Pada saat diumumkan untuk diam di rumah, sebagian besar, terutama orang yang mengerti dan setuju, langsung membuat strategi bekerja dari rumah. Tidak jarang ada yang mengangkut CPU komputer kantor ke rumah karena kesulitan bekerja dengan laptop. Komunikasi on-line sudah tersedia, tanpa biaya tambahan pula. Keyakinan bahwa kita bisa bekerja di rumah sudah mantap. Dan, mulailah kita berkumpul semua.
Bapak bekerja dari rumah, ibu juga, anak melakukan belajar mandiri, semua bersama sama dalam rumah. Seminggu sudah berlalu, individu-individu yang tinggal di rumah dengan halaman yang luas mungkin tidak akan terlalu merasakan kepengapan rumah, bahkan kontrakan, yang kecil, yang perlu menampung manusia 4–5 orang yang mondar-mandir di dalam selama 24 jam.
Belum lagi, gejala information overload yang sebetulnya secara tidak langsung juga pasti mengakibatkan unchecked anxiety, kecemasan yang tidak terasa. Hal ini pun dicampur dengan kekhawatiran tentang kesehatan sanak keluarga kita pula. Jadi, mudahkah menjalani aktivitas isolasi ini dalam waktu yang lama dengan kondisi yang semrawut ini? Kita baru menjalani ini hampir 3 minggu, dan pemerintah sudah memperpanjang situasi ini sampai bulan Juni, 3 bulan lagi.
Tentunya masih ada yang harus disyukuri oleh kita yang keluarganya masih utuh dan terselamatkan. Namun, tidak ada salahnya kita pun realistis bahwa kita perlu menyiasati hidup terisolasi ini dalam waktu yang tidak bisa diprediksi lamanya.
Terjebak vs fokus
Banyak banyolan di internet mengenai rasa terkurung ini. Betapa tidak. Bila kita biasanya pergi ke luar rumah dan mengantisipasi saat-saat pulang ke rumah, berkumpul keluarga, saat-saat itu sekarang hilang. Kita sekarang justru di rumah terus.
Bila tidak menyiasati mindset, kita bisa diterpa kebosanan dan bahkan merasa terkurung terjebak di dalam kerumunan orang yang padahal kita sayangi. Ada teman yang mengeluh bosan dengan obrolan pasangannya, yang berkisar hal yang itu-itu saja. Ada teman lain yang mengatakan bahwa pasangannya tidak mau bekerja sama dalam mengurus anak-anak. Ada pula teman yang mengeluh bahwa perhatian pasangannya berkurang, justru setelah berada di rumah terus.
Seorang teman lain menceritakan bahwa ia merasa justru lebih sibuk dan tidak berhenti menghadapi komputernya ketika bekerja di rumah. Komunikasi yang biasanya tidak terlalu ada, sekarang menjadi intensif. Monitoring kinerja anak buah semakin terlihat nyata. Artinya, kita bisa membuat alternatif lain dari mindset terkurung ini.
Kita bisa percaya pada anggapan bahwa bekerja dari rumah (work from home) bisa lebih efektif. Namun, apakah orang bisa dengan mudah melakukan switch mindset-nya? Tentunya kalau perubahan tidak terlalu banyak, orang bisa lebih mudah melakukan perubahan. Untuk itu, dalam karantina ini, kita perlu tetap menjalankan kebiasaan kita sewaktu kita masih bekerja, yang biasa kita lakukan. Hal ini pun bisa kita bicarakan dengan anggota keluarga.
Walaupun dalam kebijakan work from home ini yang dihitung adalah hasilnya, akan lebih mudah bila kebiasaan rutin tidak kita ubah. Kita bisa memulai jam kerja persis pada waktu jam kerja resmi. Kita juga bisa berpakaian seperti berada di kantor. Kita tidak memasak atau mengurus cucian pada jam kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga kita lakukan di luar jam kerja. Walaupun kelihatan bahwa pembedaan ini sepele, pembagian waktu ini membuat kita tidak bingung dan memudahkan kita untuk beristirahat.
Ingat bahwa rumah yang berantakan akan membuat pikiran berantakan. Kita tahu bahwa kita akan berkeliaran di dalam selama 24 jam. Untuk itu, kita perlu rajin membereskan dan merapikan rumah agar tetap membuat kita nyaman untuk tinggal. Tak perlu selalu meng-update kondisi penularan, kematian dari media terus-menerus. Itu pun akan meningkatkan kecemasan. Bila kita sudah lama menginginkan untuk mengembangkan hobi baru, seperti melukis, atau mengerjakan kerajinan tangan, mungkin ini adalah saat yang baik untuk memulainya. Aplikasi internet, seperti belajar bahasa, yoga, dan olahraga, bisa juga kita gunakan untuk mengisi kegiatan yang menyehatkan jiwa dan raga.
Karantina dalam karantina
Kita, individu, masing-masing mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri. Seorang bisa butuh menyendiri, sementara yang lain bisa senang berkumpul. Seorang bisa menyukai kesunyian sementara yang lain justru suka dengan suara pesawat televisi yang melengking.
Secara pribadi, ini saatnya kita mempelajari diri sendiri dan menemukan apa yang kita butuhkan untuk menenangkan diri. Teman saya yang senang bersepeda, melakukannya berkali-kali. Setiap kali merasa bosan, ia bersepeda lagi beberapa menit. Inilah saat “me time“-nya. Tanpa sadar, ada karantina kecil dalam karantinanya. Setiap individu pun perlu merespek anggota keluarga lainnya dan menyadari keberbedaan kebutuhan masing-masing. “And if you need space but your partner doesn’t, make sure you accommodate their needs as well.” “Time together is precious. Perhaps, if we listen, learn, laugh and love we will be able to transform this new stress into strength.”
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 4 April 2020.