Tentunya ada banyak profesional dalam timnya. Namun, dominasi sang pemimpin membuat semua orang akan menunggu arahan dulu darinya sebelum mengambil keputusan. Jauh di hati kecilnya, pimpinan merasa bahwa tanpa dirinya semua tidak akan berjalan lancar. Sekalipun ia menggadang-gadang regenerasi, hampir semua keputusan penting masih berada di bawah kendalinya.
Tidak segan-segan ia memveto keputusan yang dirasanya “bodoh” tanpa bertanya pada anak buahnya. Tanpa disadari, tumbuh aturan tidak tertulis dalam perusahaan tersebut bahwa apa pun yang dikatakan dan diputuskan oleh sang pemimpin akan menjadi kebijakan yang dipegang oleh organisasi. Meskipun demikian, tidak jarang pemimpin melanggar keputusan yang dibuatnya sendiri demi kepentingannya sendiri.
Pendatang baru yang masuk pada budaya kerja seperti ini pun belajar bahwa ia juga harus taat pada sistem kekuasaan terpusat ini bila mau bertahan lama. Pemimpin menikmati posisinya karena satu kendali memang lebih mudah daripada bila kendali disebar. Apalagi karena ia tidak pernah menerima umpan balik yang negatif.
Orang-orang di sekeliling pemimpin ini bertumbuh menjadi orang yang tidak kritis. Mereka yang berani menyuarakan pendapatnya, berargumen dengan pemimpin, perlahan-lahan akan tersingkir karena dianggap mengancam otoritasnya. Mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu menjaga komentarnya agar tidak menyinggung ego pemimpi. Atau, justru menikmati posisinya dengan mengamini semua ucapan pemimpin sambil mengangkat-angkat egonya, memuji tindakan dan keputusannya sekalipun kurang etis.
Begitu banyak keistimewaan dan pelayanan yang diberikan kepada pimpinan dengan tujuan agar ia bisa berfokus memikirkan perbaikan hidup mereka yang berada di bawah pimpinannya. Padahal, misalnya, bagaimana seorang pemimpin bisa memahami berbagai permasalahan keruwetan transportasi publik bila perjalanannya selalu lancar bebas hambatan dengan pengawalan?
Bagaimana ia bisa mengerti bahwa kelambanan para karyawan membalas pesannya karena harus mengurus detail pekerjaan sekaligus kebutuhan rumah tangganya sendiri ketika seluruh kebutuhannya sudah disiapkan dan disediakan oleh para asisten pribadi, asisten rumah tangga dan sopir? Semakin lama pemimpin duduk di kursi kekuasaan, semakin menipis cadangan empati yang dimilikinya.
Kalaupun ia dulu pernah mengalami saat-saat susah, ingatan itu hanya tersisa sebagai kenangan kabur yang muncul dalam momen-momen ketika ia harus berpidato untuk menunjukkan pada khalayak bagaimana perjuangannya from zero to hero.
Namun, ketika usia terus bertambah dan fisik pun mulai terasa makin lemah, pemimpin menyadari bahwa ia tidak akan ada selamanya berada di organisasi. Bagaimana organisasi bisa bertumbuh bila hanya ada orang-orang yang bersikap yes man? Siapa yang akan menyadarkannya bahwa organisasi sedang tidak baik-baik saja? Inilah akibat dari kekuasaan yang tidak terbatas, selain tidak bertumbuhnya organisasi, kualitas SDM pun sulit beradaptasi dengan tuntutan perubahan.
Power addict
Kuasa didefinisikan oleh para ahli sebagai kemampuan atau kapasitas untuk mengarahkan dan memengaruhi tingkah laku orang lain, bahkan kejadian, tanpa pengaruh ke diri mereka sendiri. Kuasa bisa tampil dalam bisnis, pemerintahan, sampai lingkup terkecil kepala keluarga yang menjadi breadwinner.
Seorang pemimpin memang memerlukan kuasa. Dalam organisasi kita menyebutnya sebagai otoritas atau wewenang, yang kemudian diimplementasikan dalam keputusan, arahan, perintah, atau komando. Meski demikian, bila tidak ada batas dalam kekuasaan, mulailah kerusakan terjadi.
Sejarah menunjukkan, perang timbul manakala pemimpin menghendaki kekuasaan tunggal tanpa batas. Kita melihat bagaimana Stalin, Hitler, dan Idi Amin menjalankan kediktatorannya. Putin yang melanjutkan kekuasaannya lebih dari 15 tahun pun melakukan ekspansi ke Ukraina untuk menuntut mereka tunduk padanya.
Kuasa juga bisa menjadi adiksi, membuat si empunya yang terbuai berusaha mempertahankan posisinya. Mempersiapkan suksesi menjadi sekadar wacana yang tidak terealisasi. Profesor Gerben van Kleef dari University of Amsterdam mengatakan, pemimpin dengan kuasa yang besar biasanya juga meyakini bahwa ia adalah role model yang lebih baik dibanding orang lain di sekitarnya.
Seperti kata Abraham Lincoln, “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” Tampaknya kita semua perlu berhati-hati dengan kekuasaan ini bila tidak ingin tersedot ke dalamnya hingga berubah menjadi orang yang tidak lagi kita kenali.
Menjaga kualitas kepribadian
Psikolog David McLelland mengatakan, ada tiga kebutuhan dasar yang dapat mendorong individu untuk mendominasi dan mengendalikan orang lain, yaitu need for power, affiliation, dan achievement. Tanpa kebutuhan akan kekuasaan, tanggung jawab kepemimpinan akan terasa terlalu membebani. Namun, kekuasaan juga bekerja bagaikan antidepresan dalam otak.
Sebagaimana kita tahu, antidepresan yang dikonsumsi terus-menerus dalam waktu lama akan berakibat buruk pada otak hingga melemahkan kemampuan mengendalikan dirinya. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris Lord Owen yang adalah dokter sekaligus politikus. Ia bilang bahwa gejala hubris syndrome ini diderita oleh Margaret Thatcher, Tony Blair, dan George W Bush.
Hampir semua pemimpin yang mempertahankan posisinya lebih dari sepuluh tahun, berpotensi terkena sindrom haus kuasa ini. Situasi ini perlu dihindari, tidak karena ancaman politis saja, tetapi juga risiko terhadap kesehatan otak si pemimpin itu sendiri.
Inilah sebabnya pemimpin yang sedang memangku jabatan perlu selalu mengenali dan menerima kebenaran. Kita juga perlu berdisiplin diri untuk melakukan introspeksi dan menimbang apakah tindakan yang dilakukan tetap etis dan berdampak positif. Pemimpin juga perlu teliti menilai kelompoknya, apakah masih bisa bersikap obyektif atau hanya bisa “yes man”.
“They must foster a personal philosophy of interdependence and co-operation. And importantly, they must consciously, constantly strive to remain humble, and rooted in reality.”
Eileen Rachman & Emilia Jakob
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM