Dalam perjalanan membangun organisasi, kita menyadari pentingnya kekuatan tim. Namun, menggarap beragam dinamika kelompok memiliki tantangan tersendiri. Di satu sisi ada ego pribadi yang membuat individu saling unjuk keunggulan, merasa dirinya lebih tahu, lebih sigap, dan lebih unggul. Ini sering memicu perdebatan tanpa ujung, bahkan berpotensi membentuk kubu-kubu dalam kelompok.

Di sisi lain, kekompakan yang berlebihan justru bisa menghambat kemajuan tim, khususnya dalam berinovasi. Ini terjadi ketika individu enggan saling mengkritisi demi menghindari konflik dan menjaga persatuan.

Mengapa groupthink terjadi?

Irving Janis dalam bukunya Victims of Groupthink mengatakan, groupthink adalah mode berpikir ketika terjadi kekompakan yang berlebihan (over-cohesiveness) dalam suatu kelompok yang mengutamakan kesatuan di atas penilaian realistis terhadap alternatif permasalahan. Groupthink merupakan sebuah jebakan psikologis ketika rasa nyaman dalam kebersamaan menjadi lebih penting daripada keberanian berpikir kritis antar-anggotanya.

Tanpa sadar, kita mulai mengorbankan pertanyaan, menahan keraguan, menghapus ketidaksetujuan, dan melupakan aspek kemandirian dalam pengembangan pribadi kita demi menjaga harmoni.

Fenomena groupthink juga bisa bertumbuh dalam budaya HiPPO (highest paid person’s opinion) ketika pemimpin tertinggi menjadi tokoh sentral organisasi yang menentukan semua keputusan penting. Pemimpin yang karismatik dan dominan dapat memicu groupthink ketika anak buah terlalu percaya pada kemampuannya sehingga tidak berani mempertanyakan keputusannya.

Salah satu gejala klasik yang diidentifikasi Janis adalah ilusi kesepakatan bulat. Ketika semua orang hanya mengangguk, pemimpin mengartikannya sebagai tanda persetujuan. Padahal, bisa saja sebagian besar memilih diam demi menjaga suasana organisasi tetap kondusif. Dalam berbagai situasi ini, groupthink muncul akibat adanya rasa takut akan diasingkan karena pendapat yang berbeda.

Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow menegaskan, tekanan untuk menyesuaikan diri sering bekerja secara tidak disadari. Tanpa menghadapi tekanan nyata pun, kita bisa menyensor ide dan pertanyaan demi menjaga keselarasan kelompok. Self-censorship menjadi semacam mekanisme bertahan, karena menyesuaikan diri terasa lebih aman daripada menanggung risiko diberi label sebagai “perusuh” atau “tidak loyal”.

Ketika kekompakan menjadi menyesatkan

Sebuah perusahaan teknologi yang tengah melejit menghadapi tantangan akibat keengganan para pemimpinnya untuk saling mengkritisi. Tiga pendirinya yang masing-masing memegang peranan sebagai CEO, CTO, dan CMO sering kali berbagi visi dan membanggakan kekompakan mereka.

Namun, kekompakan itu berubah menjadi jebakan saat usulan CEO untuk ekspansi agresif ke pasar luar negeri diterima tanpa banyak pertanyaan. Tidak ada analisis tentang kesiapan internal, tidak ada pembahasan tentang risiko finansial, dan tidak ada ruang bagi keraguan untuk bersuara. Suara dari bawah tentang potensi bahaya tidak pernah mencapai meja rapat. Para senior setia menjadi mind guards yang menyaring semua kritik demi menghindari konflik berkepanjangan.

Ekspansi yang dilakukan justru berujung pada kegagalan total. Evaluasi pascakrisis menunjukkan bagaimana harmoni yang dahulu menjadi kekuatan, kini menjadi sumber kelemahan. Mereka “jatuh cinta” pada kenyamanan kebersamaan, lupa mencintai pertanyaan-pertanyaan kritis yang dapat menyelamatkan mereka. Setiap eksekutif terlalu bergantung pada kekuatan kolektif karena enggan untuk memulai argumentasi.

Mendorong perbedaan demi kemajuan

Groupthink terjadi dalam kelompok yang memiliki kekompakan semu, kelompok yang sebenarnya tidak memiliki trust. Individu khawatir perbedaan dianggap sebagai tanda tidak loyal karena merasa mempertanyakan akan dianggap sebagai pembangkangan.

Meski demikian, upaya menghindari groupthink bukan berarti memusuhi harmoni. Pemimpin organisasi memang perlu mencapai kesepakatan sebelum mengambil sebuah keputusan, apalagi yang akan memengaruhi keberlangsungan organisasi. Kuncinya adalah dalam proses membangun kesepakatan tersebut.

Kelompok yang memiliki ikatan kuat justru berani saling berbeda dan mengkritisi. Sebab, mereka percaya bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan sumber kekuatan untuk melengkapi. Harmoni yang sehat tercipta dalam argumentasi yang saling menghargai perbedaan kekuatan masing-masing, untuk memperkaya pandangan sebelum mengambil keputusan.

Untuk mencegah groupthink, tunjuklah “devil’s advocate” yang sengaja mempertanyakan ide atau keputusan guna menguji kekuatan argumen, membuka ruang masukan, dan mendorong evaluasi alternatif sebelum membuat keputusan. Seperti kata Adam Grant dalam Think Again, “Keyakinan sering kali merupakan hasil dari konsensus kelompok, tetapi kebijaksanaan lahir dari mempertanyakan konsensus.”

Ketika masih terasa adanya keengganan, kita juga dapat memanfaatkan AI menjadi devil’s advocate mengingat AI tidak memiliki hambatan untuk mengeluarkan pendapat. AI tidak memiliki kekhawatiran akan penolakan atau ketakutan dianggap sebagai perusuh bila mengeluarkan pendapat yang berbeda.

Kita dapat memberikan pertanyaan, “apa saja hal yang bisa membuat rencana ini gagal?” Jawaban AI dapat menjadi pembuka yang netral untuk menciptakan rasa aman sebelum melakukan diskusi yang lebih mendalam.

Menghindari groupthink tidak sekadar membuat prosedur, tetapi juga soal membangun budaya. Sebuah budaya yang menghargai keberanian untuk berkata, “saya tidak setuju”, sebagai bentuk kepedulian terhadap organisasi, bukan sebagai tanda pengkhianatan terhadap kelompok.

Pada akhirnya, groupthink bukanlah kesalahan moral. Ia adalah refleks manusiawi yang lahir dari kebutuhan dasar kita untuk merasa diterima. Namun, kalau ingin bertumbuh, baik sebagai individu maupun sebagai organisasi, kita harus berani memilih sikap kritis di atas rasa nyaman.

Kekuatan sejati sebuah kepemimpinan tidak terletak pada seberapa cepat mereka mencapai kesepakatan, tetapi pada seberapa dalam mereka berani mempertanyakan keyakinan mereka sebelum melangkah bersama.

Kahneman mengingatkan, “Kepercayaan diri yang sejati bukan berasal dari menekan keraguan, melainkan keterlibatan aktif dengan keraguan tersebut.”

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman & Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.