Cerpen menarik harus mampu memberikan pemahaman pada pembaca mengenai perspektif baru yang ingin ditawarkan. Dalam menghasilkannya, diperlukan penerapan dari berbagai konsep atau kerangka mendasar dalam menyusun cerita. Teknik dasar apa sajakah yang harus diperhatikan?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Fellycia Novka Kuaranita selaku penulis cerpen dan copywriter harian Kompas dalam webinar Kognisi bertema “Creative Writing 101: Writing an Engaging Short Story” beberapa waktu lalu. Dalam sesi tersebut, ia memaparkan berbagai aspek mendasar dalam membuat cerpen disertai dengan contoh-contoh yang relevan.
“Menulis cerita pendek adalah perjalanan mewujudkan dan mengutuhkan ide menjadi cerita,” ujar perempuan yang akrab disapa Oka ini.
Keberanian sebagai kunci utama
“Kita sering kali takut untuk menulis karena takut akan hasil yang buruk. Padahal, berani jelek itu baik,” ungkap penulis cerpen dan buku tentang kepariwisataan ini.
Menulis karya membutuhkan keberanian besar lantaran sering ada perasaan takut atau tidak percaya diri ketika menulis. Apalagi, ketika hasil karya kurang memuaskan. Memulai dengan berani menjadi kunci agar sebuah karya bisa lahir.
“Ketika ingin memulai, mungkin akan muncul pemikiran dari dalam diri yang mempertanyakan kompetensi kita untuk membuatnya. Untuk mengatasinya, kita dapat mengabaikan dulu keraguan atau kritik internal itu saat menulis cerita. Kritik-kritik pribadi itu boleh kita hadirkan lagi ketika menyunting karya,” jelas perempuan yang memilih untuk menulis fiksi pada waktu luangnya.
Awal perjalanan menulis cerita
Ide, yang merupakan embrio dari cerita utuh, bisa berbentuk apa saja. Bisa kalimat, pertanyaan, adegan menarik, pengandaian, dan sebagainya.
“Pertanyaan yang bisa memantik ide, misalnya, kenapa manusia dapat menua? Ide juga bisa muncul dari sebuah peristiwa, seperti adanya suara di luar rumah pukul 3 pagi. Suasana juga dapat digunakan sebagai inspirasi, seperti ketika ditemukan seseorang berwajah muram di tengah taman hiburan yang riuh. Contoh-contoh tersebut dapat menjadi titik mula untuk untuk mengawali cerita,” papar Oka.
Mengingat ide dapat muncul kapan pun, penting untuk selalu mencatatnya agar kita tidak lupa saat ingin menulis. “Catatan akan mempermudah penulis mengidentifikasi ide-ide potensial yang dapat dikembangkan,” jelas Oka. Ide yang sudah dipilih kemudian dikembangkan dengan proses kreatif.
Mengonkretkan ide
Untuk membentuk ide menjadi utuh dan konkret, dalam membuat cerita fiksi ada empat hal dasar yang perlu diperhatikan. Pertama, kerangka atau struktur narasi. Struktur ini terdiri atas tiga bagian, yaitu pengenalan, ketegangan menuju klimaks, dan klimaks atau resolusi.
Pengenalan yang dipaparkan pada situasi awal meliputi antara lain latar, tema, dan pengenalan tokoh serta tujuannya masing-masing. Bagian kedua adalah ketegangan menuju klimaks. “Bagian ini memiliki porsi besar dalam membuat narasi. Biasanya, terjadi situasi kurang pasti untuk tokoh, muncul ketegangan bagi karakter untuk mencapai tujuannya.” jelas Oka. Terakhir adalah klimaks atau menuju resolusi, yang merupakan konklusi saat seluruh masalah tokoh sudah terselesaikan atau cerita ditutup.
Aspek kedua, tokoh. Dalam membuat cerita, tokoh bisa apa saja. Manusia, binatang, tumbuhan, atau benda mati yang dipersonifikasikan. Mereka harus memiliki keinginan, kerentanan, sisi baik dan buruk, layaknya manusia. Dalam memenuhinya, penulis membutuhkan pengenalan mendalam akan tokoh. Upayakan pula menciptakan tokoh yang karakternya tidak melulu mengikuti stereotip.
“Terkadang sadar atau tidak, kita kerap membuat tokoh berdasarkan stereotip, misalnya guru identik dengan sikap penyayang anak-anak, suka bernyanyi. Padahal, tidak semua guru seperti itu.” tambah Oka.Dalam mengatasi stereotip yang tidak disengaja, penulis bisa latihan misalnya dengan membuat daftar sifat tokoh di luar stereotipnya.
Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah dialog. Dialog harus berkontribusi pada progresi narasi, mempertegas tokoh, meningkatkan ketegangan cerita, dan membantu pembaca memahami hubungan antar tokoh.
Aspek ketiga, latar yang menjadi tempat cerita bergerak. Penulis sebaiknya menciptakan latar yang sulit tergantikan atau memang mempunyai kontribusi terhadap jalannya cerita, tak sekadar tempelan.
Terakhir, sudut penceritaan. Secara umum sudut penceritaan terdiri atas tiga jenis, yaitu orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.
Sudut penceritaan orang pertama bisa kita kenali dengan penggunaan kata ganti orang pertama, seperti “aku” atau “kami”. Pada sudut pandang ini, penulis hanya dapat mengakses batin, pikiran, dan perasaan tokoh utama. Keunggulannya, suasana batin tokoh bisa digali dengan lebih mendalam. Jenis ini lebih mudah dicoba untuk pemula, karena bisa membatasi pengamatan untuk fokus pada tokoh asli.
Penggunaan sudut pandang orang kedua bisa dikenali dengan penggunaan kata ganti orang kedua, seperti “kau” atau “kamu. Sementara itu, sudut pandang orang ketiga penulis menggunakan kata ganti orang ketiga dalam cerpennya.
Dalam menentukan sudut pandang, penulis bisa mempertimbangkan pikiran tokoh mana yang penulis ingin bisa diakses pembaca. Selain itu, tokoh mana yang berpotensi mengalami konflik paling besar di dalam cerita. Sudut penceritaan merupakan hal penting karena plot bisa jadi akan sangat berbeda jika dituturkan dengan jenis sudut pandang berbeda.
Sebelum menutup sesi, Oka menambahkan, jika ingin disiplin, penulis bisa menetapkan tenggat untuk menghasilkan karya. Dengan begitu, kita punya target untuk dicapai.
Kognisi adalah produk turunan Growth Center, yang merupakan platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya dapat ditemukan di akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogi Friends! Stay safe, healthy, and sane!
Penulis: Helen Adriana Wijaya, Editor: Vivekananda Gitandjali.
Baca juga:
Bangun Minat Konsumen Lewat “Copywriting” yang Menggugah Emosi