Popularitas nama Kendal barangkali tak sering digaungkan jika dibandingkan sang ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Namun, wilayah yang berada di Pantai Utara Jawa ini ternyata menyimpan potensi mangrove yang dijadikan lahan belajar. Tengok saja Desa Kartika Jaya, Patebon, yang berjarak tempuh sekitar 1,5 jam dari Semarang.

Village Mangrove Learning Center (VMLC) adalah sebutan yang digunakan DeTara Foundation untuk menobatkan Desa Kartika Jaya. Ini tak lepas dari kegelisahan yang mulai dirasakan pada 2000. “Kala itu, banjir rob sering terjadi. Bahkan, menyerang pemukiman warga. Angin begitu kencang. Masyarakat yang berdekatan dengan kawasan pantai sangat merasakannya. Kok, jadi seperti ini ya? Sedih rasanya,” ujar Program Manager DeTara Foundation Ika Satyasari.

Dengan adanya gejala alam yang dinilai tidak seperti biasanya, maka beberapa individu mulai mengamati ekosistem sekitar. Mangrove yang berada di area pesisir perlahan-lahan rusak. Kerusakan terjadi karena penebangan liar dan faktor alam. Akan tetapi, perusakan yang paling cepat berasal dari manusia.

Baca Juga: Berwisata di Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk  

Mangrove membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. Mangrove mulai tumbuh tinggi ketika usia memasuki 5 hingga 7 tahun. Sementara itu, dibutuhkan 7-8 tahun agar tanaman dapat berbuah. Sayangnya, manusia kerap memanfaatkan bagian kayu, tetapi tidak melakukan pembaharuan dengan penanaman kembali. Lahan hutan mangrove pun mulai dialihfungsikan menjadi tambak.

Tak ingin merawat kegelisahan terus-menerus, perbaikan lingkungan pun dilakukan. Gejala alam yang mengkhawatirkan menjadi pembelajaran bersama meski harus melewati proses sosialisasi dan edukasi yang tidak instan. Berawal dari inisiatif individu bernama Warsito pada 2006, sejumlah pihak mulai terlibat dalam menjaga mangrove. Salah satunya, Ikatan Mahasiswa Kendal (Imaken).

“Awalnya, teman-teman Imaken hanya menanam. Selanjutnya, mulailah berpikir untuk menumbuhkan kesadaran warga sekitar. Budidaya mangrove bukanlah sekadar proyek pemerintah,” tutur Ika. Sejak 2013, organisasi mahasiswa yang peduli terhadap persoalan sosial dan lingkungan Kendal tersebut mendorong upaya rehabilitasi pantai utara Kendal bersama beberapa kelompok warga, terutama kalangan remaja. Hingga akhirnya melahirkan program volunteering.

Remaja dan institusi pendidikan menjadi sasaran pendekatan. Mereka dapat memahami mangrove dengan cara menyenangkan. Misalnya, mendokumentasikan lingkungan dalam bentuk film pendek dan memublikasikannya melalui Youtube. Menurut Ika, pendidikan lingkungan hidup wajib menjadi materi dalam sekolah. Oleh karena itu, DeTara Foundation mengajak sekolah dasar terdekat menjadi mitra, begitu juga dengan siswa SMP dan SMA. Dengan demikian, generasi muda pun ikut berperan dalam menjaga lingkungan.

Kehadiran mangrove juga dapat dimanfaatkan sebagai eko-edukasi bagi generasi muda. Village Mangrove Learning Center menawarkan program untuk mempromosikan area konservasi di pantai utara Jawa dengan aktivitas menyenangkan. Mulai dari menjelajahi hutan mangrove, bio-monitoring Sungai Lingen, memahami agroforestri dari komoditas pertanian, hingga mengeksplorasi karakteristik budidaya mangrove dan kegiatan masyarakat pesisir.

Ada pula Riset Aksi (Reaksi), yakni kegiatan kajian yang diiringi dengan aksi bersama masyarakat. Hasil kajian yang dilakukan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan ini juga menjadi media pembelajaran bersama dengan warga. Hasilnya kelak dapat berkontribusi langsung pada upaya yang tengah dilakukan masyarakat. Kegiatan Reaksi juga dapat dilakukan pelajar SMA sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler.

Pengetahuan tentang pentingnya mangrove bagi kehidupan tak lagi berhenti sebatas teori. Tumbuhan yang berperan dalam aspek ekologi, ekonomi, dan sosial ini juga membutuhkan peran semua elemen untuk ikut menjaga kelestariannya. [GPW]

noted: kendal desa pembelajaran mangrove