Seorang teman sudah terkenal kepo sejak mahasiswa. Setiap ada gerakan, sesuatu yang baru, ataupun berbeda, ia selalu mencari tahu, baik melalui bertanya dan mendengar dari orang lain maupun penelusuran berita di internet. Teman-teman pun sering bertanya kepada dia mengenai sesuatu hal karena mereka tahu ia pasti sudah memiliki informasi mengenai hal tersebut. Setelah lulus kuliah, kariernya melejit dan dalam waktu singkat ia sudah mencapai posisi yang diidamkan banyak orang.

Banyak orang menilai individu yang terlalu ingin tahu urusan orang alias kepo itu mengganggu dan bahkan mendapat cap negatif. Namun, apakah sebenarnya tidak ada manfaat yang didapatkan oleh mereka yang memiliki tingkat kepo tinggi, yang dalam bahasa kompetensi di organisasi dikenal sebagai curiosity?

Sikap ingin tahu sendiri ternyata ada beberapa jenis. Pertama, sikap yang sering kita temui pada pengamat-pengamat media sosial yang ingin tahu mengenai kehidupan para artis dan selebritas, tanpa kebutuhan khusus, sekadar just for fun. Tipe kedua dikenal sebagai social curiosity, yaitu individu banyak mendengar, mengobservasi, serta mempelajari apa yang dipikirkan dan dikerjakan orang lain. Terkadang, individu dengan rasa ingin tahu yang tinggi ini sering mencari gosip atau fakta-fakta yang tidak dipublikasikan. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi ini, mereka menjadi sosok yang enak diajak bicara karena memiliki banyak informasi.

Tipe ketiga adalah tipe yang senang dengan hal baru yang memberikan tantangan dan bersedia untuk mengambil risiko fisik, sosial, bahkan finansial. Mereka ingin merasakan pengalaman baru. Semakin kompleks dan bervariasi, semakin mereka bersemangat. Individu dengan kapasitas ini selalu butuh memacu adrenalin keluar dari dalam dirinya. Dari sini, kita melihat, tipe social curiosity dan thrill seekers ini adalah orang-orang yang memanfaatkan rasa ingin tahunya untuk pengembangan diri.

Kita bisa membayangkan berapa banyak orang yang rasa ingin tahunya tumpul. Bahkan, boleh dibilang, sedikit pemimpin yang mempertanyakan hal-hal penting yang sebenarnya harus ia ketahui dalam organisasinya, bidangnya, pasarnya, atau lingkungan eksternalnya. Bila tidak memiliki rasa ingin tahu ini, apakah ia dapat sukses membawa organisasinya memenangkan kompetisi?

“Curiosity” menuju kompetensi

Dalam 30 tahun terakhir, banyak perusahaan pemerhati sumber daya manusia yang berusaha untuk mengukur keberhasilan seorang pemimpin. Curiosity merupakan salah satu kompetensi utama yang selalu muncul. Riset membuktikan, mereka yang memiliki curiosity tinggi biasanya tidak mudah terbawa pada paham sempit seperti stereotipe dan mengambil kesimpulan yang menggeneralisasi sekelompok orang.

Rasa ingin tahu bisa membuat seseorang lebih berempati, merasakan apa yang dirasakan orang lain, memahami apa sebenarnya kebutuhan mereka saat ini. Sikap seperti ini tentunya akan membuat kerja sama lebih efektif dan mulus, karena mereka lebih bisa berpikir dengan jernih dalam menghadapi konflik. Sebuah studi yang dilakukan di Harvard Kennedy School menemukan, calon pemimpin dengan curiosity tinggi memang lebih bisa berkomunikasi secara terbuka. Mereka lebih mendengar dan lebih banyak melakukan sharing informasi.

Pemimpin yang lebih curious juga terbukti mampu mendapatkan informasi yang lebih banyak dalam mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas, yang keluasan wawasan sangat berpengaruh terhadap kualitas dari sebuah pemikiran kreatif.

Mengembangkan “inquisitiveness”

Kita mengenal pepatah malu bertanya sesat di jalan. Dalam pendidikan di sekolah militer, bertanya bahkan mendapatkan penekanan yang sangat penting. Siswa yunior diwajibkan untuk mengajukan minimal satu pertanyaan sebelum mereka bisa menyantap makan siangnya. Murid-murid di sekolah umum pun kerap mendapat tugas untuk melakukan wawancara kepada figur-figur tertentu sebagai salah satu metode belajar mereka. Hal ini bertujuan mengembangkan rasa ingin tahu secara positif. Ini adalah cikal bakal sikap pembelajar yang memang dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi pemimpin.

Hogan Assessment juga memasukkan inquisitive dalam salah satu aspek kepribadian yang berperan penting untuk kesuksesan seseorang di tempat kerja, yang curiosity menjadi salah satu sub-aspeknya. Jadi, inquisitiveness dan curiosity ini memang perlu kita kembangkan terutama dalam situasi ketika pengetahuan berkembang pesat dan tidak terprediksi ini.

Fokus pada “curiosity” dan “inquisitiveness”

Pada tahun 2004, sebuah iklan rekrutmen di Silicon Valley memuat sebuah teka-teki yang membuat pembacanya penasaran dan menghubungi Google sebagai pemasang iklannya. Mereka inilah kandidat yang disasar oleh perusahaan. Eric Schmidt, CEO Google periode 2001–2011, mengatakan, “We run this company on questions, not answers.”

Pada tahun 2000, Greg Dyke yang dicalonkan menjadi Direktur Jenderal BBC, meminta waktu 6 bulan untuk mempelajari organisasi ini terlebih dulu. Alih-alih memberikan presentasi dalam kunjungannya ke cabang-cabang, karyawan dikejutkan karena ternyata ia malah mengajukan pertanyaan, “Apa yang harus kulakukan agar Anda merasa lebih senang? Apa yang harus saya lakukan agar pemirsa lebih senang?” Sikap seperti ini kemudian ditiru oleh anak buahnya dalam proses penciptaan ide-ide kreatif mereka.

Sebagai pemimpin, kita memang perlu berorientasi pada hasil, apalagi dalam kondisi yang menantang seperti sekarang. Namun, kita tidak pernah boleh mematikan rasa ingin tahu dalam proses belajar karyawan. Ada perusahaan yang memberi reward kepada karyawan yang mau bepergian ke tempat yang tidak umum, yang jarang menjadi tujuan wisata. Hal ini bertujuan merangsang karyawan mengembangkan semangat eksplorasinya. Ada juga perusahaan yang menentukan hari “Why?”, “What if…?” dan “How might we…?” dalam setiap rapat dan komunikasinya pada hari itu. Memelihara sense of wonder sangat penting bagi pertumbuhan kreativitas dan inovasi pada era sekarang.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM