Memberikan yang terbaik untuk buah hati adalah hal esensial bagi setiap ibu. Salah satu hal utama yang dapat diberikan kepada anak sejak pertama kali hadir ke dunia adalah air susu ibu (ASI).
Kebaikan kandungan ASI sebagai nutrisi terbaik untuk anak memang tak pernah terbantahkan. ASI mengandung gizi yang tinggi dan sangat bermanfaat untuk kesehatan bayi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun merekomendasikan agar setiap bayi mendapat ASI eksklusif selama enam bulan. kemudian, pemberian ASI eksklusif dilanjutkan hingga anak usia dua tahun bersama makanan pendamping ASI menjadi cara optimal untuk mendukung kesehatan anak.
Diakui, menyusui menjadi hak dasar setiap ibu, termasuk ibu bekerja. Sayangnya, riset membuktikan bahwa kembali bekerja kerap menjadi salah satu pemicu kegagalan pemberian ASI eksklusif di Tanah Air. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, angka cakupan ASI di Indonesia hanya 42 persen. Angka itu tentunya masih jauh di bawah target WHO dengan cakupan ASI minimal 50 persen.
Mengutip siaran pers Breastfeeding Week 2015 yang diadakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada Agustus lalu, faktor pengganjal pemberian ASI di antaranya tidak semua tempat kerja memiliki suasana yang mendukung pekerja untuk tetap menyusui. Sering kali atasan dan rekan kerja kurang memberikan kesempatan terutama dari segi waktu, misalnya jeda saat bekerja untuk memerah ASI.
Jarang pula kantor yang menyediakan privasi memerah ASI dan fasilitas yang memadai bagi ibu bekerja yang sedang menyusui. Padahal, pekerja perempuan sangat tergantung dengan lingkungan bekerja untuk dapat terus menyusui bayi mereka.
Selama kurang lebih delapan jam bekerja, pekerja yang menyusui membutuhkan waktu memerah ASI secara rutin setiap 2–3 jam sekali. Setiap kali memerah dibutuhkan waktu sekitar 15–20 menit.
Selain waktu memerah dan hak cuti melahirkan yang diberikan selama 12–16 minggu, penjadwalan dan pembagian kerja yang fleksibel juga berperan penting. Dukungan ini tentu akan membuka lebar kesempatan pekerja memerah ASI untuk buah hatinya.
Ironisnya, kerap kali kurangnya dukungan terhadap pekerja yang menyusui berbuntut pada kegagalan seorang ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
Pekerja lebih loyal
Dalam seminar media IDAI tentang Breastfeeding Week 2015, Ketua Satgas ASI PP IDAI dr Elizabeth Yohmi SpA IBCLC menerangkan, sebenarnya bekerja tidak bisa menjadi alasan yang membuat seorang ibu kekurangan ASI.
“Sudah menjadi kesadaran bersama bahwa seorang ibu harus tetap menyusui dan mengasuh anak-anaknya meski sudah kembali bekerja. Maka, para ibu bekerja yang menyusui tetap perlu didukung cuti melahirkan, fasilitas penitipan anak, serta waktu istirahat yang tetap mendapat bayaran dan jabatan,†jelas Yohmi.
Padahal tanpa disadari, imbuh Yohmi, sebenarnya tempat kerja akan mendapat manfaat bila pekerjanya didukung untuk terus dapat menyusui. Sayangnya, hal ini belum tersosialisasi secara baik. Perlu diketahui, dengan menyusui, anak lebih sehat dan para ibu bekerja akan lebih jarang absen, yang otomatis mengurangi pergantian karyawan. “Mereka pun akan lebih loyal kepada perusahaan tempat dia bekerja.â€
Negara sesungguhnya secara hukum telah melindungi pemberian ASI dengan mengesahkan PP No 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Melalui peraturan tersebut, semua pihak wajib mendukung ibu menyusui. Tak pelak lagi peran tenaga kesehatan, penyediaan fasilitas kesehatan, serta dukungan keluarga dan pemberi kerja amat diperlukan untuk menyukseskan ibu bekerja memberikan ASI eksklusif. [MR RAHAJENG KRISTIANTI]
noted:Â Pekerja yang Menyusui Harus Didukung