A

Di tengah dunia modern yang kian terdominasi nilai-nilai materialistik, menciptakan budaya yang menjunjung etika di organisasi tidak hanya idealisme yang sulit, tetapi juga sering kali dianggap tidak realistis. Zaman ketika harta, kemewahan, dan hasil jangka pendek lebih sering menjadi ukuran keberhasilan daripada niat dan proses yang baik.

Banyak yang meragukan bagaimana kita bisa menumbuhkan budaya yang beradab, menjunjung, tanggung jawab, dan kepedulian tanpa dianggap lamban, idealis, atau naif. Padahal, tidak sedikit organisasi yang runtuh bukan karena persaingan, melainkan krisis moral internal.

Skandal etika, manipulasi laporan, ketimpangan, dan pelecehan yang didiamkan bukan sebuah kejadian tunggal, melainkan lahir dari budaya yang diam-diam menoleransi penyimpangan demi target yang harus dicapai. Untuk itu, etika seharusnya menjadi kompas yang dijadikan pegangan dalam situasi sulit.

Paragon yang merupakan produsen produk kosmetik Wardah sangat percaya pada hal itu. Pendiri Wardah meyakini bahwa nilai-nilai hidup harus bisa dijadikan patokan dalam kehidupan kerja sehari-hari, dalam cara memimpin, bersikap pada rekan kerja, menerima tantangan, maupun merespons kesuksesan.

“Bisnis tidak hanya untuk mencari laba, tetapi juga memberi manfaat yang lebih luas,” kata Nurhayati Subakat. Wardah berkomitmen memastikan waktu karyawan untuk beribadah dapat terlaksana dengan baik, melakukan program CSR secara rutin setiap tahun, sampai tidak menggunakan iklan yang menonjolkan aurat atau seksualitas.

Etika dan nilai keagamaan menjadi sumber kekuatan yang membuat perusahaan tumbuh secara berkelanjutan dan dipercaya oleh masyarakat luas.

Yvon Chouinard, pendiri Patagonia, perusahaan pakaian outdoor yang aktif mengampanyekan pelestarian lingkungan, sejak awal berkomitmen untuk menolak fast fashion, mendorong perbaikan pakaian lama, dan secara transparan membuka rantai pasoknya kepada publik. Ia membuktikan, bisnis bisa bertumbuh tanpa mengorbankan prinsip.

Budaya etis tidak hanya soal bersikap baik atau menaati aturan, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa perusahaan atau negara dapat menjadi tempat aman bagi warganya, melindungi dari praktik eksploitatif, merawat kesejahteraan, dan menjamin keberlangsungan jangka panjang.

Membangun budaya etis sebagai aset

Membangun budaya etis adalah pekerjaan panjang. Dimulai dari memberi teladan. Pemimpin yang berani mengakui kesalahan, terbuka terhadap masukan, dan konsisten dalam tindakan akan menumbuhkan kepercayaan.

Professor Harvard Business School Nien-hê Hsieh mengatakan,  “Membentuk dan mempertahankan budaya organisasi merupakan aspek kritis dari tanggung jawab seorang pemimpin terhadap karyawan mereka.” Kepemimpinan yang autentik dan bertanggung jawab adalah fondasi awal.

Maryam Kouchaki juga mengatakan, “Sangat naif untuk menganggap bahwa siapa diri Anda di tempat kerja dan siapa diri Anda di rumah dapat dipisahkan.” Artinya, etika tidak bisa kita perlakukan sebagai tempelan tulisan di kantor yang tidak kita bawa pulang.

Baca juga: Mewariskan Jam Terbang di Tempat Kerja

Seorang eksekutif yang ingkar di rumah tangganya dengan berselingkuh, tidak mungkin bersikap etis dalam menghadapi konflik di pekerjaan. Moral pemimpin harus hadir dalam setiap keputusan di setiap aspek kehidupannya.

Membangun budaya beretika bukan dibentuk dalam pelatihan setahun sekali, melainkan melalui laboratorium moral harian, misalnya dengan bertanya pada diri sendiri, apakah kita bisa menceritakan hal ini dengan bangga ke anak cucu kita? Bagaimana kita bersikap ketika tak ada yang melihat? Bagaimana kita menegur rekan kerja yang menyimpang? Bagaimana kita memaknai keberhasilan?

Pelatihan dengan kasus dilema yang nyata dihadapi karyawan dan mengintegrasikan nilai etika dalam sistem KPI merupakan langkah yang dapat dilakukan oleh organisasi untuk membangun budaya beretika ini.

Organisasi juga perlu menciptakan ruang aman bagi karyawan untuk bisa menyampaikan ketidakadilan, kebutuhan, bahkan ketakutan mereka tanpa takut dibungkam. Kepemimpinan yang beradab adalah yang mau mendengar sebelum membela diri.

“Ketika Anda menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis, orang-orang akan bersedia untuk mengajukan pertanyaan, merenung, dan belajar sebagai sebuah kelompok.” Etika harus memberikan keadilan bagi semua orang tanpa kecuali. Diskriminasi, stereotipe, dan bias-bias lain harus dihilangkan.

SpaceX yang berada di sektor teknologi tinggi dan sangat kompetitif sekalipun, mendorong budaya saling bertanggung jawab, dan memperkuat prinsip “fail fast, learn faster“.

Di tengah risiko tinggi eksplorasi ruang angkasa, perusahaan justru membangun ruang yang aman bagi insinyurnya untuk mengakui kesalahan, belajar dari kegagalan, dan menyempurnakan proses. Ini hanya bisa terjadi bila organisasi memegang teguh nilai keterbukaan, kolaborasi, dan pertumbuhan beretika.

Berikutnya, etika harus menjadi agenda tetap, bukan respons setelah masalah muncul. Lakukan evaluasi terus-menerus. Apa yang dianggap benar hari ini bisa menjadi tumpul keesokan harinya bila tidak disesuaikan dengan konteks baru. Society for Corporate Governance dan Deloitte (2024) melaporkan, hanya sepertiga dewan direksi yang proaktif memantau implementasi budaya etikanya.

Terakhir, penghargaan bagi perilaku etis. Seorang karyawan yang menolak memanipulasi data meski terancam kehilangan pelanggan harus dilihat sebagai pahlawan integritas. Penghargaan tidak hanya dalam bentuk bonus, tetapi juga pengakuan yang membangun martabat.

Refleksi superpenting

Banyak yang terjebak mengira dirinya sudah selalu bersikap etis, padahal overconfidence moral justru membuat kita buta pada kesalahan sendiri. Refleksi menjadi penting, bukan untuk menyalahkan diri sendiri, tapi untuk mengoreksi agar terus bisa bertumbuh. Di sinilah pemimpin sejati hadir bukan sebagai hakim, tapi sebagai pembelajar.

Menegakkan budaya beretika adalah bentuk perjuangan keberanian yang baru. Keberanian untuk tidak sekadar mencari yang bagus menurut pasar, tetapi yang baik menurut hati nurani. Etika bukan kemewahan. Ia adalah kebutuhan. Dan, di tengah segala hiruk-pikuk, organisasi yang beradab akan selalu menjadi tempat yang dicari orang-orang terbaik.

Seperti kata Ian Peters dari Institute of Business Ethics, “Budaya etis bukanlah sekadar ‘hal yang baik untuk dimiliki’. Itu adalah hal yang dapat membantu mendorong pertumbuhan dan keuntungan.” Tidak hanya laba yang kita wariskan, tetapi juga nilai-nilai yang membentuk masa depan.

 

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman & Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.