Seorang CEO senior berusia 55 tahun memanggil putranya dan berkata, ”Saya mendapatkan sebuah pesan penting di WhatsApp yang ingin saya e-mail-kan ke seluruh karyawan. Bagaimana caranya?” Putranya mengatakan, “Kopi saja lalu kirim ke e-mail.”

Sang senior mencoba dan mulai merasa frustrasi karena tidak berhasil melakukannya. Putranya kemudian mengirimkan pesan langkah demi langkah yang harus dilakukan. Mungkin ada yang berpikir bagaimana bisa hal sesederhana itu terasa sulit. Sementara itu, yang lain mungkin berpikir apakah memang kehidupan digital seribet ini?

Contoh yang rasanya tidak asing ini menggambarkan kesenjangan generasi dalam tingkat kenyamanan penggunaan teknologi antara yang berusaha beradaptasi dengan perkembangannya dan yang sudah dengan sendirinya technology savvy. Namun, sebenarnya pada era digital seperti ini, orang yang terampil menggunakan gadget sekalipun belum tentu sudah mengembangkan mindset digital.

“Digital mindset”

Mereka yang memiliki mindset digital sebenarnya adalah individu yang bisa membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam pemecahan masalah yang tadinya tidak terlihat oleh operasional biasa. Dua puluh tahun yang lalu, kita tidak bisa membayangkan adanya big data, media sosial, cloud, artificial intelligence, dan robot-robot lain, yang sudah mendisrupsi kehidupan kita saat ini. Sekarang, substansi-substansi digital ini sudah ada dalam kehidupan kita. Digital bukan lagi layanan spesial ataupun harga spesial. Digitalisasi memang sudah harus masuk dalam perhitungan budget ketika kita mengembangkan suatu produk atau jasa.

Meski demikian, penelitian menunjukkan bahwa dalam transformasi digital saat ini, hanya 10 persen pimpinan perusahaan yang benar-benar sudah memiliki mindset digital. Mereka melihat digitalisasi sebagai strategi, bukan sekadar jawaban atas masalah operasional. Mereka cukup jeli melihat mana proses bisnis berjalan yang bisa ditingkatkan dengan menggunakan teknologi. Para pemimpin dengan mindset digital ini sudah tidak melihat keterbatasan lagi, baik dalam teknologi maupun dalam sumber daya manusia. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah keyakinan bahwa upskilling karyawan merupakan keharusan. Jadi, seorang atasan dengan mindset digital perlu menguasai dua ruang lingkup sekaligus, yaitu kecanggihan teknologi dan kecanggihan sumber daya manusia sekaligus.

“Mindset over technology”

Sekaranglah saatnya untuk melakukan transformasi go digital. Menunda-nunda hanya akan membuat kita ketinggalan kereta. Apa yang harus kita lakukan?

Pertama, kita memang perlu memperlakukan data sebagai sahabat karib. Kalau sebelumnya data yang ada itu bisa dilihat bisa tidak, sekarang, ia harus menjadi fokus utama perhatian kita. Kita perlu mampu mendapatkan wawasan yang lebih dalam dari data untuk mendapatkan informasi ke mana arah yang perlu dituju.

Kedua, kita sudah harus meninggalkan ide bahwa produk baru harus dipertimbangkan masak-masak selama berbulan-bulan. Dalam pola pikir baru, kita perlu meyakini bahwa inovasi harus terjadi setiap minggu. Dan, inovasi ini pun perlu menggunakan digital landscape.

Ketiga, kita juga perlu menyelami kebutuhan pelanggan terkini. Apa yang mereka butuhkan? Apa yang mereka nikmati? Seberapa jauh tingkat digital literasi pelanggan yang kita sasar?

Kesiapan menjadi digital

Ketika melangkah menjadi digital, kita perlu meyakini bahwa penggunaan teknologi juga perlu dibarengi oleh perubahan mindset manusianya. Manajemen puncak perlu memastikan bahwa seluruh jajarannya sudah siap berubah. Mereka harus memiliki kesiapan untuk menyambut kesempatan-kesempatan baru dan beragam kemungkinan inovasi dalam era digital ini.

Orang-orang yang digitally connected ini juga memiliki karakteristik yang berbeda. Mereka lebih pandai berkolaborasi, berpikiran terbuka, sangat suka diapresiasi, dan mengembangkan rasa saling percaya satu sama lain.

Kaum digital ini tidak lagi menengok ke belakang atau menikmati proses yang sudah mantap. Mereka senantiasa akan melakukan eksplorasi, eksperimen dan belajar. Dengan growth mindset-nya, mereka tidak takut menghadapi kegagalan dan segera bangkit kembali ketika jatuh.

Ada beberapa karakteristik yang menunjukkan kekuatan individu dengan digital mindset.

  • Agile thinking: fleksibel terhadap perubahan teknologi, bahkan melihat perubahan sebagai kesempatan, bukan sebagai ancaman.
  • Memahami pola dan mencocokkan kebutuhan perusahaan dengan kondisi pasar, perjalanan kompetisi, serta bagaimana pemikiran manusia di perusahaan pada umumnya.
  • Pendekatan kolaboratif. Dalam dunia digital ini, menciptakan nilai tambah hanya bisa didapatkan melalui kolaborasi.
  • Adopting diversity: sikap yang menghormati, bahkan mencari perbedaan-perbedaan radikal apa pun sehingga bisa mengungguli pemikiran yang konvensional.

Untuk membangun strategi digital yang end to end, kita memang perlu mempersiapkan diri dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

  • Apakah kekuatan yang kita miliki masih berdaya jual pada era digital ini?
  • Apakah orang-orang kita mampu menjadi digital advocates?
  • Apakah kita sudah menganggarkan budget untuk transformasi digital?
  • Apakah kita mau memimpin inovasi atau hanya menjadi follower?
  • Bagaimana gambaran perusahaan kita ketika semua orang sudah mengembangkan mindset digital?
  • Siapa mitra yang bisa kita ajak kerja sama untuk mengembangkan strategi digital?
  • Sejauh apa kita ingin berjuang untuk dapat berkembang jauh dari prestasi sekarang?

Mindset digital yang kuat akan membuka kesempatan kita untuk meningkatkan engagement dengan pelanggan. Kita memang sudah tidak punya pilihan lain.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING