Ketegangan ini tidak selalu kasatmata. Di satu pihak, ada anggota keluarga yang terkena penyakit, di lain pihak, kita harus tetap menyelesaikan tugas tanggung jawab profesional untuk tetap berkinerja, berproduksi sebaik mungkin di tengah ancaman resesi dunia, sambil tetap mematuhi protokol kesehatan. Di sinilah kecemasan yang invisible itu ada. Kecemasan ini bisa terus meningkat, apalagi bila uncertainty yang ada di lingkungan kerja ini meluas sampai pada suasana korporasi.
Bila ingin move forward ke arah strategi organisasi new normal, kita perlu memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan mental dalam konsep pengembangan organisasi. Bila tidak, kita akan dikejutkan dengan jatuhnya anggota tim yang kelelahan atau sakit. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan.
Mindfulness. Kondisi yang ada bisa membuat kita merasa overwhelmed dan reaktif terhadap hal-hal yang terjadi pada kita. Konsep mindfulness memperkenalkan kita kepada kesadaran tentang di mana kita berada dan apa yang sedang kita lakukan. Setiap anggota tim atau karyawan diajak untuk lebih sadar akan kebutuhan dasarnya dan dengan hati-hati menyusun mekanisme pemenuhan kebutuhannya, mencari keseimbangan antara gaya kerja work from home dengan konsekuensi-konsekuensi yang timbul sehubungan dengan kondisi baru ini; baik keluarga, internet, maupun masalah lainnya.
Latihan fisik, yoga, dan meditasi juga meningkatkan kesadaran, kesabaran, ketenangan dan kemampuan menyayangi diri sendiri. Hasil akhir dari kekuatan mindfulness selain kemampuan untuk tetap merasa nyaman dalam situasi yang tidak nyaman, juga kemampuan untuk fokus kepada hal-hal yang bisa kita kontrol daripada yang tidak bisa kita kontrol. Michail Kokkoris, psikolog dari Vrije University Belanda, membuktikan, orang dengan kontrol diri tinggi lebih mampu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru dalam menghadapi perubahan dunia yang dramatis.
Kesabaran. Supresi terhadap kehidupan sosial yang dampak konkretnya tidak kasatmata sering membuat tingkat kesabaran semakin rendah. Keadaan terpisah antar individu, juga dari kebiasaan aktivitasnya, bisa menimbulkan rasa kangen yang sering tidak terkendali. Karenanya, perusahaan perlu memikirkan bagaimana menyediakan pelatihan menjaga kesabaran atau bahkan memasukkan kesabaran sebagai salah satu kompetensi penting yang dipersyaratkan dalam bekerja.
Rasa syukur. Oliver Sacks menulis, “I cannot pretend I am without fear. But my predominant feeling is one of gratitude. I have loved and been loved; I have been given much and I have given something in return”. Organisasi yang ingin maju perlu memasukkan nilai bersyukur ini dalam agenda pengembangan karyawannya. Diskusi dan workshop mengupas rasa syukur ini perlu rutin dijalankan agar kesehatan mental tetap terjaga karena kesadaran yang tetap bekerja.
Koneksi. Selama Covid-19, kita banyak berkompromi dalam cara-cara kita berkoneksi. Kita perlu bersyukur, kita berada pada era digital. Kita dengan mudah dapat menjangkau siapa saja dalam jarak ribuan kilometer sekalipun. Para pemimpin perlu menyadari, kita adalah makhluk sosial sehingga kontak dan koneksi dengan orang lain tidak hanya diperlukan untuk kepentingan organisasi, tetapi juga mengisi nilai hidup pada karyawan.
Menjaga ekuilibrium mental
Beberapa psikolog melakukan riset tentang apa yang harus kita lakukan menghadapi masa Covid-19 yang berkepanjangan ini. Ada beberapa hal yang cukup bermanfaat bila dilakukan dengan baik.
Jaga jarak yang sehat dari berita-berita. Manusia memang makhluk Tuhan yang paling canggih. Namun, itu bukan berarti manusia selalu rasional. Kita sangat terpengaruh oleh emosi. Kita sering mengikuti pendapat orang secara intuitif saja. Terkadang kita sulit membedakan antara fakta yang nyata dengan asumsi. Penelitian di Polandia membuktikan, tingkat kecemasan individu berkorelasi langsung dengan seberapa banyak ia mengonsumsi berita tentang bahaya. Tetapi bukan berarti kita harus menutup mata dan telinga mengenai fakta yang ada, namun kita perlu mengaktifkan saringan rasional sehingga sinyal-sinyal yang menumbuhkan kewaspadaan bisa ditakar dengan benar.
Challenge mindset. Beberapa psikolog menyebutnya sebagai mindset yang relevan dalam menghadapi Covid-19. Kita perlu selalu menantang diri untuk mampu menghadapi kesulitan, keterkungkungan dan keterbatasan kita. Bila perlu kita membuat tantangan baru yang bisa dilakukan dalam keadaan pandemik ini.
Tentukan strategi coping yang cocok. Setiap individu memiliki cara coping yang berbeda-beda terhadap stres. Ada yang menenangkan diri, bermeditasi, berefleksi, tetapi sebaliknya ada yang lebih suka aktif berolah raga. Beberapa ide coping yang didaftarkan oleh American Psychologist, antara lain:
Active coping: individu secara aktif mencari mentor, atau bahkan psikolog untuk mendengarkan keluh kesahnya dan mencari jalan keluar
Positive reframing: individu mencari sisi positif dari suatu kondisi yang terlihat negatif. Bisa dengan mengganti penamaan dari situasi yang dihadapi atau menggunakan magic words sebagai ganti dari kata-kata yang mematikan mental.
Agama: mereka yang mempelajari kajian agamanya lebih mendalam dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan penciptanya bisa merasa lebih tenang karena bersandar pada Yang Ilahi.
“Legowo”: mengizinkan diri sendiri untuk mengalah pada keadaan, apalagi terhadap hal-hal yang tidak bisa kita kontrol atau ubah.
Sampai vaksin tersebar merata, cara disrupsi yang paling benar adalah bertahan. Kita perlu terus berdisiplin dan memelihara mental agar tidak dirongrong oleh rasa cemas yang tidak produktif. The pandemic may not be going anywhere, but neither are you.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
HR Consultant/Konsultan SDM