Dalam pemilihan ketua RT di beberapa perumahan, kandidat terpilih seringkali adalah orang yang itu-itu lagi. Alasannya, kebanyakan warga enggan mengajukan diri, khawatir terlibat dalam banyak masalah yang menambah kepusingannya.

Mengelola perumahan dengan beragam warga yang memiliki beragam kepentingan memang tidak mudah. Sebaliknya, memasuki tahun politik kita melihat baliho-baliho bertebaran menampilkan wajah para tokoh yang memperebutkan kursi kepemimpinan.

Kita bisa bertanya, mengapa sedikit sekali yang berminat untuk mengelola perumahan warga yang kecil, tapi banyak yang berebut untuk mengelola daerah yang lebih luas dengan masalah yang pastinya jauh lebih kompleks?

Roger L Martin, penulis buku-buku manajemen dan bisnis pernah mewawancarai sejumlah direktur dan menanyakan alasan sesungguhnya mereka menjadi anggota dewan direksi perusahaan publik. Hasilnya, tidak banyak yang menunjukkan motif mereka yang berhubungan dengan perlindungan para pemangku kepentingan dari tindakan buruk manajemen dan pelaku pasar.

Alasan yang paling umum, mereka tertarik untuk mempelajari industri yang belum terlalu mereka kenal. Selain itu, beberapa orang mengemukakan alasan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan mereka sendiri agar perusahaannya aman dalam kemungkinan krisis kredit yang terjadi.

Ada juga yang tertarik dengan upah dan kompensasi yang menggiurkan, selain menikmati gengsi dari jabatan tersebut. Hal ini sejalan dengan penemuan Michael Jensen dan William Meckling pada 1976 yang mereka tuangkan dalam artikel berjudul Theory of the Firm. Mereka menulis, “Professional managers can’t be completely trusted to act in the interests of shareholders.” Demikian juga halnya dengan para direktur kalau menurut Roger. Bahkan direktur bisa memiliki konflik kepentingan yang lebih besar daripada manajer yang diawasinya.

Kita melihat ketika motivasi dan alasan pribadi lebih banyak mendasari kehendak para pemegang jabatan tinggi ini untuk bekerja dan berprestasi, di sinilah mereka mudah sekali tersesat dalam labirin motivasinya sendiri. Ini bukan saja terjadi pada para pemimpin bisnis, terlebih lagi justru di area politik, pemerintahan, bahkan LSM yang mengatasnamakan kepentingan warga yang diwakilinya.

Memahami konflik kepentingan

Setiap saat seseorang melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi dirinya atas nama jabatan yang dimilikinya, berarti ia telah masuk pada konflik kepentingan. Beragam bentuknya. Mulai dari menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi, sampai menerima hadiah atau pemberian dari pihak lain atas keputusan organisasi yang dilakukannya.

Memiliki bisnis sampingan selain dari pekerjaan utama di organisasi pun sebenarnya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sehingga banyak organisasi melarang karyawannya untuk memiliki bisnis sampingan; atau paling tidak melaporkannya agar diketahui oleh organisasi.

Bentuk konflik kepentingan yang bersifat finansial berarti mendapatkan manfaat finansial dari pihak lain. Namun, konflik kepentingan juga bisa yang bersifat konfidensial seperti menggunakan data–data kelembagaan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, dengan memberikan kepada anggota keluarga atau teman yang dapat memanfaatkannya.

Konflik kepentingan juga bisa bersifat relasional ketika mengambil keputusan untuk kepentingan hubungan pribadinya, apakah anggota keluarga, teman baik, ataupun teman yang mempunyai hubungan khusus. Banyak perusahaan membuat aturan yang melarang karyawan memiliki hubungan bekerja dalam satu perusahaan adalah untuk menghindari konflik kepentingan ini. Bahkan ada juga yang melarang berkencan dengan rekan kerja karena dikhawatirkan berpotensi menimbulkan konflik.

Tentunya bergerak dan beroperasi dengan bayang-bayang konflik kepentingan ini tidaklah elok. Karyawan atau masyarakat akan meragukan kredibilitas seorang pemimpin yang disinyalir memiliki konflik kepentingan. Setiap langkahnya dicurigai memiliki agenda pribadi tertentu. Individu pun akan sulit bergerak bila ia memiliki potensi konflik kepentingan ini, entah karena kecurigaan dari stakeholders lain, ataupun memang beban harapan yang ditanggungnya dari lingkungan yang mengharapkan keuntungan posisinya.

Dalam situasi tatkala konflik kepentingan ini terasa oleh para karyawan, biasanya suasana kantor tidak lagi bersih dan govern. Gosip–gosip bertebaran, karyawan pun alih–alih memfokuskan energi mereka bekerja demi kemajuan organisasi akan sibuk mencari muka kepada pihak-pihak tertentu demi keuntungan pribadinya. Situasi ini bisa mengikis rasa percaya, dan merusak reputasi secara perlahan-lahan.

Maju dalam transparansi

Kita sama-sama melihat bahwa kemajuan suatu bisnis atau lembaga tidak dapat terlepas dari rasa percaya dan integritas. Bila kita terjebak dalam situasi konflik kepentingan yang beredar secara simpang siur, mau tidak mau kita perlu kembali meninjau aturan–aturan yang berlaku untuk memperbaharui atau memperdalamnya.

Kita perlu mencari tahu bagaimana ketimpangan–ketimpangan yang terjadi dapat lolos dari aturan yang sudah ada. Temukan di mana celah–celah kebocoran terjadi dan apa yang dapat kita lakukan untuk menambalnya.

Dalam penyusunan aturan baru itu kita perlu memasukkan kewaspadaan terhadap kemungkinan konflik-konflik samar mulai terjadi sebelum berkembang menjadi besar dengan membuat pagar–pagar peraturan yang lebih ketat lagi.

Kita juga perlu memikirkan mekanisme pelaporan whistle blowing dan cara mengamankan pelapor sehingga tidak terkena gejala “kill the messenger” yang menumbuhkan gerakan tutup mulut.

Transparansi ini mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dibudayakan. Karenanya komunikasi internal sangat dibutuhkan. Tidak cukup dengan komunikasi sehari–hari. Kita perlu mengkampanyekan hal ini secara masif sambil terus mewaspadai “lip service” yang tidak dipraktikkan. Pimpinan perlu maju sebagai role model utama dalam melakukan transparansi ini untuk menunjukkan keseriusan organisasi dalam menjaga integritas.

Konkuensi dari perilaku yang tetap muncul harus jelas dan tegas. Kita juga perlu melakukan evaluasi bahkan ketika tidak terjadi apa-apa, untuk memastikan apakah memang transparansi dan sistem yang ada sudah terbangun dan berjalan dengan baik, ataukah kita yang kurang jeli dalam menangkap fenomena yang terjadi di lapangan.

At a certain level of learning and understanding, right or wrong ain’t the issue, but different interest.”―Toba Beta

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Baca juga: Lengser Cantik