Sebuah bank besar di Indonesia berniat menjadi regional leader pada tahun 2025. Artinya, mereka akan bersaing dengan beberapa bank asing yang sudah memiliki banyak cabang di mana-mana. Ini adalah ambisi yang patut diacungi jempol.

Sebenarnya, apa hambatan dari perusahaan untuk mengglobal selain daripada kendala bahasa? Bukankah kita tahu bahwa negeri tetangga kita juga merupakan pasar yang potensial untuk dimasuki? Atau, sebaliknya, bukankah pasar lokal masih cukup besar?

Beberapa alasan perusahaan perlu memperluas jangkauannya selain kompetisi yang semakin ganas adalah karena transaksi antarnegara sebenarnya juga bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru, seperti kesempatan untuk belajar, meluncurkan atau mendapatkan produk baru, sampai kepada belajar berkoordinasi secara global. Mengglobal bisa membuat kita berperang di blue ocean, sedikit kompetisi, daripada berdarah-darah dalam kompetisi di red ocean lokal.

Beberapa perusahaan retail sudah mengglobal sejak dahulu. Seven Eleven di antaranya. Masatoshi Ito menjadi jutawan bukan karena jaringan toko-tokonya di Jepang, tetapi justru di Asia dan Amerika. Setiap tahun, Ito mengajak para eksekutif topnya mendatangi negara-negara yang belum pernah dikunjungi dan mengeksplorasi hal-hal yang bisa meningkatkan kinerja bisnis mereka. Best practices dari kunjungan ini kemudian diaplikasikan dalam perusahaan mereka.

Ada juga perusahaan yang tidak langsung sukses dalam upaya globalisasi. IKEA, perusahaan furnitur dari Swedia dengan desain khas Scandinavian-nya tidak langsung berhasil di Amerika. Mereka mempelajari informasi yang akurat mengenai sistem nilai, norma tingkah laku, asumsi-asumsi yang mendasari keputusan manusia, sampai ke kultur penggunaan furnitur beserta gaya hidup lokal setempat. Mereka belajar menerima heterogenitas sebagai sesuatu yang normal, bahkan sebagai sumber daya dan kesempatan. Sekarang, IKEA selalu berusaha mencari produk-produk lokal untuk dimasukkan ke dalam daftar produknya. Selain bisa memperkaya jenis produknya, perusahaan ini juga bertujuan membantu produsen lokal mengembangkan usaha mereka.

Coca Cola adalah contoh perusahaan yang sudah mengglobal sejak lama. Mereka berinvestasi di China, Meksiko, India, dan Brasil yang mereka anggap sebagai high growth market. Sebanyak 86 persen dari karyawan di setiap tempat adalah orang asing. Sebanyak 80 persen penghasilan perusahaan datang dari operasi internasional. Top management haruslah mereka yang memiliki reputasi internasional. Setiap karyawan dituntut untuk memiliki global mindset.

Global mindset

Global mindset is being comfortable with being uncomfortable in uncomfortable places.

Bila kita lihat, perusahaan yang sudah mengglobal pun tetap mempersyaratkan seluruh karyawannya menganut global mindset. Menurut Javidan ( 2013), kompetensi going global terdiri dari tiga golongan besar, yaitu intellectual capital yang berupa kompleksitas kognitif, pemahaman bisnis secara global dan wawasan kosmopolitan; psychological capital yang diwarnai dengan passion pada keberagaman, keinginan untuk eksplorasi, dan kepercayaan diri; serta social capital yang terdiri atas empati antarbudaya, impact interpersonal, dan diplomasi.

Kapasitas ini memang ada pada individu, tetapi strategi dan kebijakan perusahaan pun harus mendukungnya karena akan memengaruhi suasana di seluruh tempat kerja. Ketika sebuah perusahaan FMCG memutuskan untuk melakukan globalisasi dan memindahkan beberapa departemen ke negara lain, banyak karyawan yang mengundurkan diri karena tidak siap. Tentunya perusahaan sudah harus siap dan mengantisipasi situasi seperti ini. Perusahaan yang dapat mengakomodasi upaya globalisasi namun tetap memperhatikan detail kehidupan domestik karyawanlah yang akan bertahan sebagai perusahaan global.

Think and act both global and local

Dalam proses globalisasi, banyak salah kaprah yang terjadi. Ada yang mengira, bila ingin mengglobal, kita perlu mengadaptasi semua perilaku orang asing sampai melupakan budaya sendiri. Padahal, seseorang tidak bisa sepenuhnya menjadi global bila tidak mengenal budayanya sendiri. Global berarti holistis dan mencakup semua aspek kehidupan. Kita bisa menyaksikan bagaimana Ishii Masufumi rajin memperkenalkan makanan tradisional Jepang beserta tata cara dan filosofi di baliknya, tetapi juga diselingi dengan kuliner Indonesia ketika ia menjabat sebagai Duta Besar Jepang untuk Indonesia.

Dalam sebuah organisasi, tidak cukup bila hanya pemimpin yang berpola pikir global, sementara anggota tim masih gagap dan tidak berani bergerak ke luar. Pertanyaannya, haruskah pola pikir global ini dimulai dari perjalanan ke luar negeri, mempelajari bahasa asing, dan bergaul dengan orang asing?

Beberapa langkah yang dapat ditempuh individu untuk mengembangkan pola pikir global adalah sebagai berikut.

Pertama, kita perlu mendalami budaya dan nilai-nilai yang kita anut. Bila kita sendiri tidak menyadari, mengenali atau sadar terhadap budaya kita sendiri, bagaimana kita bisa memiliki kerangka untuk mempelajari budaya orang lain?

Kedua, pertanyakan ciri kepribadian Anda. Apakah Anda memiliki rasa ingin tahu terhadap budaya? Apakah Anda memiliki self-awareness yang kuat? Apakah Anda cukup bisa merasa dan peka terhadap perasaan orang lain? Dapatkah Anda menerima hal-hal yang ambigu dan kompleks?

Ketiga, pelajari tempat kerja, bisnis di berbagai negara lain untuk dibandingkan dengan harapan kita mengenai situasi ideal bisnis kita. Siapa tahu kita bisa mendapat ide yang benar-benar segar dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Bila ketiga hal di atas sudah dipersiapkan, barulah kita siap untuk membina hubungan secara interkultural, mengembangkan strategi, dan siap untuk bersikap fleksibel dalam merambah dunia luar.

Be conscious of the global elements in your dreams. When starting local, dream of taking it global sooner.” ― Israelmore Ayivor

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

HR Consultant/Konsultan SDM