Dalam bincang-bincang santai dengan beberapa teman, terungkap banyak yang merasakan perubahan pada atmosfer komunikasi dengan rekan-rekan kerja pada masa pandemi. “Rasanya banyak teman yang sekarang lebih cepat marah karena hal-hal yang sebenarnya tidak perlu sampai membangkitkan emosi sedemikian rupa.”

Teman lain ada yang merasa, persahabatan dengan rekan kerja mengendur. “Ada yang hilang dalam persahabatan kita, tidak tahu apa persisnya,” ungkap mereka. Salah duga dan salah sangka menjadi lebih sering terjadi. Selain itu, banyak pekerja yang harus membina hubungan erat dengan para pelanggannya juga merasakan kesulitan dalam menjaga hubungan bisnis. Ada pelanggan yang menolak berkomunikasi secara virtual dan menuntut pemberi servis untuk datang saja kalau mau bertemu, sementara restriksi kesehatan tetap perlu kita perhatikan.

Semua orang percaya, komunikasi itu penting. Memang ada sebagian yang merasa tidak begitu pandai berkomunikasi. Sementara itu, yang lain merasa bahwa mereka pintar sekali berkomunikasi, bahkan memersuasi dan memengaruhi orang. Banyak dari kita yang terus berusaha mempelajari cara-cara penggunaan beragam perangkat komunikasi lengkap dengan beragam etiketnya agar prosesnya menjadi lebih lancar, seperti mematikan suara bila kita sedang mendengar pihak lain berbicara, menuliskan komentar di chatbox dan lain-lain. Namun, berapa banyak yang sadar bahwa ia perlu mengembangkan keterampilan berkomunikasinya? Mungkin hanya segelintir.

Tim Levine, profesor komunikasi dari Universitas Alabama yang melakukan penelitian mengenai komunikasi dalam masa Covid-19 mengatakan, “Social distancing is for the best overall; but social isolation is not healthy in the long term”. Ia juga mengatakan, berkurangnya kontak dengan orang lain menjadikan kita cenderung lebih mudah curiga. Hal ini memicu timbulnya sikap defensif berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak terbukti namun bisa menjadi self-fulfilling prophecy yang menghambat kelancaran proses komunikasi. Oleh karena itu, tantangan kita dalam situasi seperti ini adalah bagaimana meningkatkan mutu komunikasi kita terus-menerus agar kualitas kerja dan hidup kita pun bisa berkembang.

Be considerate

Dalam dunia kerja, kita mengenal komunikasi bisnis. Banyak orang beranggapan, komunikasi bisnis harus dijalankan secara lugas apa adanya tanpa pendekatan personal. Namun, justru pada masa pandemi seperti ini, kita disadarkan bahwa pendekatan personal menjadi semakin penting untuk diupayakan. Kita juga perlu menyadari, setiap negara, daerah, maupun organisasi memiliki kebiasaan berkomunikasinya sendiri-sendiri dan sebagai seorang komunikator yang andal, kitalah yang perlu untuk menyesuaikan diri dengan gaya dan cara berkomunikasi lawan bicara yang sedang kita hadapi.

Dalam relasi seperti ini, membangun koneksi personal adalah sebuah pilihan. Kita bisa memilih berbicara seperlunya saja sesuai dengan pesan yang ingin kita sampaikan. Namun, di sisi lain, kita juga bisa memilih untuk menyentuh emosi lawan bicara kita dengan pendekatan dari hati ke hati. Kita perlu menguatkan rasa, untuk mengetahui apa yang lawan bicara harapkan dari pembicaraan ini. Ini bukan hanya dalam komunikasi lisan. Dalam komunikasi tertulis pun kita perlu menggunakan kalimat yang mempertimbangkan perasan pembaca. Sadari kondisi emosi kita sendiri. Kalau perlu, tunda pembicaraan atau penulisan e-mail karena keadaan emosi kita bisa terbawa dan mewarnai kalimat-kalimat yang kita gunakan.

Kita bisa melakukan icebreaking dengan berbicara mengenai keluarga dan teman-teman sehingga kita juga semakin mengenal lawan bicara kita, apa yang menarik minat mereka, apa yang mereka anggap “berharga” dalam hidup mereka ini. Human connection yang tadinya bisa terjalin dengan wajar sambil bertatap muka, sekarang harus diupayakan dengan pendekatan yang lebih intensif. Kita perlu menganggap, individu yang sedang kita ajak bicara adalah seorang yang kaya pengalaman, kaya pengetahuan, dan menarik untuk diajak bicara.

Dengan segala macam tantangan yang ada dalam masa pandemi, siapa pun akan merasa lega bila mendapatkan perhatian lebih yang menyentuh hatinya. Jangan lewatkan kesempatan untuk dapat membuat orang lain merasa lebih berarti dalam interaksi komunikasi yang kita lakukan dengan mereka.

Perhatikan timing

Apa pun tujuan pertemuan yang dilakukan, baik itu mengumumkan kabar gembira, maupun sekadar ajakan untuk minum kopi bareng di Zoom, kita tetap perlu memperhatikan kesibukan dari masing-masing individu. Tidak semua orang siap sedia untuk diajak berkomunikasi setiap waktu. Mungkin ada yang belum sempat memasak makanan anaknya ataupun sudah lelah karena seharian mengejar deadline pekerjaannya. Tidak ada salahnya bila kita, baik sebagai atasan, bawahan, maupun kolega bisnis bertanya terlebih dahulu apakah mereka sedang memiliki waktu atau tidak. Kita juga sebaiknya bertanya mengenai media apa yang paling nyaman untuk digunakan oleh lawan bicara kita dalam berkomunikasi. Tidak ada salahnya kita yang memang lebih peka untuk memberi servis kepada lawan bicara kita.

Hindari penilaian

Dalam keadaan yang penuh ketidakjelasan, ada individu yang begitu cepat ingin membuat statement dengan menyatakan benar salahnya suatu kejadian ataupun reaksi orang lain. Kita perlu selalu mengingat bahwa setiap individu menjalankan pandemi ini dengan cara yang berbeda-beda, tidak semuanya sama dengan standar kita. Untuk itu, kita perlu sedikit menahan diri membuat penilaian-penilaian yang belum tentu benar. Setiap individu memiliki beban hidupnya sendiri-sendiri. Sebaiknya kita justru memasang sensor perasaan, menyediakan telinga, agar lawan bicara memiliki kesempatan curhat bila memang bersedia. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan hubungan pertemanan ini menjadi lebih dalam dan bermakna.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM