Dewasa ini, bukan di Indonesia saja kita sering mengeluh merasa kekurangan pemimpin yang kuat. Andai pemimpinnya kuat, jajaran menteri yang mendukung dengan kepemimpinan yang kuat pun sering dirasakan lemah.

Banyak orang yang juga berpendapat bahwa dunia dilanda krisis kepemimpinan. “Our world looks in vain for strong leadership”, demikian laporan World Economic Forum mengenai global outlook 2015. Fenomena ini dianggap berada dalam peringkat ketiga problem dunia, setelah masalah-masalah kesenjangan income dan peningkatan pengangguran.

Apalagi ketika wabah Covid-19 melanda. Dunia semakin berteriak, we need more and better leaders to tackle the pressing issues of our times. Semakin kita melihat adanya kekosongan pemimpin atau calon pemimpin. Benarkah demikian adanya?

Mari, kita tengok kursus, pelatihan, pendidikan kepemimpinan di semua industri, lembaga dan perusahaan pemerintah, bahkan sampai di kemiliteran dan kepolisian maupun beragam universitas yang didirikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Tidak ada lembaga pendidikan mana pun yang tidak memasukkan kurikulum kepemimpinan ke dalam program pendidikannya. Biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan kepemimpinan ini pun tidak sedikit, bahkan memakan persentase terbesar dari keseluruhan biaya pengembangan yang ada.

Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa kita kekurangan pemimpin dengan begitu banyak dana dan program yang sudah dipersiapkan. Meski demikian, keluhan tetap berlanjut. Bahkan, banyak yang mengeluh tentang lemahnya para pemimpin serta inkonsistensi keputusan-keputusannya. Apakah artinya biaya yang dikeluarkan untuk mendidik pemimpin tidak cukup? Apakah sasaran pendidikannya meleset dari keadaan lapangan yang sebenarnya terjadi? Atau memang keadaannya sudah terlalu kompleks sehingga tampaknya seolah-olah tidak ada pemimpin yang kuat untuk mengatasi hal ini? Namun, apakah sudah tepat untuk mengarahkan semua tanggung jawab pada pemimpin yang sekarang?

Bagaimana kualitas SDM kita?

Pada pidato pelantikan presiden, beliau menyampaikan misi sumber daya manusia (SDM) unggul yang memberi harapan sangat besar kepada semua orang. Bayangkan betapa kuatnya bangsa ini, bila daya saing tenaga kerja Indonesia dengan jumlah penduduk sebesar ini bisa meningkat. Kita bisa melipatgandakan para genius bangsa Indonesia yang saat sekarang sudah bekerja dan menuai banyak paten di luar negeri. Kita bisa menjual mahal tenaga-tenaga kerja kita yang selama ini mendapatkan upah yang rendah karena dinilai memiliki keterampilan dan kompetensi yang kurang mumpuni.

Sebaliknya, kita melihat bahwa sampai saat ini apalagi di tengah ancaman wabah melanda dunia, ternyata Indonesia tidak menampilkan kemampuan mengatasi laju penularan penyakit ini dengan jitu. Instruksi dari pemerintah, pemimpin, dan para ahli sekalipun tampaknya tidak mempan meskipun sudah disebarluaskan melalui berbagai media. Bahkan, orang-orang yang terlihat berpendidikan sekalipun tampak terbelakang dalam pemahaman dan pengaturan perilaku anti-Covid-19 ini.

Begitu banyak pelanggaran yang dilakukan secara umum di tempat keramaian, tempat hiburan, bahkan perkantoran dan rapat-rapat para pejabat. Ini adalah salah satu contoh dari masih banyaknya tantangan untuk mengembangkan kualitas SDM di negara kita. Kita masih jauh dari kualitas manusia yang bisa berdisiplin dan mengontrol diri. Alih-alih mengembangkan kualitasnya untuk dapat menopang negara menjadi negara ber-SDM unggul, bertingkah laku tertib saja belum merata dan konsisten dilakukan.

Bisakah gejala ini ditumpahkan pada pemimpinnya? Apakah para pemimpin yang gagal membuat strategi pengendalian yang baik?

Bagi sebuah negara, SDM adalah sumber daya terpenting yang tidak bisa lekang dimakan waktu. Kita tidak bisa berfokus pada sumber daya lain, seperti gas, minyak bumi, maupun mineral dan mengabaikan manusia. Kita perlu mengerahkan kekuatan dan fokus untuk mengembangkan pemahaman, keterampilan dan ketangkasan masyarakat. Pengembangan SDM ini nantinya akan menumbuhkan kapasitas untuk menyambut tantangan masa depan sehingga kita menjadi bangsa yang lebih kuat dan sejahtera.

Kita masih merasakan belum imbangnya kualitas pengembangan SDM dengan pengembangan ekonomi dan sosiopolitik negara. Walaupun kita sudah menyediakan berbagai program pendidikan, pendidikan vokasional, pendidikan orang dewasa sampai gerakan pemuda, masyarakat sendiri tampaknya belum terdorong untuk memperhatikan kualitas pendidikan. Kita masih berkutat pada kuantitas pendidikan, nilai ujian akhir, dari sekolah dasar sampai ke pendidikan tinggi. Kualitas manusia sebagai hasil pendidikan belum kita garap secara serius.

Bagaimana membangun SDM yang kuat?

Dalam ilmu pendidikan dasar, baik bagi anak maupun orang dewasa, kita mengenal cara agar pemahaman yang utuh bisa diperoleh mereka yang belajar. Pertama, dia harus tahu the what, lalu why dan how-nya. Selain itu, yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah afeksi atau hati mereka untuk terlibat positif dengan apa yang dipelajarinya.

Hasil akhirnya tentunya akan membentuk manusia-manusia yang tahu dan menguasai betul disiplin ilmunya, tetapi juga bisa memiliki daya kritik dan afeksi yang positif terhadap hal-hal tak terduga yang terjadi di lingkungannya. Pada saat terjadi hal yang tidak sesuai dengan kata hatinya, ia bisa bereaksi secara rasional, tetapi tetap dalam kaidah norma-norma sosial sambil melanjutkan tindakan sesuai dengan apa yang sudah digariskan dan dianggap benar. Pada saat itulah pemimpin tidak dibebani untuk bertanggung jawab atas semua gerak langkah followers-nya karena sudah dipastikan bahwa mereka cukup dewasa dan bisa mengarahkan dirinya sendiri.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING