Pandemi virus Covid-19 ini telah menempatkan kita semua dalam situasi krisis. Tidak ada yang menyangka betapa cepatnya pusaran arus krisis ini tiba-tiba sudah menyeret kita ke dalamnya.
Sesuatu yang awalnya kita kira hanya terjadi jauh di luar sana, tiba-tiba sampai di depan mata kita. Dampak dari pandemi ini pun begitu luas terhadap 184 dari 195 negara di dunia ini. Tidak hanya pada bidang kesehatan, tetapi juga terutama terhadap kehidupan perekonomian sebagian besar warga dunia ini. Begitu banyak bisnis yang berguguran akibat individu membatasi eksposurnya keluar rumah.
Restoran yang tadinya menjual ambiance harus cepat-cepat mengubah layanannya menjadi take away. Industri pariwisata dan transportasi pendukungnya yang begitu booming dengan kemudahan reservasi daring dan hobi masyarakat untuk pamer di media sosial juga tiba-tiba terpuruk akibat semua orang membatalkan perjalanannya. Hampir semua bisnis berjatuhan karena perubahan perilaku konsumen ini.
Dalam surveinya, Nielsen menemukan bahwa produk-produk yang mengalami peningkatan adalah produk yang terkait pada kebutuhan bertahan hidup untuk jangka panjang dan kesehatan, seperti tepung, gula, beras, makanan kaleng dan multivitamin, serta beragam produk pembersih. Sementara itu, produk seperti pakaian, minuman beralkohol, mainan, dan produk kecantikan mengalami penurunan pembelian.
Bisa dikatakan inilah VUCA terbesar yang dihadapi setiap pemimpin organisasi di dunia ini, mulai dari pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, sampai pada organisasi kecil nonprofit sekalipun. Semua mata memandang kepada mereka, bagaimana mereka akan membawa organisasinya bertahan bahkan bisa keluar dari situasi krisis yang belum ketahuan kapan akan berakhir ini.
Bergerak cepat
Di film-film kita sering melihat manusia yang berlarian dari bencana alam yang datang tiba-tiba seperti gempa bumi dan tsunami. Namun, dalam kehidupan nyata, ternyata itu bukanlah reaksi manusia pada umumnya. Zaria Gorvett seorang science journalist mengatakan, “The most natural human response in the face of danger is to simply do nothing”.
Memang ada yang bisa tampak tenang dalam situasi krisis dan bereaksi dengan meyakinkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh latihan keras yang sudah mereka lalui sebelumnya. Para pilot dan tentara dalam porsi latihannya memang mendapatkan pelajaran bagaimana mengambil langkah dalam situasi darurat sehingga reaksi yang mereka munculkan memang sudah terencana dengan baik.
Chief Scientific Officer American Psychology Association Russel Shilling mengatakan bahwa reaksi orang-orang terhadap bahaya sangat bergantung pada apa yang telah mereka pelajari pada masa lalu: paparan mereka terhadap stres, persepsi mereka tentang apa yang merupakan bahaya serta sejauh mana keterlibatan dia dalam situasi tersebut. Ketika individu tampak membeku, sebenarnya otaknya sedang berpikir bagaimana caranya ia bisa keluar dalam situasi tersebut, dan dalam banyak kasus sambil berpikir ia tidak bergerak.
Dalam situasi pandemik seperti sekarang ini, sayangnya pemimpin tidak memiliki kemewahan untuk bereaksi freeze dan bersikap wait and see untuk melihat apa yang terjadi berikutnya. Kita sudah melihat dampak buruk dari pemimpin-pemimpin dunia yang lambat dalam mengantisipasi masuknya virus ini ke negara mereka sehingga mengakibatkan negara kewalahan dengan jumlah korban yang menjadi begitu banyak dalam waktu singkat. Jawaban dari permasalahan ini tidak akan muncul secara alamiah seiring dengan berjalannya waktu. Kitalah yang harus mencari solusi dan melakukan tindakan sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat.
Jujur dan Transparan
Semua dari kita pasti setuju bahwa sikap jujur dan transparan itu akan sangat membantu. Dalam situasi krisis seperti ini, kedua hal tersebut menjadi hal mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Seluruh anggota tim pasti juga menyadari betapa gentingnya situasi. Mereka pun bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun, bilamana mereka merasa bahwa pemimpin tidak sepenuhnya transparan, anggota tim atau rakyat tidak bisa mengambil ancang-ancang untuk berantisipasi.
Sikap yang tulus dan empatik terhadap seluruh anggota tim juga sangat penting, di saat semua orang mengalami ketakutan akan masa depan yang serba tidak jelas ini. CEO McDonalds Chris Kempczinski menuliskan dalam Instagram story–nya, “We’re all in this together, we’ve got each others backs, because that’s what make us so strong.”
Kondisi work from home juga membuat sambung rasa yang biasanya dengan mudah bisa didapatkan dalam interaksi harian di kantor tiba-tiba sulit dipertahankan. Dalam ketakutan yang juga dialami oleh para pemimpin karena pemimpin juga manusia, sangat mudah bagi pemimpin untuk mengabaikan rasa takut dan stres yang dialami oleh setiap dari anggota timnya akibat isolasi ini. Situasi isolasi ini membuat emosi saling menguatkan, baik dari atasan ke bawahan maupun dari sesama rekan kerja jadi minim sekali. Padahal, hal ini sangat penting untuk membuat kita semua bisa memiliki energi untuk bangkit kembali. Budaya online yang diupayakan untuk memastikan agar kegiatan tetap berjalan, perlu juga didesain agar melibatkan emosi sehingga komunikasi, spirit, dan olah rasa tetap bisa tersambung melalui beragam platform digital yang ada.
“Shared authority”
Dalam situasi yang serba tak jelas ini, sebenarnya tidak ada seorang pun yang memiliki solusi yang pasti. Tidak juga pemimpin yang biasanya menjadi sandaran bagi anggota timnya untuk membuat keputusan. Apalagi dalam situasi perubahan yang serba cepat ini. Oleh karena itu, organisasi perlu membuat setiap individu di dalamnya berani untuk mengambil tindakan yang mereka anggap perlu yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup organisasi. Setiap individu karenanya perlu berpartisipasi, berkontribusi, baik secara pikiran maupun emosi. Sebaliknya, pemimpin pun perlu senantiasa membuka telinga dan hatinya, siap untuk berubah berdasarkan masukan yang diberikan oleh mereka yang berada di garis depan.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 28 Maret 2020.