Kasus kriminal memiliki pelaku dari beragam latar belakang dan usia. Bahkan, kini anak-anak juga bisa melakukan serangkaian kejahatan yang tak pernah diduga karena akses informasi semakin mudah didapatkan.
Hal ini pula terjadi dalam serial Original Series “Agung” milik siniar Tinggal Nama bertajuk “AGUNG: Ayah, Ayah, Ayah” yang dapat diakses melalui tautan spoti.fi/3TjmACR. Dikisahkan bahwa Agung dipenjara karena ia telah membunuh sang ayah. Namun, apakah motif dibalik aksinya itu?
Namun, jika anak melakukan tindak kriminal, mereka memiliki penanganan hukum khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Sistem hukum ini disebut peradilan pidana anak.
Setelah melakukan kejahatan, di samping dihukum sesuai aturan yang berlaku, anak juga perlu mendapat bimbingan dan pengajaran yang sesuai. Sebab, penyimpangan perilaku anak yang melanggar hukum mayoritas disebabkan oleh faktor eksternal.
Lantas, bagaimana cara kerja sistem peradilan anak di Indonesia?
Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Mengutip situs PN Palopo, sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak dengan proses hukum. Adapun tahapannya bermula dari penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana.
Dalam menjalankan prosesnya, ada asas-asas penting yang perlu diperhatikan, yaitu perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan, dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan.
Sistem peradilan ini diatur oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan Presiden SBY pada 30 Juli 2012 di Jakarta. Di dalam UU ini, disebutkan pula soal penempatan anak yang menjalani proses peradilan, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Menurut hukum, batasan usia seorang anak menjadi pelaku, saksi, dan korban adalah anak yang telah berumur 12 hingga di bawah 18 tahun. Para pelaku yang telah berusia di atas 12 pun bisa dilakukan pemeriksaan tanpa didampingi orangtua atau wali. Namun, hanya anak di atas usia 14 yang bisa dilakukan penahanan.
Sementara itu, pelaku kejahatan anak yang belum berumur 12 tahun akan diserahkan kepada orangtua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan dan pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Di samping itu, substansi yang paling mendasar dalam UU ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dengan proses diversi. Adapun keduanya bertujuan untuk menghindari stigmatisasi anak yang berhadapan dengan hukum sehingga mereka dapat kembali ke lingkungan sosialnya tanpa takut dikucilkan.
Itu sebabnya pula, dalam proses pengadilan, anak harus didampingi oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Bahkan, dalam melakukan penyelidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Setelah tindak pidana dilaporkan, Balai Penelitian Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama tiga hari sejak permintaan penyidik.
Selanjutnya, anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan diversi.
Apa itu Keadilan Restoratif dengan Proses Diversi?
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana berunding untuk mencari solusi dan merancang kewajiban tanpa berdasarkan pembalasan.
Adapun keadilan restoratif adalah penyelesain perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Dapat dikatakan proses ini adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana. Namun, ada tiga syarat utama untuk melakukan proses ini, yaitu
- Anak diancam pidana penjara di bawah tujuh tahun;
- Dan bukan pengulangan tindak pidana;
- Selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara di bawah tujuh tahun dan/atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan).
Ada beberapa tujuan dari proses diversi. Pertama, mencapai perdamaian antara korban dan anak. Kedua, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan. Ketiga, menghindarkan anak dari dari perampasan kemerdekaan.
Keempat, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. Terakhir adalah menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Hasil kesepakatan diversi pun beragam. Ia dapat berupa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orangtua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan/pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS, atau pelayanan masyarakat.
Jika kesepakatan tercapai, proses pemeriksaan bisa dilanjutkan.
Dengarkan kisah lengkap Agung dalam balutan drama audio hanya melalui siniar Tinggal Nama di Spotify. Di sana, ada pula beragam kisah true crime dan reka ulang kisah hidup para tokoh nasional yang mampu membuatmu terpukau!
Ikuti siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya. Akses sekarang juga episode ini melalui tautan berikut https://spoti.fi/3TjmACR.
Penulis: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata