Saat budget dipotong, tetapi target tetap perlu tercapai dan mutu tetap harus dijaga, individu sering kehilangan akal untuk mencapai kesempurnaan. Apalagi di zaman disrupsi seperti sekarang ini, sering kali harus menghadapi perubahan keputusan atasan yang tidak terduga dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi operasional.
Para profesional bisa jadi kalang kabut menyelesaikan masalah. Keinginan untuk menjaga value perusahaan tetap ada. Namun, terkadang, sasaran jangka pendek lebih mendesak untuk diperhatikan. Semuanya ini sering kali tidak memungkinkan untuk dilakukan sendiri. Tentunya kita perlu bantuan dari pihak ketiga atau bekerja sama dengan divisi lain. Pada saat menangani proyek yang sudah kompleks begini, bisa jadi banyak individu sering tergoda atau terpaksa melakukan “potong kompas”, menyalahi prosedur, bahkan tidak konsisten dalam bicara dan berkomitmen dengan mitra atau pihak luar.
Di sinilah penghayatan nilai integritas, yang biasanya diutamakan oleh setiap perusahaan menjadi ujian besar. Hal ini akhirnya membuat kita bertanya-tanya, adakah jalan yang bisa menyeimbangkan antara kekuatan menjaga nilai-nilai perusahaan serta mulusnya jalan proyek dan tercapainya target? Apa yang harus diutamakan? Apakah kita harus menghalalkan semua cara demi terlaksananya proyek tepat waktu atau menjaga komitmen dan nilai-nilai perusahaan dengan segala konsekuensinya?
Bahayanya kemunafikan
Nilai budaya setiap lembaga seyogianya diusung oleh setiap individunya dan semakin terlihat pada saat-saat yang genting. Individulah yang harus bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah pekerjaan saya perlu sampai benar-benar sempurna atau cukup 80 persen saja? Apakah saya harus menuntaskan komunikasi dengan divisi-divisi terkait sebelum membuat komitmen dengan pihak luar, sementara birokrasi yang panjang bisa mengancam penyelesaian proyek saya tepat waktu? Apakah saya harus berjuang menjaga komitmen dengan pihak ketiga, sementara ternyata banyak sandungan di internal?
Insting, pengalaman, dan nilai yang kita junjung tinggilah yang mendasari keputusan-keputusan kita. Keputusan dan perilaku kita bukan hasil pergumulan batin semalam. Kita dituntut untuk membuat keputusan berbagai langkah sepanjang hidup. Di sinilah teruji kekuatan mental kita untuk menjaga nilai-nilai diri kita, termasuk nilai budaya perusahaan.
Bagaimana bila nilai pribadi kita tak sejalan dengan nilai budaya perusahaan? Individu yang bijak akan menyelesaikan kontradiksi moral ini, dan mengadaptasi nilai budaya perusahaan agar menjadi selaras dengan nilai pribadinya. Bangunan moral ini harus teruji, pada saat tingkah laku kita tidak terlihat oleh orang lain sekalipun. Bila tidak berhasil memutuskan nilai mana yang akan kita junjung, kita bisa saja menjadi pribadi yang munafik, lain di dalam ,lain di luar pula. Para ahli menyebutnya sebagai incongruence between what is said and done. “Mencla-mencle”, demikian sebutan orang-orang tua kita.
Pada akhirnya, individu dinilai dari tindakannya, bukan bicaranya, apalagi alasannya. Kita bisa saja memahami kesulitannya, tetapi akan tetap menganggap bahwa pilihan sikapnya adalah munafik manakala ia hanya mengutamakan kepentingannya dan menjilat ludahnya sendiri.
Mempraktikkan integritas di bawah tekanan
Jadi, bisakah kita membuat ketahanan dalam tekanan tinggi? Seorang ahli psikologi mengatakan bahwa kita perlu sering melatih diri, dengan membayangkan tekanan yang berat dalam hidup dan mencoba apakah kita bisa menghadapinya. Pada saat itu, tubuh kita memproduksi adrenalin yang akan mempertanyakan apakah kita bereaksi fight atau flight. Saat itulah kita perlu belajar untuk fight. Bila berhasil, kita akan merasakan nikmatnya dan bangga terhadap diri sendiri karena kita tidak perlu melakukan justifikasi atas tindakan flight. Kita fight dan menang.
Menguatkan integritas personal
Kita tahu bahwa budaya institusi digaungkan oleh individu-individu yang bernaung di dalamnya. Percuma saja perusahaan mengeluarkan investasi besar untuk menyosialisasikan budaya, ketika individu tidak mendasarkan perilaku, pilihan dan keputusannya sehari-hari atas nilai-nilai yang dipatok perusahaan. Integritas individu adalah kualitas yang ditandai oleh dua hal, yaitu sikap jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang luar.
Ada beberapa latihan yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kualitas kita sebagai manusia melalui penguatan integritas.
Pertama, pelajari apakah kita sudah mengenal betul diri, apa yang kita cita-citakan, dan apa dasar tingkah laku kita. Contohnya, kalau datang terlambat ke kantor, apakah kita mencari alasan pembenaran ataukah kita mawas diri dan berusaha mengoreksi diri bahwa perilaku ini memang salah?
Kedua, lakukan self talk dengan jujur dan tulus. Tanyakan pada diri kita, mengapa kita tidak bertindak lebih ksatria daripada yang seharusnya. Mengapa kita tega melakukan kebohongan kecil yang sering kali kita anggap sepele? Beranikah kita mengaku salah dan tidak ingkar pada orang lain? Bisakah kita mendapatkan rasa percaya dari orang lain, bukan karena bicara kita, melainkan karena tindakan kita? Bisakah kita setulusnya menghargai orang lain, mendengarkan pendapat dan kebutuhannya, serta menolongnya? Sungguhkah kita ingin meningkatkan kualitas diri kita sebagai manusia?
Belajar berintegritas dari orang lain
Di antara teman, bawahan, dan atasan, kita mungkin akan menemui mereka yang membiarkan dirinya tetap berkualitas “kw”, tapi sebaliknya ada juga yang berusaha menjaga pribadinya menjadi orang yang berkualitas. Menjaga komitmennya, selalu berkata jujur, menghargai orang lain, dan berani mengakui kesalahan bila memang berbuat salah.
Kita bisa sadar dengan fenomena ini, tetapi bisa bisa juga tidak. Bila memang berniat untuk menjadi manusia yang lebih berkualitas, kita perlu mengamati orang-orang di sekitar, dan mempelajari sifat-sifat baik yang dibawa oleh setiap orang. Dengan demikian, kita dapat memperluas khasanah kompetensi untuk mempraktikkan kejujuran dan ketulusan. Penggalian diri inilah satu-satunya jalan untuk meningkatkan integritas diri, kompetensi yang saat ini sangat diperlukan dalam setiap situasi.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 Februari 2020.