Zaha Hadid yang terkenal dengan keunikan desainnya, pernah mengalami masa sulit ketika tidak ada pelanggan yang mau merealisasikan desainnya. Ia kemudian merekrut arsitek-arsitek muda dari berbagai bangsa dan membentuk tim yang sangat bervariasi. Tidak lama berselang, kantor arsiteknya mendapat pekerjaan yang sangat bergengsi di seluruh dunia, mulai dari sekolah, museum, gedung teater, sampai jembatan layang. Situasi ini membuktikan bahwa kebinekaan sangat berguna mendorong kreativitas dan produktivitas.
Kita di Indonesia sesungguhnya perlu merasa beruntung karena sudah memiliki moto Bhinneka Tunggal Ika sejak zaman kemerdekaan. Hal ini memang sangat penting mengingat berdasarkan sensus BPS terakhir, ada 714 suku dan 1.001 bahasa daerah di negara kita ini. Bayangkan bila kita tidak memiliki moto ini dengan warna-warni suku bangsa, budaya yang demikian berbeda-beda. Namun, belakangan, kita justru melihat banyak perbedaan agama, prinsip, dan filosofi yang menyebabkan konflik tanpa bisa terselesaikan dengan baik. Dalam situasi seperti ini, kita jadinya melihat perbedaan menjadi ancaman, bukan sesuatu yang kita syukuri. Padahal, banyak perusahaan dan negara yang justru sedang menggalakkan keberagaman ini. Sebenarnya, mengapa perbedaan ini sering tidak langsung dirasakan membawa manfaat, malah dianggap sebagai pembawa perpecahan?
Kebinekaan bawaan dan buatan
Di negara kita, kebinekaan itu terlahir. Kita tiba-tiba dilahirkan sebagai orang Tapanuli, Jawa, Bali, Dayak, dan lain sebagainya. Kita dibesarkan dengan adat istiadat yang ada di sekeliling kita. Bila orang di sekitar kita atau orangtua tidak mengajarkan toleransi, pertanyaan tentang mengapa orang lain mempraktikkan religi yang berbeda dengan kita akan sulit dipahami.
Berbeda halnya dengan negara seperti Kanada yang sudah lama hidup dengan hadirnya para imigran dari berbagai negara. Kebinekaan mereka tercipta secara evolutif. Pimpinan negaranya pun menggalakkan hal ini. Pada saat pengungsi tiba di Kanada, Perdana Menteri Justin Pierre Trudeau menyambut mereka di bandara, siap dengan fasilitas dan pedoman bagi para imigran agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan negaranya. Inilah yang dinamakan inklusi: upaya melibatkan dan mempermudah penyesuaian individu-individu ke dalam masyarakat tertentu. Tanpa upaya inklusi, pembauran sulit terjadi. Pemahaman diversity perlu dimiliki kedua belah pihak, baik yang menerima maupun yang baru datang.
Paket “diversity + inclusion”
Banyak penelitian membuktikan, lingkungan sosial yang menganut keberagaman biasanya lebih mampu mengurangi konflik sehingga lebih mudah mempersatukan individu untuk mencapai tujuan bersamanya selain membuat mereka juga lebih percaya diri. Mereka akan terbiasa untuk menerima kualitas unik individu, termasuk dirinya sendiri. Engagement pun lebih dimudahkan karena semua mindset sudah terbuka secara positif.
Bukan itu saja. Dengan mengembangkan lingkungan yang kuat keberagamannya, ide-ide juga akan lebih mudah mengalir mengingat seluruh anggota kelompok sudah terbiasa menangkap perspektif yang berbeda dan menggarapnya dengan baik. Mindset diversity ini, selain membangun reputasi perusahaan, menggiatkan empati agar kita tanpa sadar juga bisa memahami pelanggan dengan lebih baik.
Proses inklusi memang membutuhkan waktu dan tidak mudah. Komunikasi adalah salah satu kendala terbesar ketika kita ingin menyatukan individu dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Resistensi dari kelompok mayoritas sangat mungkin terjadi. Sementara itu, upaya inklusi ini tidak bisa berhenti dalam pemikiran saja, tetapi juga harus diterjemahkan dalam tindakan-tindakan nyata.
Inklusi dalam kehidupan sehari-hari
Dalam upaya inklusi, kita sering melupakan dilibatkannya perasaan. Orang tidak akan mendekatkan diri bila ia masih merasa terasingkan. Terkadang sikap intoleran dari kelompok mayoritas sudah begitu berakar, sehingga tidak bisa terselesaikan hanya dengan membuat aturan dan protokol saja.
Sikap inklusi perlu diwujudkan dan terinternalisasi dalam hidup kita sehari-hari.
Pertama, harus ada kehendak untuk mendengar secara aktif dan tulus ungkapan rekannya, baik secara verbal maupun nonverbal.
Kedua, menjadikan kebiasaan mengakui dan menghargai setiap kontribusi individu sebagai budaya kelompok. Kita perlu mengakui kemampuan dan ekspertis individu tanpa memandang asal-muasal atau latar belakang mereka. Dengan demikian, kita mengonstruksi sifat kelompok yang lebih kolegial.
Ketiga, dalam cara menyambut orang baru. Orang yang baru masuk ke sebuah lingkungan pasti merasa asing. Mereka harus mempelajari ulang norma kelompok dan bagaimana budaya yang berlaku dengan kebiasaan-kebiasaan uniknya. Ketidaksuksesan dalam adaptasi akan menyebabkan proses inklusi pun gagal. Perlakukan orang baru sebagai undangan. Kita tahu bagaimana harus bersikap sopan ke tamu undangan bukan? Kita perlu melakukannya sehingga pembauran lebih cepat terjadi. Kita bisa memberi perhatian pada mereka dalam waktu senggang, di sela-sela pekerjaan kita, maupun dalam rapat.
Tingkah laku keseharian ini tampak sepele. Namun, justru dalam tindak tanduk keseharian inilah hidup individu berputar. Orang akan merasakan penerimaan di tempat baru ketika ada yang tersenyum menyambut walaupun belum mengenalnya. Janganlah kita membuat aturan yang muluk, tetapi melupakan keseharian ini. Small acts are some of the key ingredients to creating an inclusive organizational culture.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING