Hoaks atau berita bohong merupakan salah satu ancaman di masa demokrasi. Karena tidak sedikit oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan mudahnya penyebaran informasi untuk propaganda.
Penting bagi pemerintah, media massa, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah ini.
Aiman Witjaksono, Jurnalis KompasTV, dalam siniarnya yang bertajuk “Perang Batin dan Hoaks” memaparkan pentingnya menjaga kualitas informasi sehingga peradaban manusia dapat terjaga.
Pada ajang Pemilu atau Pilkada, opini publik sangat penting. Itu sebabnya, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab semakin gencar melancarkan aksinya.
Pada tahun 2018, Polri mencatat setidaknya terdapat 3884 kasus hoaks dan hate speech, catatan kasus ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2017 yang berjumlah 1254 kasus. Hoaks dan hate speech disebarluaskan akun-akun media sosial, baik yang bersifat asli (terverifikasi pemiliknya) maupun anonim, dengan tujuan black campaign untuk menjatuhkan elektabilitas calon yang diusung partai politik.
Lantas, mengapa hoaks, khususnya pada masa Pemilu atau Pilkada, bisa terjadi dan bagaimana dampaknya?
Biasnya pemahaman informasi
Ketika Pemilu atau Pilkada dilaksanakan, masyarakat akan menyadari eksistensi tokoh yang mereka sukai. Kesukaan ini dimanfaatkan para oknum, baik lewat media massa maupun sosial media, untuk membangun citra baik atau buruk terhadap para calon politik.
Dampaknya, masyarakat akan menganggap segala informasi terkait calon yang mereka suka atau tidak sukai adalah valid. Karena adanya tendensi dan preferensi politik.
Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat perihal hoaks karena rendahnya tingkat pendidikan, akibatnya secara tidak sadar mereka akan menganggap segala informasi valid isinya.
Politik identitas
Politik identitas adalah identitas oleh pelaku politik dengan pengendalian opini dan kesadaran publik sebagai tujuannya.
Opini dan kesadaran publik tersebut dimanfaatkan pelaku politik untuk memenangkan kontestasi kekuasaan dalam Pemilu atau Pilkada.
Di Indonesia, informasi yang menyangkut suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) adalah topik yang kerap menjadi latar belakang propaganda. Misalnya saja, ketika Jokowi, sebelum Pemilu 2019 dilaksanakan, diisukan sebagai seorang PKI.
Isu PKI dilekatkan sebagai identitas Jokowi dengan landasan bahwa komunis sama dengan ateis di Indonesia. Sementara, seseorang yang ateis kerap diartikan sebagai seseorang yang menentang agama.
Di lain pihak, Prabowo kerap dikaitkan dengan peristiwa menghilangnya aktivis 98 yang membangun citra dirinya sebagai pelanggar HAM.
Hal ini jelas dimanfaatkan untuk menurunkan elektabilitas dan memburukkan citra Jokowi dan Prabowo.
Masyarakat sebagai konsumen propaganda
Media massa memiliki peran penting atas masyarakat yang secara terus-menerus mengonsumsi konten atau informasi propaganda.
Mungkin bisa jadi masyarakat memang lebih menyukai sesuatu yang menarik atau isu-isu yang dapat memantik adrenalin. Akan tetapi, media massa tidak boleh memberikan apa yang diinginkan masyarakat saja, mereka juga harus menyajikan informasi yang berkualitas dan edukatif
Jangan ada informasi yang mengandung unsur melakukan framing opini publik dengan tendensi kepentingan pribadi atau kelompok. Terlebih media massa dengan sengaja menghasilkan berita atau informasi bohong dalam kontennya.
Jika demikian, maka fungsi dan peran media massa sebagai agen informasi tidak terwujud. Hal ini terjadi karena adanya kepalsuan yang secara sadar diciptakan dengan fakta dan data yang salah atau perlu dicek validitasnya.
Dengarkan investigasi-investigasi eksklusif dan menarik lainnya yang dilakukan Aiman dalam siniar Aiman Witjaksono.
Ikuti siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbarunya. Akses sekarang juga episode “Perang Batin dan Hoaks” melalui tautan berikut. https://dik.si/aiman_batin
Penulis: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama