Media sosial yang merambah sampai ke seluruh pelosok dunia memang mendorong kita untuk semakin aware dengan kehidupan sosial. Kita sadar dengan kehidupan orang yang lebih tidak beruntung daripada kita. Kita pun bisa melihat kehidupan para selebritas. Sampai-sampai ada istilah panjat sosial, sosialita, dan beragam istilah lain yang dipakai dalam kehidupan sosial.

Demikianlah persepsi sosial yang umum berlaku di masyarakat terhadap kesadaran sosial. Padahal, pandangan ini hanyalah persepsi terhadap kelas sosial dan kehidupan sosial pada umumnya. Kita sering salah kaprah. Kita beranggapan, orang yang berada dalam kelas sosial tertentu, memiliki kesadaran dan keterampilan sosial yang kuat.

Seorang teman yang pekerja keras dan sangat efisien dengan cepat menaiki tangga karier sampai menduduki jabatan CEO. Ia selalu diundang ke beragam pertemuan, mulai dari pameran kesenian sampai acara yang eksklusif untuk kalangan tertentu saja. Ia merasa memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan anak buahnya. Sebaliknya, anak buah melihatnya sebagai sosok hebat, yang sangat efisien dan efektif, tetapi menakutkan. “Apalagi kalau ada sesuatu yang beliau tidak berkenan. Kadang kita sampai gemetar dibuatnya,” komentar anak buahnya. Apakah orang seperti ini bisa disebut sebagai orang dengan kemampuan sosial yang tinggi?

“Social awareness”

Daniel Goleman menyatakan, social awareness adalah aspek yang sangat penting dalam perkembangan pribadi manusia. Apalagi bagi seorang pemimpin. Orang yang tidak peduli dan tidak mengembangkan social awareness, sulit mendapatkan kekuatan dari hubungan interpersonalnya. Ia bisa saja tetap memiliki aktivitas sosial pada umumnya, namun tidak mendapatkan manfaat darinya. Orang dengan social awareness yang tinggi peka terhadap apa yang dialami oleh orang lain dan bagaimana perasaan mereka terhadap kondisi tersebut. Social awareness is all about living in the moment. Mereka aktif mengobservasi, memberi nilai, dan menghargai pendapat lawan bicaranya. Hal yang tidak kalah penting adalah kapasitas empati yaitu kemampuan untuk memahami keprihatinan, kebutuhan, emosi, dan perasaan orang lain. Ini dasar kompetensi seorang pemimpin.

Dalam kehidupan sehari-hari, social awareness terlihat dari kemampuan seseorang memahami kebutuhan orang lain dan berespons terhadap kebutuhan tersebut dengan cara yang tulus. Dalam dunia kerja, kita bisa melihat implementasi dari social awarness ini pada beberapa hal. Pertama, dalam sikap servis, ketika individu memiliki kemampuan lebih untuk memahami dan memenuhi kebutuhan pelanggan serta stakeholders-nya. Kedua, dalam berorganisasi, ketika ia bisa memahami politik dalam organisasi dan dampaknya terhadap perilaku dan prestasi organisasinya.

Inteligensi sosial

Ketika tren artificial intelligence semakin berkibar, manusia baru menyadari, kekuatan interpersonal tidak pernah bisa digantikan oleh mesin. Saat sekarang, social intelligence sudah terbukti lebih penting daripada inteligensi umum. Seorang pimpinan bisa saja memiliki ide yang cemerlang, tetapi kualitasnya sebagai pemimpin ditentukan oleh bagaimana pengikutnya memandangnya.

Sebenarnya tidak banyak studi yang bisa menerangkan apa yang membuat seseorang bisa memiliki inteligensi sosial yang tinggi. Namun, kita bisa melihat orang yang tidak mengasah inteligensi sosialnya, sering tidak tahu batas-batas perasaan orang lain, dan tidak berkomunikasi dengan asertif. Sementara itu, orang berinteligensi sosial yang kuat melihat dirinya sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, yang ia perlu menjaga tindakannya dan mengobservasi bagian lain dari sistemnya. Berikut ini, beberapa ciri orang berinteligensi sosial tinggi.

  • Bisa melihat diri dan orang lain secara obyektif. Tidak cepat menilai orang lain dan menganggapnya sebagai fakta.
  • Menerima dan memanfaatkan masukan orang lain kepada dirinya sebagai hal yang konstruktif.
  • Tidak memojokkan orang walaupun orang tersebut memang bersalah.
  • Mengadopsi emosi orang lain dan mengambil tanggung jawab seolah emosi tersebut miliknya. Sikap ini lebih dalam daripada sekadar empati.
  • Bisa mengidentifikasikan tren yang sedang berlangsung tetapi tidak terpengaruh olehnya. Motivasinya intrinsik, tidak terpengaruh faktor-faktor eksternal.
  • Senantiasa mempertanyakan “bagaimana kalau hal ini terjadi pada diri saya” sebagai ajang refleksi.
  • Memikirkan duduk permasalahan dan kata-kata yang tepat dalam berkomunikasi agar pesan tersampaikan dengan pas, tidak lebih tidak kurang.
  • Melihat masalah sebagai kesempatan dan bukan sebagai musibah yang mematikan.

“Deep listening”

Untuk lebih aware secara sosial, kita benar-benar harus mengembangkan kemampuan observasi dan mendengar. Ada istilah deep listening, yaitu kita berkonsentrasi betul sampai menemukan motif dan esensi dari apa yang disampaikan orang lain, baru mengeluarkan respons. Tidak ada asumsi dan jalan pintas dalam memahami orang lain. Kita pun harus membuktikan kita benar-benar mendengar. Kita perlu mampu mengulang apa yang dikatakan orang, membaca nada bicara, ekspresi tubuh dan wajah mereka sambil tidak lupa memperhatikan ekspresi diri kita sendiri. Bagaimana nada, ekspresi wajah dan tubuh kita ketika mendengar? Can you read the mood of the room? Can you sense how things are going for your employees, even if they don’t directly tell or show you how they’re feeling?

Bila kita tidak berusaha socially aware dalam peran kita sebagai pemimpin, anak buah merasa kita memiliki agenda sendiri dan tidak peduli terhadap pendapat mereka. Anak buah tentunya ingin diikutsertakan dalam keputusan, apalagi yang berdampak pada pekerjaan mereka. Bila mereka merasakan pimpinan peduli dan berada dalam gelombang yang sama, bawahan tentunya lebih engaged.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING