Pernahkah kita tidak bisa tidur semalaman karena pikiran yang terus memutar ulang kejadian-kejadian yang sudah lewat, tetapi kita sesali karena tidak merasa cukup baik dalam menjalaninya?  Kita terus berpikir, andai saja kemarin saya berusaha lebih keras untuk meyakinkan para pimpinan perusahaan itu, andai saja saya mempersiapkan materi presentasi yang lebih lengkap, dan “andai saja-andai saja” lainnya.

Selain itu, bisa juga kita tidak bisa tidur karena cemas memikirkan apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Bagaimana kalau ternyata kondisi ekonomi tidak juga membaik, bagaimana kalau anak-anak saya mengalami kecelakaan dalam perjalanan karyawisata mereka, serta bagaimana-bagaimana lainnya.

Para ahli menyebutkan fenomena ini sebagai overthinking, kecenderungan untuk memikirkan suatu hal tertentu secara berlebihan dan berulang-ulang. Dunia kerja saat ini penuh dengan informasi yang berlimpah, kompetisi yang semakin ketat, serta tuntutan pelanggan yang semakin tinggi, tidak heran kita bisa terjebak dalam labirin pikiran sendiri.

Mulai dari menebak-nebak maksud atasan, mengkhawatirkan dampak kebijakan baru, sampai mempertanyakan ulang semua keputusan yang sudah dibuat. Ketika ini terjadi di organisasi, pengambilan keputusan melambat, peluang terlewatkan, bahkan tumbuh budaya menghindari risiko yang dapat menghambat pertumbuhan bisnis. Jika dibiarkan, overthinking bisa menghambat tidak hanya karier, tetapi juga kualitas hidup.

Melody Wilding seorang profesor di Hunter College mengatakan, untuk bisa keluar dari jeratan ini, kita perlu mengenali berbagai wajah overthinking, yaitu rumination (mengunyah masa lalu), future tripping (terjebak masa depan), dan overanalyzing (tenggelam dalam keraguan berlebihan).

Terus mengunyah masa lalu

Ciri khas rumination adalah ketika kita terus-menerus mengulang kejadian yang sudah lewat dengan perasaan menyesal karena merasa seharusnya bisa melakukannya dengan lebih baik. Kondisi ini ibarat seperti hewan pemamah biak yang terus mengunyah ulang rumput yang sama. Hasilnya bukan solusi, melainkan kelelahan. Sering kali, tidak hanya diri sendiri yang dirugikan, tetapi juga kolega yang lelah menghadapi sikap kita yang terus menyesali masa lalu.

Untuk mengurangi dampak buruk hal ini, kita bisa menyusun ulang kalimat-kalimat negatif yang biasanya secara otomatis timbul. Alih-alih berkata, “Saya gagal di rapat tadi,” kita dapat berkata, “Saya belajar banyak hal baru di rapat tadi.” Kita juga bisa berusaha mengambil jarak dari situasi yang ada. Sering kali kita lebih keras terhadap diri sendiri, Kita juga bisa membicarakan dengan orang lain terkait penyesalan kita akan kesalahan yang terjadi. Bisa jadi mereka tidak melihat situasi tersebut sekelam yang kita sendiri bayangkan.

Terjebak masa depan yang belum terjadi

Pada jenis overthinking ini, kita tidak bisa berhenti membayangkan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu, intervensi AI dalam kehidupan dan pekerjaan, dan banyak situasi tidak jelas lainnya. Orang yang future-tripping senantiasa merasa tidak siap meskipun sudah melakukan berbagai persiapan. Tidak cukup hanya membuat rencana A dan B, terus membuat rencana C, D, dan seterusnya. Alhasil, kita terus merasa gelisah tanpa sebab yang nyata.

Baca juga: Seni Mengelola Atasan

Untuk mengatasinya, kita bisa mencoba selective ignorance. Kita memilah untuk mengurangi asupan informasi berlebih (berita-berita buruk). Kita bisa memilih untuk berfokus pada informasi yang bisa dikendalikan dan dibutuhkan saat ini saja.

Terjebak dalam kedalaman yang tak perlu

Berbeda dengan dua jenis sebelumnya yang terikat waktu, overanalyzing mengarah pada kedalaman yang berlebihan. Ini seperti menyelam terlalu dalam padahal yang dicari adalah ikan  kecil di permukaan. Ketika kita selalu merasa belum memiliki data yang cukup, terus mencari pendapat orang lain karena tidak percaya pada penilaian sendiri hingga menunda-nunda pengambilan keputusan, bahkan melewati batas waktunya.

Solusinya adalah satisficing atau membuat keputusan yang cukup baik, bukan yang sempurna. Tentukan tiga kriteria utama yang harus dipenuhi dalam mengambil keputusan. Kita harus ingat, keputusan sempurna hanyalah ilusi. Bahkan, keputusan terbaik pun selalu memiliki risiko kegagalan. Tentukan batas waktu untuk mengambil keputusan terbaik dari data yang dimiliki saat itu.

Langkah kecil berdampak besar

Mengelola overthinking bukan berarti menghilangkan kebiasaan berefleksi ataupun upaya melakukan antisipasi dan perencanaan. Namun, bagaimana kita berlatih cara mengelola pikiran-pikiran itu agar tidak mendikte dan menyiksa hidup kita. Ini memang tidak mudah. Kita tidak bisa sekadar menyuruh pikiran untuk berhenti menyesali masa lalu maupun cemas menghadapi masa mendatang. Semakin ditekan, pikiran-pikiran itu justru akan semakin kuat.

Hal pertama yang perlu disadari dalam rumination ataupun future tripping adalah masa lalu sudah berlalu dan masa depan belum tentu tiba. Menyesali masa lalu tidak akan mengubahnya, sementara mengkhawatirkan masa depan adalah sia-sia karena tidak ada yang bisa memastikan yang akan terjadi di masa mendatang. Kita pernah mendengar seseorang yang terlihat sehat, tiba-tiba mengalami henti jantung di tengah aktivitasnya.

Untuk itu, yang bisa kita lakukan adalah berfokus pada saat ini. Lakukan sesuatu agar kesalahan masa lalu tidak terulang dan masa depan berjalan lancar. Setiap kali pikiran bergerak ke masa lalu maupun mendatang, kita sadari dan dengan lembut menarik kembali pada kondisi saat ini. Dengan terus berfokus pada saat ini, kita menjadi lebih berdaya karena berfokus pada hal-hal yang bisa dilakukan. Perlahan-lahan kebiasaan pikiran yang terus berputar-putar antarwaktu menjadi lebih tenang.

Pikiran adalah alat, bukan penguasa

Overthinking sering kali muncul dari niat baik untuk memberi yang terbaik, ingin menghindari kesalahan, memastikan semuanya aman. Namun, seperti pisau tajam, pikiran yang tak terkelola  dengan baik bisa melukai kita sendiri. Kita perlu belajar mengubahnya menjadi alat bantu, bukan penguasa. Yang membuat hidup terasa ringan bukan banyak sedikitnya beban pikiran kita, tapi bagaimana kita menyikapi pikiran kita. Overthinking bukan kutukan yang harus disingkirkan, melainkan ajakan untuk berlatih agar lebih bijaksana.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman & Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.