Kerja seolah tidak berbatas antara jam kerja dan jam istirahat, antara kantor dan rumah. Kita tidak bisa lagi membuat rencana jangka panjang. Roda bisnis perusahaan harus dijalankan selangkah demi selangkah. Situasi ini sangat melelahkan. Laju kerja organisasi dipacu lebih kencang karena pasar yang semakin mengecil dan kompetisi semakin ganas. Survei di Amerika menunjukkan tingkat stres karyawan yang meningkat.
Stres bisa disebabkan berkurangnya pendapatan sehubungan dengan pemotongan gaji, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan kebijakan sumber daya manusia (SDM) lainnya. Namun, stres juga bisa berlatarbelakang manajemen waktu dan manajemen rumah tangga yang saling tumpang tindih. Jadi, ada paradoks antara memacu karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya menghadapi situasi krisis ini, dengan semakin tingginya tingkat stres mereka dan berbuah pada ketidakproduktifan.
Di sinilah pemimpin perlu betul-betul mengasah persepsi karyawan tentang situasi terkini.
Pertama, perusahaan perlu memahami pandangan karyawan terhadap dunia luar dan masa depan. Perusahaan perlu mengajak karyawan untuk melihat “titik terang” pada masa depan. Brian Chesky, CEO Airbnb, perusahaan yang tumbuh pesat dalam 12 tahun, tetapi langsung musnah dalam 6 minggu akibat pandemi mengajak sisa tim kecilnya untuk melihat masa depan. Ia membuat gambaran tentang north star alias titik terang perusahaannya untuk menjual penginapan yang selalu harus diberi nilai plus oleh pelanggannya, bukan lagi sekadar tempat menginap. Walaupun memulai dari nol, karyawan bersemangat dengan upaya berlipat untuk mulai membangun database baru, memahami profil pelanggan dan struktur pasar yang juga berubah, sampai pada megatrend apa yang akan memengaruhi pelanggannya nanti.
Kedua, kita juga perlu menggarap intensif anggota tim kita: berbagi apa purpose mereka dan berusaha menyelaraskannya dengan purpose perusahaan/lembaga kita. Oleh karena itu, perusahaan sudah tidak bisa lagi memiliki struktur dengan birokrasi yang panjang. Bentuk organisasi perlu lebih flat, fleksibel, dan tahan banting. Pembentukan tim yang multidisiplin dan crossfunctional perlu dilakukan di sela-sela kegiatan yang super sibuk ini. Yang jelas sinkronisasi antara aspirasi karyawan, perusahaan dan pelanggan, perlu terus dilakukan sambil memacu kinerja sekuat-kuatnya.
K Bank Thailand saat menghadapi pandemi ini membuat sasaran yang jelas. Mereka tidak mau melakukan PHK dan tidak mau sampai pelanggan tidak bisa membayar kembali pinjaman beserta dan bunganya. Mereka mengerahkan seluruh karyawan untuk membantu nasabah mereka dengan mengurangi beban yang dapat meringankan nasabah agar roda bisnisnya bisa berputar. Sampai saat ini, belum ada PHK karyawan di K Bank.
Mempererat koneksi
Covid-19 sudah mengajarkan betapa kita sebenarnya sangat menghargai koneksi dan integrasi dengan komunitas-komunitas di sekitar kita. Di perusahaan, keterkaitan ini harus menjadi agenda utama juga. Hasil penelitian mengatakan bahwa dalam masa pandemik ini jam kerja malah bertambah 10–20 persen. Microsoft juga melaporkan bertambahnya jumlah pengguna alat meeting virtualnya sampai 2,7 miliar per hari. Ini belum termasuk perangkat-perangkat lainnya. Tidak heran kalau perusahaan seperti Twitter sudah mengumumkan bahwa karyawannya bisa bekerja work from home untuk waktu yang tidak berbatas lagi. Dengan demikian, kita memang perlu mempersiapkan cara kerja baru pada masa mendatang dengan lebih serius.
Membangun relasi dengan teknologi
Di satu sisi, ada kekhawatiran bertumbuhnya artificial intelligence akan mengambil alih beberapa fungsi-fungsi manusia, tetapi kenyataannya semenjak pandemi ini, hubungan kita dengan teknologi sudah semakin erat. Tiba-tiba teknologi menjadi bagian dalam hidup kita sehari-hari, tidak hanya berkolaborasi atau berkomunikasi, tetapi juga untuk meningkatkan connectedness kita yang lebih mendalam.
Kultur dibangun di luar gedung
Bila sebelum ini masih mengandalkan tatanan dan desain bangunan untuk mencerminkan dan membangun citra korporasi, sekarang kita perlu membangunnya dalam diri setiap karyawan. Kita harus membangun kultur ini di ruang keluarga dan home office mereka masing-masing. Di sinilah pemimpin tertantang untuk tidak hanya berkutat pada produktivitas, tetapi juga membangun rasa percaya dan fairness antara perusahaan dan karyawannya. Di samping mengutamakan kesehatan fisik, kita pun perlu berfokus pada kesehatan mental. Kantor memiliki peran besar dalam koneksi interpersonal. Hasil riset mengatakan bahwa justru gen Z, generasi pekerja termuda yang merindukan bekerja di kantor. Menanggapi hal ini, perusahaan seperti Ford mendesain ulang kantornya untuk dijadikan semacam hub berkumpul. Sepertinya kita nanti juga akan terbiasa datang ke kantor hanya untuk tugas-tugas yang memerlukan pertemuan yang lebih in person.
Semua individu memiliki peluang berkomunikasi dan memberi pendapat
Setiap orang akan mendapat porsi yang sama di layar kaca. Layar akan berpindah pada mereka yang bersuara tanpa memandang latar belakang ataupun posisinya. Karenanya kita bisa mengatakan bahwa screen ini adalah equalizer yang jitu. Tentunya setiap perusahaan yang berpikiran besar menginginkan adanya diversity, inclusion, dan equity. Inilah saatnya kita dimudahkan untuk mempraktikkannya. Mimpi untuk bekerja di perusahaan berskala dunia, saat sekarang lebih terbuka untuk diupayakan. Merekrut ahli yang berdomisili di ujung dunia pun sangat dimungkinkan sekarang ini. Lokasi tidak lagi menjadi penghambat.
Jadi, sekarang ini tenaga kerja terpisah dari tempat dan rekan kerjanya, sementara kerja, rumah, dan sekolah malah menyatu. Teknologi yang tadinya menghilangkan kemanusiaan kita, tiba-tiba menjadi alat bantu dalam berhubungan dengan membangun kultur di luar gedung, melakukan pemerataan dan juga bekerja secara global. Yang jelas, manusia tetap menjadi currency terpenting dalam organisasi yang perlu terus dikembangkan.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING