Disrupsi terbesar dalam tahun ini disebabkan makhluk kecil yang bernama virus korona. Reaksi manusia untuk mengantisipasi penularannya pun bermacam-macam.
Ada yang menghentikan kegiatan ke luar rumah, sampai-sampai kegiatan bersekolah dan beribadah pun dilakukan secara daring, ada pula yang mengantre berjam-jam untuk mendapatkan persediaan masker.
Negara yang sudah sangat teratur dan rapi dalam mengorganisasi penanggulangan seperti Singapura pun tetap hampir kewalahan menangani wabah ini.
Di sini, kita bingung. Apakah kita tetap harus bersikap optimistis dan tidak terlalu khawatir untuk bersiap-siap terhadap kemungkinan terburuk? Konon, kita sering mendengar bahwa orang yang banyak waswas alias khawatir, sering dianggap pesimistis, dan mengakibatkan hidupnya tidak maju maju.
Kita memang perlu optimistis dan yakin bahwa pasti akan ada jalan keluar dari semua situasi ini. Jadi, bagaimana kita bisa menanggulangi disrupsi, situasi tidak menentu dan penuh chaos ini? Apakah bisa bersikap positif dan optimistis saja, tanpa berjaga-jaga terhadap hal buruk yang mungkin terjadi, atau sebaliknya bersikap waswas dan berusaha melakukan beragam tindakan preventif sebagai perlindungan, bahkan jalan keluar baru?
Kita boleh memelihara paranoia, asal positif
Tindakan berjaga-jaga agar jangan sampai virus korona menyerang area kita sebetulnya sungguh tidak salah.
Kita bisa juga mengajarkan keluarga bagaimana menjaga kesehatannya dan mengikuti informasi yang reliable tentang beragam cara pencegahannya melalui internet.
Kita pun boleh membeli persediaan yang cukup, tetapi jangan sampai berlebihan karena tumpukan stok yang berlebih pun bisa menjadi sumber penyakit lain.
Perbedaan antara paranoia negatif dan positif adalah pada “masuk akal” tidaknya pemikiran kita. Bahkan, pada masa seperti sekarang, kita perlu memiliki mindset paranoia, asal positif.
Kekuatan mindset paranoia positif sudah terbukti, apalagi seperti saat-saat sekarang ketika kejutan dan perubahan datang terus-menerus. Herb Kelleher, co-founder dan mantan CEO Southwest Airlines mengatakan, “I have predicted 11 of the last 3 recessions.” Pada masa sekarang, bersikap aman-aman saja dan tidak waswas sama sekali adalah sikap yang salah.
Rasa takut memang bisa disebabkan bayangan-bayangan yang belum berfakta. Banyak orang menjadi lemas karenanya. Inilah yang tidak boleh terjadi.
Membayangkan hal terburuk seharusnya membuat kita menjadi kuat dan berani menerobos kesulitan yang mungkin terjadi dengan mencari beragam jalan yang dapat mengeluarkan kita dari situasi tersebut.
Dengan paranoia positif, kita tidak peduli apakah hal yang ditakutkan itu terjadi atau tidak mengingat kita sudah menyiapkan semua amunisi untuk bertempur melawannya.
Paranoia memang bisa membuat kita merasa cemas. Orang yang cemas biasanya cenderung mencari mitra, pelampiasan, atau jalan keluar.
Kebanyakan orang cenderung menularkan kecemasannya pada orang lain. Misalnya saja, di media-media sosial, maraknya penyebaran berita-berita yang belum dicek kebenarannya dengan pernyataan “just info, sharing ajah ya”. Begitu inginnya kita membagikan kecemasan akan hal buruk ini kepada orang lain meskipun dibungkus dengan alasan agar orang lain pun bisa berjaga-jaga.
Padahal, kita seharusnya ingat bahwa kecemasan tidak ada gunanya bila tidak mencari jalan keluar.
Pandangan mengenai stres juga perlu kita ubah. Stres bisa kita anggap sebagai alarm yang timbul bila sedang berada dalam situasi yang tidak bisa dikontrol.
Pada saat itulah kita seharusnya menyadari bahwa kita perlu meninjau kembali posisi kita, menelaah apa yang masih bisa kita kontrol dan antisipasi, dan apa yang tidak.
Biasanya, kalau kalkulasi ini sudah dilakukan secara cermat, tingkat stres bisa menurun dan kita pun bisa menghadapi situasi dengan lebih tenang.
“The Power of Constructive Paranoia”
Selagi musim disrupsi belum terlalu marak, pada tahun 2011 dalam buku Great by Choice Jim Collins sudah berusaha menjawab bagaimana sebaiknya kita bersikap dalam menghadapi keadaan chaotic, tak jelas, dan disruptif ini.
Buku ini didasarkan pada penelitian terhadap beberapa pemimpin yang sudah berhasil melalui tidak hanya pasang surut bisnis biasa, tetapi juga kejadian-kejadian seperti resesi, nihilnya kebutuhan, turunnya harga minyak, dan kemerosotan lain yang terjadi secara global dan tidak disangka-sangka.
Pemimpin-pemimpin ini berhasil menjaga kekuatan finansial perusahaan dalam jangka panjang ketika yang lain justru terpuruk akibat sama sekali tidak waspada terhadap disruptif global. Beberapa di antaranya adalah Andy Grove dari Intel dan Herb Kelleher dari Southwest airlines.
Ternyata, para CEO ini bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan visioner yang tinggi. Mereka juga bukan orang yang tajam dalam meramal masa depan. Selain itu, mereka ternyata juga bukan pemimpin yang kharismatik.
Bill Gates, yang juga termasuk dalam obyek penelitian, memiliki rasa waswas yang tinggi terhadap hal yang bisa merusak dan meruntuhkan Microsoft. Pada tahun 1994, ia sudah memperingatkan karyawannya: “Fear should guide you”. Ia mengingatkan karyawannya untuk selalu memperhitungkan kegagalan secara teratur.
Herb Kelleher sudah bersiap menghadapi 11 resesi walaupun kenyataannya hanya 3 resesi yang terjadi. Andy Grove selalu menggaungkan bahwa di balik cerahnya bisnis, kita tetap dibayangi oleh awan hitam.
Para CEO ini memiliki kelebihan potensi kewaspadaan tingkat tinggi untuk menghadapi kejadian-kejadian buruk yang bisa saja menimpa perusahaan yang dipimpinnya.
Ketakutan yang membayangi mereka senantiasa membuat mereka cermat dalam persiapan dan menentukan action secara gamblang. Kita tidak boleh cemas, takut, apalagi menjadi terpana.
Herb Kelleher, dalam situasi laba yang bagus sekalipun, tetap bersikukuh untuk memotong biaya dan mempertahankan operasi yang seefisien mungkin.
Be prepared for the next storm, baik yang hanya imajinasi maupun riil, demikian selalu dikatakannya. “Sedia payung sebelum hujan,” ini kata orang tua kita.