Usiaku 7 tahun. Aku senang menggambar. Setiap hari, tiada hari tanpa menggambar. Tetapi, kata Mama dan ibu guru, aku harus mulai menambah variasi gambar. Karena aku terlalu sering menggambar wajah manusia. Mereka suka bingung kalau aku membuat wajah orang sedang menangis.

Yola Tsagia, ibu Odilia, menyadari gambar anaknya yang tidak berubah beberapa waktu belakangan. “Dia sudah semakin besar, mungkin mulai sadar kalau ada yang berbeda dengan dirinya. Pernah suatu waktu, ketika dia sedang diajak ke warung oleh mbaknya, ada ibu-ibu yang memperhatikan dirinya sampai kepalanya memutar. Matanya tidak lepas menatap Odil dengan tatapan menyelidik, hingga Odil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namanya anak-anak, ya takutlah kalau dilihatin seperti itu sama orang tidak dikenal. Ibu-ibu pula,” ceritanya.

Pada kesempatan lain, seorang anak kecil menghampiri Odilia yang tengah bermain air di kolam renang. Dengan polos, bocah seumur Odilia itu bertanya, “Kamu kok matanya turun gitu sih?” Odilia pun segera berlari ke ibunya dan menangis.

“Tak apa-apa, Odil. Mata kamu dan mata Mami memang berbeda, tapi tidak apa-apa. Kamu cantik,” Yola meyakinkan Odilia sambil tersenyum.

“Yang kita terapkan adalah kenyataan bahwa memang dia berbeda, tapi it’s okay. Dia mesti paham tentang dirinya meski berbeda dia tetap punya teman,” tambahnya.

Odilia memang tidak seperti anak kebanyakan. Wajahnya khas anak penyandang Treacher Collins Syndrome (TCS). Salah satu penyakit langka yang ditemui pada 1 dari 50.000–70.000 kelahiran. Penyandang TCS memiliki wajah khas, seperti mata yang turun, tidak memiliki tulang pipi, serta dagu dan rahang yang kecil. Berbagai perawatan khusus pun harus dijalani untuk menunjang proses tumbuh kembang dan kesehatan Odilia.

Namun, Odilia tidak berbeda dengan anak-anak lainnya yang senang bermain, belajar, dan diterima di lingkungannya berada. Ya, diterima. Sebuah sikap yang kerap terasa jauh panggang dari api bagi anak-anak penyandang penyakit langka dan keluarganya.

 

Bermula dari “awareness”

“Kita ataupun anak kita pasti akan kena bully. Dan, itu harus kita sadari. Mau ditolak, juga sulit. Dengan orang bertanya, kok matanya begitu sih. Menurut aku, itu sudah bully sebenarnya,” ujar Yola.

Para orangtua dengan anak yang memiliki kelainan langka juga mesti berhadapan dengan berbagai stigmatisasi dari lingkungannya perihal kondisi sang buah hati. Terkena pelet, akibat dosa masa lalu, ada leluhurnya yang pernah main dukun, dan masih banyak lagi, sudah kenyang mereka dengar.

Seorang ibu dari anak penyandang Apert Syndrom pun pernah mendapat berondongan pertanyaan dari salah seorang kerabat terdekatnya mengenai kapan sang buah hati akan segera dioperasi. “Setelah dioperasi, kepalanya bisa ditutupin kan? Itu tangannya cepat dioperasi, deh, nanti kelihatan aneh.” Dan, berbagai pertanyaan lain yang mengikuti. Alih-alih memberi rasa nyaman dan dukungan, yang terasa justru sebaliknya.

Mereka memilih mengabaikan omongan tersebut dan fokus pada kesehatan serta tumbuh kembang buah hati. Mereka pun menemukan kekuatan baru melalui pertemanan dengan orangtua lain yang senasib maupun para penyandang penyakit langka dewasa lainnya.

Pada 24 September 2015, Yola bersama dua rekannya, Wynanda BS Wibowo dan Koko Prabu, mendirikan komunitas Indonesia Rare Disorders. Terdiri atas 60 orang, dengan 60 jenis penyakit langka, dan anggotanya tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia dan warga Indonesia yang bermukim di mancanegara.

Saling berbagi informasi, saling menguatkan, dan saling menjaga menjadi benang merah di antara pegiat komunitas ini. “Orangtua harus bisa menerima keadaan dirinya dan anaknya terlebih dulu. Jika orangtuanya tidak bisa menerima dirinya, akan lebih susah bagi anaknya. Lalu bersikap terbuka dengan orang lain. Jadi, orang lain mau bersikap bagaimana, sudah tidak ambil pusing,” tegas Yola.

Komunitas ini membuka diri bagi siapa pun yang ingin mengenal lebih dekat perihal penyakit langka, yang saat ini terhitung ada 6.000-8.000 kelainan. Pierre-Robin Syndrome, Treacher-Collins Syndrome, Digeorge Syndrome, Donohue Syndrome, Cornelia de Lange Syndrome adalah beberapa di antaranya.

Orang-orang yang bergabung dalam fanpage komunitas Indonesia Rare Disorders di Facebook pun tak melulu orangtua yang memiliki anak berpenyakit langka, memiliki kerabat dengan penyakit langka, ataupun si penyandang itu sendiri, tetapi juga orang-orang awam yang peduli terhadap keberadaan mereka.

Awareness yang tinggi di antara masyarakat diharapkan dapat mengarah pada sikap penerimaan yang perlu diberikan pada setiap penyandang. Agar labelisasi pun berhenti. Dan, anak-anak—maupun penyandang penyakit langka dewasa lainnya—tetap mampu memiliki hidup yang berkualitas.

                Panggil aku, Odilia. Bukan dengan tatapan menghunjam. Apalagi cibiran. Panggil aku, Odilia. Sebuah senyuman tulus sudah mampu menghangatkan hatiku…. [MI RANI ADITYASARI]

noted: Panggil Aku Odilia