama dengan mereka. Namun, saat ini, mereka sudah ada di sekeliling kita sebagai pemimpin-pemimpin muda.

Bahkan, negara kita pun berani menggadang seorang anak muda yang belum genap 40 tahun menjadi calon pemimpin dari hampir 300 juta rakyat ini. Memang kita melihat banyak bermunculan anak-anak muda yang memiliki dampak yang sangat besar bagi perubahan di dunia.

Namun, jauh di hati kecil, banyak dari kita pasti bertanya-tanya, sudah cukupkah pengalaman yang mereka miliki? Siapkah kita mengambil risiko kegagalan dan memberikan kesempatan kepada para pemimpin muda ini?

Jack Zenger dan Joseph Folkman menyoroti 49 tingkah laku kepemimpinan pada para pemimpin yang dibagi dalam 2 kelompok usia, mereka yang berusia 30-an atau lebih muda dan pemimpin yang berusia di atas 45 tahun. Dari analisis ini, mereka menemukan bahwa kelompok pemimpin yang lebih muda mendapatkan skor lebih positif pada seluruh aspek.

Mereka juga melihat bahwa 44 persen dari kelompok pemimpin yang lebih muda memiliki performa tertinggi dibandingkan dengan pemimpin lainnya. Sementara itu, hanya 20 persen dari kelompok pemimpin yang lebih tua meraih performa ini. Hal ini karena memang tidak mudah untuk mendapatkan posisi kepemimpinan dalam usia yang relatif muda sehingga boleh dibilang para high achiever-lah yang bisa mendapatkan kesempatan tersebut.   

Para pemimpin muda ini juga dikenal lebih siap dengan perubahan. Bisa jadi minimnya pengalaman mereka membuat mereka terbuka dengan beragam kemungkinan. They have the courage to make difficult change,” kata Zenger dan Folkman.

Ciri lain dari pemimpin generasi ini adalah semangat mereka untuk menginspirasi. Mereka memiliki purpose yang lebih besar dari diri mereka dan membuat dunia menjadi lebih baik. Rizky Ashar Murdiono, salah satu anak muda inspiratif menurut majalah TIME, membuat gerakan “Generasi Baik”  yang menginspirasi kaum muda kota untuk masuk ke pelosok daerah dan membangun kekuatan ekonomi di daerah-daerah terpencil. Harapannya, gerakan ini dapat menyeimbangkan ekonomi kota dan desa.

Generasi muda ini juga terkenal dengan kemampuannya hidup dan bertumbuh dari umpan balik. Kemampuan refleksi, mawas diri, mendisrupsi diri sendiri juga tumbuh subur dalam mentalitas anak-anak muda ini.

Ritesh Agarwal drop out dari universitas ketika ia melihat bahwa bukan selembar ijazah yang ia butuhkan untuk mencapai mimpinya. Ia sempat meluncurkan Oravel Travels dengan mencontoh Airbnb dan mendapatkan pendanaan 40 ribu dollar AS. Namun, ternyata bisnis model ini tidak bertahan lama karena kurang sesuai dengan pasar di India.

Ritesh tidak putus asa. Ia terus menggarap model bisnis Oravel dengan mencari tahu apa yang benar-benar dibutuhkan dan diharapkan oleh para pengelana dengan budget rendah. Ia kemudian memenangkan 100 ribu dollar AS dari Thiel Fellowship untuk model bisnis barunya.

Oravel Travel berubah menjadi OYO Hotels and Homes, sebuah jaringan hotel yang memiliki lebih dari 43.000 hotel di 80 negara. Pada usia 27 tahun kekayaan bersih Ritesh Agarwal diperkirakan mencapai 1,1 miliar dollar AS, menjadikannya miliarder termuda kedua di dunia.

Muda dan matang

Banyak pemimpin muda memang dikenal dengan kepiawaiannya hingga membuat organisasi melejit dengan pesat. Namun, kecepatan ini pun menciptakan beragam tantangan. Proses belajar yang biasanya dialami oleh para pemimpin dalam menapaki tangga kariernya bisa jadi banyak terlompati.

Adam Neumann, founder WeWork, sangat dikagumi kecemerlangan dan kharismanya sehingga para investor pun jatuh cinta dengan konsep usaha coworking space-nya. Ia menunjukkan keberanian mengambil risiko dan disrupsi.

Namun, kemudian ia mempraktikkan tindakan yang tidak transparan dalam pengambilan keputusannya, tidak peduli pada peringatan ataupun masukan para stakeholder-nya, berfokus pada ambisinya dan memegang kontrol mutlak. Sampai-sampai dikenal gejala from we to me terhadap gaya kepemimpinannya ini.

Akhirnya, ia kehilangan kepercayaan dari para stakeholder dan mengakibatkan kejatuhan WeWork. Kondisi ini umum terjadi pada organisasi yang dipimpin oleh para founder yang sering merasa paling tahu tentang apa yang terbaik untuk organisasi yang sudah dibuatnya menjadi besar ini.

Kita perlu ingat bahwa kita tidak mungkin memiliki solusi terhadap semua persoalan. Di bangku sekolah pun, mereka yang memiliki sikap “know it all” cenderung tidak disukai. Inilah pelajaran pertama yang harus dipahami pemimpin muda. Kita perlu bersikap reseptif terhadap masukan orang dan jujur dalam mencernanya.

Semakin banyak kita mendengar dari berbagai pihak termasuk juga anggota tim kita, semakin kita dapat melihat permasalahan dengan lebih jelas dan obyektif.  “It doesn’t make sense to hire smart people and tell them what to do; we hire smart people so they can tell us what to do.”

Pemimpin muda juga perlu mempersiapkan kultur perusahaan. Budaya koboi yang biasa marak di dunia start up membanggakan aturan tanpa batasan. Namun, hal ini tentunya sulit dipertahankan manakala perusahaan berkembang semakin besar.

Pemimpin juga perlu belajar bagaimana menebarkan visi jangka panjangnya sehingga setiap insan di bawahnya memahami dengan baik visi tersebut untuk dapat bersama-sama bergerak mencapainya. Jeff Bezos meyakinkan timnya bahwa Amazon harus menjadi perusahaan customer oriented pertama di muka bumi. Kejelasan visi inilah yang membuat Amazon menjadi besar seperti sekarang.

Selanjutnya, sebagai seorang pemimpin kita harus sadar bahwa it’s not about you anymore. Kita perlu mengalihkan fokus bukan lagi pada perkembangan karier kita sendiri, melainkan anggota tim kita. Hal ini memang tidak mudah, apalagi ketika banyak dari anggota tim kita justru lebih senior. Bagaimana kita dapat mengenali kebutuhan dan kekhawatiran mereka serta membantu mereka mengatasi masalah–masalah tanpa mereka merasa digurui oleh “anak kecil”. Take the time, work with your team and earn their respect.

Ternyata baik tua maupun muda, pemimpin tetap perlu mengagendakan keseimbangan antara mendengar, belajar, mengajar, dan terus berkembang. It requires the courage to take bold risks but also the wisdom to recognize when a course correction is needed.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Baca juga: Lengser Cantik