Pada 2008, ketika krisis finansial melanda, banyak pemilik bank melakukan praktik spekulatif berisiko tinggi dan diketahui oleh beberapa eksekutif dan karyawannya. Ada yang memang diam karena mendapatkan keuntungan tersendiri, tetapi ada juga yang memilih tutup mulut karena merasa khawatir dengan keamanan pekerjaannya.

Itu juga terjadi di Enron pada 2000-an, ketika beberapa individu di perusahaan itu melihat dan mengetahui adanya praktik akuntansi yang salah, bahkan dicurangi dengan sengaja oleh jajaran pimpinan. Para karyawan ini, termasuk auditor luar, mengabaikan kecurangan itu dan memilih tidak menyelidiki lebih lanjut. Kasus ini berujung pada kehancuran dan kebangkrutan perusahaan.

Saat ini, kita kerap mendengar pemberitaan tentang maraknya korupsi para pejabat. Banyak orang mengomentari penyelewengan ini. Namun, kita tidak mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pejabat lain yang tidak diperiksa. Dalam keseharian, kita pun bisa jadi mengabaikan adanya perilaku rekan kerja atau anggota keluarga yang tidak sesuai dengan nurani kita. Kita hidup dalam lingkungan yang korup dan lama-kelamaan terbiasa dengan pelanggaran moral ini.

Apakah kita tidak sedang mengidap willful blindness? Willful blindness adalah suatu fenomena psikologis yang diungkapkan Margaret Heffernan dalam bukunya Willful Blindness: Why We Ignore the Obvious at Our Peril. Fenomena ini terjadi ketika individu atau organisasi memilih untuk mengabaikan atau menutup mata terhadap isyarat dan perilaku yang membahayakan reputasi, keuntungan, atau kedudukan mereka sendiri. Ini bisa terjadi di beberapa tingkat, mulai dari tingkat individu, institusi, hingga negara.

Sedari kecil, kita sudah diajarkan untuk membela kebenaran. Namun, mengapa gejala “membutakan diri” ini bisa terjadi pada individu yang berkiprah di masyarakat? Willful blindness merupakan fenomena yang benar-benar merugikan kita.

Sebagai individu, apalagi pemimpin dalam kelompok atau organisasi, kita pantas bertanya, apakah kita melestarikan willful blindness ini tanpa kita sadari? Untuk itu, setidaknya kita perlu memitigasi risiko tumbuhnya gejala ini.

Ciptakan keberagaman dalam organisasi

Setiap organisasi pasti memiliki sasaran yang hendak dituju dan mendorong para anggotanya untuk mewujudkannya. Yang menjadi persoalan adalah ketika organisasi tidak memberikan ruang untuk perbedaan. Yang tidak cocok dipersilakan keluar.

Di situlah “groupthink” akan tumbuh subur, dengan adanya satu pendapat yang biasanya timbul dari pemikiran pemimpinnya atau pihak yang dominan. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemimpin selalu benar? Apakah ia tak perlu masukan dari pihak lain yang berbeda? Apakah ia memiliki akses yang cukup pada informasi dan permasalahan terkini?

Keberagaman memang sulit. Bisa jadi ada seribu satu pendapat dalam suatu kelompok. Tidak gampang bagi kita untuk mengakomodasi dan menyatukan begitu banyak pandangan. Menurut Heffernan, organisasi perlu mengupayakan keseimbangan anggota tim yang terdiri atas mental model dan bias yang berbeda-beda. Inilah diversifikasi yang sesungguhnya.

Dengan demikian, variasi perspektif dari berbagai sudut tetap terjaga. Ini menjadi sistem fungsi kontrol yang sangat sehat dan obyektif sehingga menjaga agar kita tetap berjalan di jalur yang benar.

Bangun psychological safety di lingkungan

Ketika mayoritas dalam organisasi begitu kuatnya memberikan toleransi terhadap perilaku yang tidak etis, individu bisa jadi merasa lemah. Ia tidak berdaya untuk menyuarakan pentingnya tindakan etis. Pengungkapan fakta akan membahayakan eksistensinya dalam tim atau organisasi. Organizational silence terjadi bila tidak ada empowerment dari pimpinan bahwa berbeda diperbolehkan.

Membangun lingkungan yang aman secara psikologis artinya tidak boleh ada rasa khawatir akan dikucilkan atau tidak disenangi bila ada pendapat yang berbeda. Tidak ada rasa cemas akan kehilangan jabatan atau bahkan pekerjaan ketika individu mengungkapkan realitas yang tidak nyaman dan berisiko. Tidak ada hukuman bagi mereka yang menyampaikan kritik.

Kembangkan budaya kolaborasi

Banyak pemimpin merasa dengan mengumpulkan orang-orang hebat, maka organisasi pasti akan menghasilkan kinerja dan produk terbaik. Namun, kenyataan tidak seindah itu karena justru muncul potensi berkumpulnya individu yang saling berkompetisi dan tidak mau berbagi informasi.

Memang penting bagi organisasi untuk mendapatkan karyawan yang beragam, tetapi tidak kalah penting juga menciptakan budaya organisasi yang kolaboratif. Organisasi mendapatkan pemikiran terbaik yang disinergikan masing-masing individu dalam kelompok. Di sisi lain, individu pun mau memberikan masukan dan mengoreksi kesalahan karena yakin organisasi akan respek atas kontribusinya.

Baca juga: Modal Sosial

Tanamkan terus nilai dan tujuan organisasi

Apa yang mendorong bisnis dan organisasi ini dibangun? Apa tujuannya? Mengapa itu penting untuk dicapai?

Sangat penting bagi semua elemen dalam organisasi untuk memahami nilai dan tujuan organisasi. Perilaku tiap orang bisa jadi berbeda, tetapi tujuannya tetap sama. Setiap orang mau memberikan pandangan dan informasi yang tidak nyaman sekalipun karena menjunjung tinggi nilai dan tujuan organisasi.

Sadari pemimpin adalah panutan

Rencana untuk memitigasi willful blindness ini tentunya perlu diikuti dengan implementasi yang konsisten. Para pimpinan perlu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa perusahaan benar-benar menghargai perbedaan dan keterbukaan.

Debat konstruktif dan upaya berkolaborasi harus dipraktikkan terlebih dulu oleh pemimpin bila ingin anak buah menirunya. Pemimpin harus membangun atmosfer yang positif terhadap perbedaan pendapat sehingga bawahan juga belajar untuk menghargai perbedaan. Upaya menggali informasi dan kesediaan pemimpin untuk menerima kritik merupakan contoh konkret bagi karyawan.

Pemimpin yang mau mengelola willful blindness ini terbukti dapat mengantarkan perusahaan pada kesuksesan. Pengambilan keputusan oleh orang-orang yang sadar akan fenomena ini akan lebih cemerlang karena sudah melewati proses mendengar, menggali, dan mempertimbangkan pendapat dari berbagai sisi.

“Eksekutif yang mempekerjakan orang yang berpikir dengan cara yang sama dengan mereka akan memperkuat kebutaan yang disengaja.”
-Margaret Heffernan

Eileen Rachman & Linawaty Mustopoh

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM