Mau tidak mau, Covid-19 sudah membawa kita ke kondisi krisis. Kepanikan tidak hanya dirasakan oleh mereka yang terkena virus tersebut, tetapi juga sudah merambah ke berbagai pihak.

Yang tadinya hanya area-area yang terkena penyakit menular itu yang merasakan krisis, saat sekarang, hampir sebagian besar penduduk dunia merasakannya juga. Banyak yang membatalkan perjalanan. Banyak pula yang menghindari keramaian. Bahkan, acara-acara penting pun banyak yang ditunda sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Pasokan yang datang dari negara-negara tertentu berkurang dan bahkan kosong. Kesemuanya ini adalah tindakan untuk memitigasi penyakit ini.

Namun, perusahaan dan lembaga-lembaga pelayanan pemerintah tidak bisa hanya memikirkan mitigasi penyakit. Roda ekonomi harus tetap berputar. Perusahaan tetap harus menjaga cash flow dengan memastikan kelancaran uang masuk. Masyarakat masih harus memperpanjang KTP, STNK, dan surat-surat lainnya. Kondisi ini membuat kita harus berpikir keras, bagaimana menjalankan kegiatan sehari-hari sambil memastikan bahwa kesehatan tetap terjaga dan terhindar dari penyakit yang menakutkan ini. Bukankah kita tidak bisa tinggal diam, mengurung diri di rumah terus-menerus?

Kesiapan dan persiapan setiap lembaga ataupun perusahaan pasti berbeda-beda. Ada yang bersiap melakukan perubahan drastis, ada yang merancang tindakan preventif. Yang jelas, keterlambatan dalam melakukan tindakan proaktif menghadapi situasi krisis akan membuat kita sulit bertahan ketika tingkat krisis meningkat semakin kuat dan tajam.

Saatnya mempraktikkan “resilience”

Biasanya, krisis akan ditanggulangi dengan efisiensi, yang dengan sendirinya berdampak pada pengurangan karyawan, berlanjut pada berkurangnya produksi dan ujungnya berdampak pada berkurangnya aktivitas bisnis. Namun, saat krisis melanda semua bidang secara merata seperti sekarang ini, kita tidak cukup hanya melakukan efisiensi.

Di China, perpanjangan penutupan pabrik sudah diramalkan akan menghambat perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, beberapa pabrik dipaksa bekerja kembali. Kita sendiri merasakan bahwa sikap berhenti di tengah krisis dunia ini bukan jalan keluar, seperti halnya orang berdiri saja di tengah tengah aliran sungai yang deras. Kita perlu survive and thrive, terus mengarungi masa depan yang tak terduga ini.

Jadi, ada beberapa prinsip resiliensi yang bisa kita ikuti untuk menghadapi situasi ini. Pertama, gunakan prinsip 20/80. Amati dan tentukan 20 persen manusia dan aspek kunci yang berkontribusi pada 80 persen produksi. Berikan perhatian lebih. Hal yang rasanya tidak berkontribusi untuk produksi, perlu dipertimbangkan untuk dipotong.

Perusahaan yang resilient tidak bisa hidup tanpa memotong lemak-lemak yang berlebihan. Kita juga perlu mempertimbangkan hukum diversity. Perbedaan pendapat, latar belakang, dan pendidikan perlu dimanfaatkan. Kita tidak boleh menanggapi krisis dengan cara one dimensional, hanya melihat biaya karyawan, atau macetnya produksi, atau sekadar melihat kesulitan mendapatkan pasokan. Kita perlu melihat masalah dari berbagai dimensi lain.

Hal lain yang bisa kita pertimbangkan adalah mempelajari proses kerja yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Bagaimana kita bisa mencari cara optimalisasi dan efisiensi proses kerja kita. Misalnya saja, mengganti proses tatap muka dengan bekerja dari jarak jauh tapi tanpa menghilangkan efek olah rasa di antara pihak-pihak yang terlibat. Mungkin inilah saatnya kita benar-benar harus mengimplementasikan perubahan.

Kita tidak bisa hanya berharap situasi akan membaik. Kita perlu mempertimbangkan worst case yang mungkin terjadi dan mempersiapkan plan B. Jangan lupa bekerja sama, bahkan bersatu dengan para pemasok, pelanggan, dan kolega karena dengan mempererat hubungan kita bisa menanggulangi masalah dengan lebih mudah.

Seleksi informasi

Pada era saat ini, informasi datang bertubi-tubi. Semua orang bisa mengakses beragam informasi dan semua orang juga bisa dengan mudah menyebarkan informasi, entah itu benar ataupun hasil sharing dari grup sebelah. Ancaman terhadap penyebar informasi palsu sudah dibuat, tetapi membendung informasi 100 persen rasanya hampir mustahil bisa terjadi. Perusahaan-perusahaan media juga tidak lagi membedakan antara hard facts, soft facts, atau spekulasi. Masyarakat juga bereaksi terhadap isu-isu dramatis tanpa kalibrasi lagi.

Informasi pun sering diterima secara berbeda pula, tergantung pada informasi sebelumnya yang sudah ada di benak kita. Oleh karena itu, para atasan sebaiknya tidak mengambil keputusan atau merasa tahu, tanpa terlebih dahulu mengalibrasi dengan informasi yang dimiliki oleh para bawahan. Upayakan pemahaman dengan tingkatan yang sama antar seluruh jajaran manajemen. Sebelum keputusan diambil, baiknya kita juga mendengarkan pendapat para ahli dan memeriksa kondisi di lapangan.

Ada pepatah China mengatakan: “great generals should issue commands in the morning and change them in the evening”. Dalam kondisi krisis, kita tidak boleh segan untuk mengubah keputusan, terutama bila ada fakta yang mendukung. Di sinilah birokrasi sering menjadi hambatan ketika satu persatu persetujuan atasan harus didapat. Padahal, situasi di lapangan bisa berubah dalam kurang dari 24 jam. Kita memang perlu kreatif mencari cara untuk mempercepat jalannya birokrasi ini.

Jaga keseimbangan

Keadaan gonjang-ganjing pastinya menimbulkan kebingungan. Ada beberapa hal yang perlu dijaga keseimbangannya. Pertama adalah komunikasi. Perjelas beragam informasi dengan data dan olah dengan kepala dingin untuk mendukung obyektivitas. Jangan membiarkan rumor beredar. Perusahaan juga perlu peka terhadap apa yang ingin diketahui karyawan dengan memberikan informasi yang jujur dan tepat.

Jangan membiarkan karyawan bertanya-tanya dalam ketidakjelasan. Susun peraturan dengan mempertimbangkan beragam aspek dalam kehidupan individu-individu di organisasi. Selain itu, kita perlu membuka diri dengan dunia luar, para pelanggan, pemasok, tetangga, ataupun siapa saja yang bisa berbagi pengalaman dan tindakan. Kita harus prepare for a changed world.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Maret 2020.