Sangat sulit dipercaya bila perempuan tetap rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meskipun ada komitmen dan janji suci dalam pernikahan.
Pasalnya, KDRT merupakan perilaku berbahaya, tindak pidana, dan dapat mengancam nyawa. Bila korban KDRT tidak menyadari dirinya sedang berada dalam hubungan membahayakan, bukan tidak mungkin tindakan KDRT akan semakin berat dan luas eskalasinya.
Perihal KDRT ini dibahas juga dalam siniar Obrolan Meja Makan bertajuk “Menyikapi Pasangan yang Melakukan KDRT” yang dapat diakses melalui tautan https://dik.si/OMMPasanganKDRT.
Bahkan, tidak jarang KDRT berujung pada hilangnya nyawa korban. Sayangnya, banyak korban KDRT yang tidak menyadari dan menormalisasi kekerasan dalam kehidupan rumah tangga.
Keadaan seperti inilah yang menjadi salah satu hambatan implementasi Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yaitu UU Nomor 23 Tahun 2004 yang nyatanya sudah 18 tahun memberikan payung bagi korban KDRT.
Tentunya, KDRT tidak hanya membahayakan korban, tetapi juga membuat trauma terhadap anak. Lebih dari itu, KDRT merupakan penyakit masyarakat yang berdasarkan pada budaya masyarakat yang menempatkan laki-laki dewasa di posisi superior, sementara perempuan dan anak-anak inferior.
Itulah mengapa korban KDRT kerap akan bertindak atau menolong dirinya bila lingkungan sekitarnya mampu memberikan dukungan positif untuk melaporkan adanya tindak KDRT.
Oleh karena itu, anggapan masyarakat tentang kekerasan sebagai sesuatu yang wajar dalam rumah tangga yang telah menjadi budaya haruslah diubah.
Lantas, bagaimana caranya menyikapi KDRT?
Sosialisasi KDRT
Pemerintah tidak boleh merasa cukup hanya dengan mengeluarkan kebijakan. Ini karena penting juga bagi lembaga pemerintah untuk melakukan pendampingan dan pengarahan terkait tindakan yang harus dilakukan oleh korban KDRT. Akan tetapi, pendampingan dan pengarahan ini harus berlandaskan kesadaran gender, usia, dan non-diskriminasi.
Dalam penerapannya, masyarakat juga harus menyadari bahwa bentuk kekerasan tidak hanya berupa fisik, tetapi juga psikis. Terlebih, KDRT kerap ditutup-tutupi dengan dalih aib keluarga yang tidak boleh diketahui orang lain atau dilaporkan. Itulah sebabnya, kasus KDRT jarang muncul ke permukaan.
Dengarkan informasi selengkapnya seputar menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, perasaan berduka, dan persoalan rumah tangga hanya dalam siniar Obrolan Meja Makan. Akses sekarang juga episode bertajuk “Menyikapi Pasangan yang Melakukan KDRT” melalui tautan https://dik.si/OMMPasanganKDRT.