Namun, di tengah-tengah perubahan seperti itu, masyarakat, anak buah, dan pengikut membutuhkan sosok yang tegak dan konstan ibarat tonggak yang menancap kuat untuk menjadi pegangan di tengah arus sungai agar tidak hanyut.
Apa jadinya bila pemimpin yang diharapkan menjadi tempat bertahan ternyata begitu mudahnya mengingkari kata-katanya sendiri? Awalnya gencar mengecam korupsi dan kolusi tapi lama-kelamaan tidak lagi bersuara. Alih-alih korupsi diberantas, malah para pelaku mendapat jabatan.
Dalam dunia bisnis kita melihat bagaimana Elon Musk dengan mudahnya melakukan perubahan dalam kebijakannya, baik di X maupun Tesla. Baru saja mengumumkan kinerja perusahaan yang meningkat dan visi masa depannya, tiba-tiba ia melakukan PHK terhadap karyawannya.
Walaupun dipandang sebagai seorang yang visioner dengan ide-ide besar, keputusan dan komunikasinya sering kali tidak selaras. Ini menciptakan tantangan bagi karyawan dan para stakeholders-nya untuk memahami dan memprediksi keputusan-keputusannya. Karyawan tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pelanggan pun tidak yakin apakah akan terjadi perubahan pada masa mendatang dengan produk ataupun layanan yang sekarang diberikan.
Ketidakkonsistenan seorang pemimpin juga dapat menyebabkan anak buah enggan bertindak. Mereka ingin melihat apa yang kali ini diprioritaskan oleh pemimpin untuk dilakukan terlebih dulu. Ini tentunya dapat menyebabkan penundaan yang berakibat pada peningkatan risiko dan biaya.
Sementara itu, konsistensi dapat membangun rasa percaya karena anak buah merasa mengenal pemimpinnya, apa yang dia inginkan, apa yang diharapkan, dan bagaimana standar yang harus dicapai sehingga mereka dapat menunjukkan inisiatif untuk mengambil langkah.
Baca juga: Merangkul Kerentanan
Trust is earned, not given, demikian kata pepatah. Rasa percaya karenanya tidak bisa diminta apalagi dipaksakan. Rasa percaya tumbuh melalui proses yang diberikan oleh bukti-bukti konsistensi antara perkataan dan perbuatan, antara satu perbuatan dan perbuatan lainnya dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Rasa percaya merupakan buah yang dihasilkan dari kekonsistenan. Pimpinan yang pilih kasih, bersikap keras pada divisi tertentu dengan dalih untuk memacu performa kerja mereka tapi menabur pujian pada divisi lain, sebenarnya sedang menanam benih-benih ketidakpercayaan dengan tingkah lakunya yang tidak luput dari pengamatan anak buah.
Konsistensi menunjukkan integritas
Banyak lembaga yang menerapkan integritas sebagai salah satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh insan di dalamnya, termasuk pemimpinnya. Integritas bukan sekadar kejujuran. Integritas merupakan keselarasan antara apa yang dipikirkan (niat), apa yang dikatakan, dan apa yang dilakukan (tindakan).
Kita harus memiliki niat yang lugas dan tulus demi kepentingan yang lebih besar daripada diri kita sendiri, termasuk prioritas nilai yang kita pegang dalam hidup. Tindakan berfungsi sebagai manifestasi nyata dari niat.
Niat yang tidak tulus akan tecermin dalam tindakan yang terasa setengah-setengah. Bertindak dan berbicara secara konsisten merupakan komitmen harian yang dapat membentuk reputasi integritas seorang pemimpin.
Keseimbangan agility dan konsistensi
Di balik pentingnya konsistensi, ada risiko yang mengintip ketika pemimpin hanya berfokus pada konsistensi. Bayangkan organisasi yang masih menggunakan teknologi lama karena pemimpinnya menuntut konsistensi. Tentunya dalam jangka panjang hal ini dapat merugikan organisasi karena memperlemah daya kompetisi.
Artinya, selain konsistensi, pemimpin perlu memiliki kualitas lain, yaitu keterampilan beradaptasi. Pasar berubah dengan cepat dan perlu direspons dengan segera. Namun, kelincahan dapat mengakibatkan hilangnya fokus. Bila seorang pemimpin begitu terobsesi untuk mengalahkan kompetitor, ia terus mengubah strategi bisnisnya, mengejar kompetitor tanpa kesadaran bahwa yang harus dilakukan adalah mencari dan membangun keunikan daya jualnya sendiri.
Sering kita melihat pemimpin yang mendorong tim internalnya untuk responsif terhadap persaingan bisnis dengan terus beralih terhadap pengembangan proyek baru, sementara proyek lama pun belum tuntas. Ini bukan saja membuat pencapaian sulit diraih, pengikut atau bawahan juga menjadi lelah karena dituntut terus bergerak tanpa arah pasti.
Menjadi pemimpin yang konsisten sekaligus lincah, berarti berpegang teguh pada nilai-nilai lembaga yang sudah dicanangkan. Namun, fleksibel dalam proses pencapaiannya tidaklah mudah. Pemimpin yang ingin berhasil menjaga keseimbangan antara kedua aspek perlu membangun sikap ingin tahu, siap belajar mencoba hal baru, komunikatif, dan kolaboratif.
Untuk menemukan keseimbangan ini, langkah pertama adalah berefleksi. Apa tantangan yang senantiasa menghambat diri kita untuk bersikap konsisten? Lingkungan seperti apa yang lebih menantang bagi kita? Apakah situasi yang dinamis atau kompleksitas yang membutuhkan fokus?
Jika ragu, kita bisa bertanya pada pasangan, teman dekat, atau rekan kerja untuk memperluas cara kita memahami diri sebagai fondasi untuk bertumbuh.
Setelah memahami diri, langkah berikutnya adalah mencari pendukung yang dapat menjadi penyeimbang kita. Berikan mereka kekuatan untuk berbicara dan menantang kita demi kebaikan organisasi. Bukankah Soekarno-Hatta sangat bertolak belakang, tetapi memiliki tujuan besar bersama?
Pemimpin harus berani mengomunikasikan perubahan keputusan yang dia ambil secara terbuka. Bahkan, kalaupun berarti mengakui kesalahan yang dilakukan sehingga mengakibatkan perubahan, itu perlu untuk dilakukan. Komunikasi yang transparan memang menjadi kunci agar integritas tetap terjaga meskipun terjadi perubahan.
“Konsistensi adalah kunci kesuksesan. Bukan apa yang kita lakukan sesekali yang membentuk hidup kita, melainkan apa yang kita lakukan secara konsisten.”
–Jeff Olson
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.