Kalimat-kalimat di atas cenderung mengajak bahkan memaksa untuk menghindar dari emosi negatif. Fenomena inilah yang disebut sebagai toxic positivity. Berdasarkan penerangan dari Right as Rain by UW Medicine, toxic positivity adalah kondisi di mana seseorang mengabaikan emosi negatif, lantas mengambil jalan yang salah dalam upaya menghibur hati karena tidak melibatkan empati. Mudahnya, tak peduli betapa sulit situasi yang dialami seseorang, mereka dianjurkan atau dipaksa untuk tetap berpikir positif.
Walau intensinya baik: agar menenangkan, memupuk semangat, membantu seseorang bangkit, ternyata pandangan positif yang berlebihan dapat menjadi serangan balik (backfire) bagi orang yang sedang merasakan derita. Tak bisa dimungkiri, ucapan-ucapan yang mengandung toxic positivity bisa jadi hadir dari orang yang tidak memahami cara tepat untuk menangani kondisi sulit pada dirinya atau orang lain.
True Positivity vs Toxic Positivity
Positivity menjadi hal yang umum dipromosikan dalam rangka mendorong individu agar tumbuh dan berkembang. Sayangnya, kepositifan (positivity) sering kali terlalu digeneralisasi (overgeneralized) tanpa mengindahkan adanya situasi tertentu yang kurang tepat untuk diaplikasikan. Ketika diaplikasikan pada momen yang salah seperti saat seseorang menghadapi kesulitan dalam hidupnya, orang tersebut akan sulit mengakui bahwa emosi yang sedang dialaminya nyata dan valid adanya.
Padahal, segala jenis emosi muncul pada diri manusia secara naluriah. Begitu pula dengan emosi negatif seperti sedih, kecewa, marah, atau malu, yang tidak dapat semerta-merta diabaikan. Apabila kita mengabaikan perasaan tersebut, kemudian membiarkannya terjadi secara berulang, maka perasaan-perasaan itu akan terkumpul dan senantiasa menghantui pikiran hingga betul-betul diselesaikan. Hal tersebut seperti yang dikutip dari Tabitha Kirkland, profesor di Departemen Psikologi University of Washington.
Ketahuilah, setiap emosi memiliki fungsi. Contohnya, emosi negatif seperti kemarahan atau ketakutan yang berfungsi agar kita awas terhadap adanya potensi ancaman atau bahaya. Begitu pula dengan emosi positif seperti kegembiraan yang dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menciptakan karya kreatif hingga berkoneksi dengan orang lain. Menurut Kirkland, terlepas dari positif dan negatif, seluruh emosi yang ada pada diri kita sama-sama valid.
Tanda Toxic Positivity dan Upaya untuk Menghindarinya
Ada beberapa pertanda yang dapat diperhatikan dari seseorang yang mengalami toxic positivity seperti yang dilansir dari verywellmind. Di antaranya, yakni merasa bersalah setiap kali merasa sedih atau marah, mengabaikan situasi sulit yang dihadapi orang lain, cenderung menyembunyikan emosi negatif, senantiasa berpegangan pada kutipan positif kala menghadapi situasi sulit, hingga terus menerus menghindari masalah.
Kepositifan bukanlah jawaban dari segala bentuk permasalahan di kehidupan nyata. Alih-alih menjadi pribadi yang simpatis, seseorang yang memaksakan kepositifan dalam keadaan buruk justru dapat membuat orang lain tertutup untuk bercerita dan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Tindakan ini juga bisa jadi membuat orang lain merasa bahwasanya kebahagiaan adalah satu-satunya jalan yang perlu ditempuh agar terjauhi dari luka yang dirasakannya. Lebih buruknya, orang-orang yang sedang menderita tersebut akan merasa dirinyalah penyebab utama dari semua permasalahan yang dihadapi, terlepas hal tersebut benar atau salah.
Naiknya pembahasan mengenai toxic positivity di Indonesia beberapa tahun belakangan membuka mata bagi banyak orang untuk mulai memvalidasi segala perasaan di dalam dirinya. Namun, hal ini sekaligus membuat orang bingung akan cara yang tepat untuk menghadapi masalah dan menanggapi teman yang mempercayakan dirinya untuk bercerita mengenai peristiwa sulit. Berikut adalah panduan untuk membantumu.
- Ingatlah bahwa seluruh emosi valid
Negatif atau positif, seluruh emosi adalah valid. Kita bebas untuk merasakan kegembiraan, ketenangan, juga amarah, kesedihan, ataupun kekecewaan. Sadarilah bahwa bagi orang yang mengalami masa sulit, berpikir positif adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Jangan paksa dirimu atau orang lain untuk tetap terlihat ceria, apabila kenyataannya sedang menghadapi masalah finansial, gagalnya hubungan percintaan, atau kehilangan orang terdekat.
- Berlatih mindfulness
Mindfulness berarti kesadaran penuh akan situasi yang sedang dihadapi, lantas menerimanya tanpa menghakimi. Melatih kesadaran ini dapat membantu untuk menghindari toxic positivity, sebab kita telah terlebih dahulu mengenali betul kejadian yang kita alami.
Untuk melatihnya, yakni bisa dengan menyediakan waktu atau momen untuk sepenuhnya merasakan perasaan dalam diri atau pikiran kita. Perhatikan segala pemikiran atau sensasi yang terlintas di benak dan tubuh, tidak terkecuali segala perasaan negatif.
- Ajak dirimu atau orang lain untuk mengungkap perasaannya
Alih-alih menghindar atau menutupi permasalahan, cobalah untuk mencari sarana yang tepat untuk mengungkapkan perasaan gusar. Temukan orang yang benar-benar dapat dipercaya untuk mendengar segala keluh kesah, juga yang diyakini dapat menerima kejujuran dirimu. Apabila tidak nyaman untuk bercerita kepada orang lain, alternatifnya yakni dengan menuliskan seluruh perasaan dalam buku atau jurnal pribadi.
Ketika mendengarkan orang lain, berfokuslah dan tunjukkan dukungan penuh padanya. Ajak ia untuk kembali menyadari bahwa apa yang ia rasakan adalah normal dan dapat dimaklumi.
Tertarik dengan bahasan mengenai toxic positivity? Di siniar (podcast) Smart Inspiration, motivator kebahagiaan Arvan Pradiansyah membahas mengenai hal ini dalam episode yang berjudul “Pentingnya Mengungkapkan “Tidak Baik-Baik Saja””. Dengarkan di Spotify dengan mengakses tautan berikut: https://bit.ly/SmartHappiness35 atau klik ikon di bawah!
Penulis: Intania Ayumirza & Miletresia
Baca juga : Cara Bunga Amanda, Model Plus-Size Hadapi Body Shaming