Ini adalah saat-saat kritis ketika untuk dapat bertahan, orang harus mengubah cara kerjanya yang sudah berakar bertahun-tahun. Kita menyaksikan bagaimana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berusaha mengumpulkan para pejabat pendidikan untuk mengubah cara mereka mendidik para siswa.

Para pejabat dikumpulkan, tetapi tidak mengikuti seminar secara satu arah seperti biasa. Mereka diajak membuat kelompok, diskusi, dan presentasi bersama. Tujuan Mas Menteri adalah para pejabat ini bisa menerapkan metode baru yang lebih dinamis ini ke jajaran pendidikan di bawah naungannya.

Para ahli memang sudah menyadari bahwa cara belajar dan mengajar di sekolah saat ini sudah usang dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan di luar pendidikan. Bukan teknologi saja yang sudah mengubah dunia ini. Ada banyak perubahan mendalam pada demografi dan usia penduduk dunia. Kesemuanya ini menimbulkan perubahan, baik secara sosial, dinamika keluarga, globalisasi talenta-talenta, maupun inovasi teknologi yang tidak berujung. Kita pun sulit membayangkan bagaimana tenaga kerja mobile pada 20 tahun mendatang. Dengan perubahan yang demikian cepat, 20 tahun yang lalu tidak ada yang memiliki gambaran sama sekali tentang apa yang terjadi hari ini.

Melihat kondisi seperti ini, semua orang setuju bahwa kita memang perlu menguatkan daya adaptasi. Bila tetap mau berada di permukaan, kita perlu memasang kuda-kuda menghadapi perubahan 5–10 tahun mendatang. Kita ingat bagaimana Charles Darwin dulu sudah mengingatkan: “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one that is the most adaptable to change.”

Kita semua memang terlahir ingin belajar. Sampai dewasa sekalipun. Namun, tentunya pengajaran kepada orang dewasa tidak bisa disamakan dengan pengajaran kepada anak-anak. Orang dewasa memiliki pengalaman yang sudah membentuk mindset-nya. Semasa sekolah, anak dituntut untuk kuat belajar dan mendapatkan angka yang baik. Pengetahuan awal yang diperolehnya ini akan dipertahankannya baik-baik. Manusia memang memiliki kecenderungan untuk menolak tantangan dalam mempelajari hal baru. Hal-hal yang dimasukkan dalam pemikirannya hanyalah yang cocok dengan mental map yang sudah terbangun.

Manusia sering merasa bahwa otaknya sudah penuh dengan urusan dan tugas-tugas yang belum selesai. Mana mungkin lagi diisi oleh hal-hal baru? Repotnya, sikap mental penolakan seperti ini jarang terlihat secara kasatmata. Manusia, terutama dalam menghadapi pihak otoritas, cenderung akan setuju-setuju saja demi menghindari konflik. Namun, perubahan yang memang sulit ini belum tentu dilaksanakan. They may say they’re open to change, but actually do their best to avoid it. Dan, ini manusiawi. Pada awalnya, terlihat menggebu untuk berubah, tetapi bila perubahan tidak digarap sampai kepada perubahan mental setiap individu, pola lama akan kembali lagi. Ibarat mengajarkan kepada teknisi mesin ketik cara memperbaiki komputer.

“Unlearn, relearn, learn”

Saat sekarang, hal yang paling mudah ditransfer adalah pengetahuan. Namun, ini pun terbatas pada informasi seperti yang terdapat pada Wikipedia. Namun, kita tidak bisa melakukan apa-apa kalau sekadar tahu saja. Pernyataan Bill Clinton di tahun 1992 bahwa orang yang work hard and play by the rules akan sukses juga tidak berlaku lagi.

Untuk sukses saat sekarang, individu perlu berada dalam zona adaptasi secara terus menerus. Aturan atau sistem berpikir cara lama harus dihapus alias di-unlearn. Bagaimana caranya? Individu perlu banyak mempertanyakan asumsi dan paradigma lamanya, membandingkan dengan cara-cara baru, sebelum ia akhirnya menginternalisasi cara baru tersebut.

Permainan ini disebut sebagai learning agility. Pola pikir berubah cepat. Bahasa komputer yang dulunya cukup dipelajari mereka yang bergerak di area TI, sekarang menjadi bahasa sehari-hari. Kita pun perlu mempertanyakan desain, metodologi, dan teknologi yang biasa digunakan, cara berkomunikasi dan pemahaman terhadap pelanggan kita. Kita bisa melakukan proses belajar ini dari para milenial yang dekat dengan kita. Cara berpikir mereka yang beda, perlu kita pelajari dan bandingkan dengan cara pikir kita. Inilah saatnya kita melakukan unlearning.

Unlearning ini bagaikan mengupas cat lama, membersihkan dinding dari sisa-sisanya, sebelum membubuhkan cat baru. Kolumnis The New York Times menulis: “Everyone is looking for employees who can do critical thinking and problem solving … just to get an interview. What they are really looking for are people who can invent, re-invent and re-engineer their jobs while doing them.” Ini adalah salah satu cara untuk menggeser cara pikir lama dengan yang baru. Bila tidak ingin digeser, kita harus bisa mencari kesempatan untuk mengubah situasi secara aktif. Kita yang masih menggunakan cara berpikir lama harus aktif: act or be acted upon.

Seperti yang dikatakan futuris Alvin Toffler: “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”

Beradaptasi dengan cara belajar yang trendi

Sebagai orang yang sudah biasa bekerja dengan kertas, kita perlu belajar menggunakan komputer, bahkan ponsel untuk belajar dan mengajar. Fokus pun bukan di pengetahuan semata. Growth mindset serta pembelajaran sosial dan emosional sampai pada penerapannya di setiap transfer pengetahuan sangatlah penting. Pembelajaran tidak lagi satu arah. Umpan balik dari pelajar perlu dipancing secara realtime. Dari sini, kita bisa mendapat semacam embedded assessment untuk mengukur penyerapan pembelajarannya.

Kunci pembelajaran modern ada pada kolaborasi antara user, orang yang berpengalaman, alat bantu yang banyak menggunakan artificial intelligence, serta calon pengguna dari industri ataupun bisnis terkait. Dengan demikian, si pelajar akan selalu berada di tengah-tengah komunitas pembelajaran. “Communities of practice, multidisciplinary leadership groups and open social networks can help spread evidence-based approaches.”

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 Desember 2019.