Bagaimana kita dapat mempersiapkan mereka agar memiliki kapasitas, kompetensi, dan kebijaksanaan para pendahulunya? Mengapa di banyak organisasi, pemimpin-pemimpin muda yang sudah diberi jabatan lebih tinggi tidak menampilkan geregetnya?
Pengembangan kepemimpinan generasi muda bukanlah sekadar tugas tambahan, melainkan tanggung jawab kita bersama. Kita tidak bisa menganggap bahwa hal ini akan terjadi otomatis, karena itu berisiko melahirkan generasi pemimpin yang tidak siap secara mental dan emosional untuk menghadapi dunia yang penuh tekanan. “If we continue on our current path, we risk advancing a group of leaders plagued by stress, anxiety, and self-doubt.”
Laporan Common Sense Media tahun 2024 mengungkapkan, 81 persen remaja di AS merasa tertekan setidaknya dalam satu dari enam area utama: rencana masa depan, pencapaian akademik, penampilan, kehidupan sosial, teman, dan aktivitasnya. Tekanan ini sering diperparah oleh ekspektasi media sosial yang menuntut mereka untuk selalu tampil “sempurna”.
Kondisi yang dapat meningkatkan kecemasan, depresi, dan burnout di kalangan generasi muda ini akhirnya menghambat perkembangan kepemimpinan mereka. Mereka lebih suka menahan pendapatnya karena takut gagal atau dinilai oleh orang lain. Ini mengakibatkan hilangnya banyak kesempatan untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan karena mereka memilih untuk tidak mengasah keberanian dan ketahanan mentalnya.
Selain itu, generasi muda sering kali berpikir dalam kerangka “hitam-putih”. Mereka cenderung cepat menarik kesimpulan dalam menentukan sesuatu “benar atau salah” sebelum melakukan analisis mendalam. Padahal, sebagai pemimpin, mereka harus berlatih untuk melihat dari berbagai sudut pandang dan berani berdialog dengan pandangan beragam. Kondisi ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk menyiapkan mereka agar dapat menguasai beragam set kompetensi yang dibutuhkan di masa depan.
Generasi mendatang tentunya juga memiliki harapan yang berbeda. Gen Z tidak hanya mencari imbalan finansial, tetapi juga budaya kerja yang sehat dan bermakna. Tantangan kita adalah mencetak pemimpin yang mampu mengelola kompleksitas ini dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan adaptif terhadap tuntutan zaman.
Mereka harus mencari cara mendapatkan keuntungan yang stabil tapi juga mempertimbangkan keseimbangan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Untuk tetap kompetitif, bisnis harus benar-benar menerapkan kepemimpinan yang berorientasi pada nilai-nilai yang mereka anut. Mereka mengharapkan tempat kerja memiliki komitmen nyata terhadap inklusivitas, transparansi, dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Banyak organisasi melakukan penyesuaian struktur agar memudahkan generasi mudanya bergerak sesuai dengan karakter dan preferensi mereka. Organisasi belajar dan mempersiapkan keterampilan para insannya untuk dapat berkomunikasi lintas generasi yang lebih baik, menciptakan sistem yang lebih transparan, termasuk, misalnya, gaya berpakaian informal untuk membangun kenyamanan.
Transparansi dan komunikasi terbuka memang menjadi kunci. Generasi muda juga harus membangun kepercayaan melalui jati diri yang lebih autentik karena mereka tidak sekadar untuk bekerja, tapi juga perlu cepat menggantikan atasannya menjadi pemimpin.
Strategi efektif membina pemimpin muda
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperkecil kesenjangan kepemimpinan saat ini. Pertama, melakukan mentoring secara intensif. Michel Koopman, coach eksekutif, mengatakan, “Focusing on broader goals allows emerging leaders to test their limits without being constrained by strict expectations.”
Di Google, setiap karyawan baru akan mendapat mentor untuk membantu mereka memahami budaya perusahaan serta ekspektasi terhadap peran mereka. Program ini tidak hanya mempercepat peningkatan kompetensi kerja, tetapi menumbuhkan rasa memiliki organisasi. Ini tentunya penting bagi retensi jangka panjang.
Baca juga: Pemimpin, Pentingkah Menyentuh Hati Anak Buah?
Dalam kegiatan mentorship, pemimpin muda bisa mendapat panduan langsung dari pemimpin berpengalaman, memperlihatkan bagaimana menghadapi tantangan sehari-hari, membuat keputusan sulit, dan menumbuhkan rasa percaya diri dalam situasi nyata.
Kedua, berfokus pada softskills. Berbagai perusahaan memberikan pelatihan kepemimpinan yang melibatkan keterampilan komunikasi empatik, bagaimana mengatasi konflik secara konstruktif, menciptakan lingkungan yang mendukung, sampai menumbuhkan ikatan yang lebih kuat antara anggota tim.
Program ini dirancang untuk membantu calon pemimpin muda yang sering memiliki keterampilan teknis tinggi, tetapi kurang dalam ketrampilan intra dan interpersonalnya. Pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik dapat menangani situasi penuh tekanan sambil membangun kekuatan tim dengan memahami dan memberikan respons yang tepat bagi kebutuhan emosi mereka.
Banyak organisasi juga memberikan program menantang bagi para management trainee-nya dengan tugas untuk keluar dari zona nyaman, berkolaborasi dengan rekan dari berbagai bidang, serta cepat beradaptasi terhadap perubahan. Melalui pengalaman memimpin proyek baru atau menghadapi masalah yang rumit, calon pemimpin muda belajar membuat keputusan strategis dan memimpin di bawah tekanan. Ini cara efektif mempercepat pertumbuhan kepemimpinan.
Budaya perusahaan juga sangat penting. Bagaimana mungkin kita dapat menumbuhkan pemimpin muda yang mumpuni bila budaya kerja tidak kondusif.
Zappos adalah contoh perusahaan dengan budaya yang mendorong inovasi dan keberanian. Karyawan didorong bereksperimen dan belajar dari pengalaman, memperkaya keterampilan mereka, sekaligus memupuk mentalitas inovatif dalam kepemimpinan. Budaya seperti ini memungkinkan mereka belajar dari kesalahan dan terus mengasah keterampilan.
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.