Penyesuaian masa new normal ini memang penuh dengan gejolak. Selain isu kesehatan yang menuntut individu untuk senantiasa memakai masker dan menjaga jarak, situasi work from home ini sering memunculkan konflik.

Ada karyawan yang merasa overwhelmed dengan jam kerja yang tidak lagi normal karena pesan-pesan di Whatsapp group masuk terus-menerus tanpa kenal waktu, sementara banyak atasan yang merasa karyawan sudah memiliki banyak kenyamanan karena bisa bekerja dari rumah tanpa pengawasan sehingga merasa berhak untuk tetap “mengganggu sedikit” pada hari cuti karyawan.

Banyak pemilik perusahaan yang “tidak rela” membayar gaji karyawan yang bekerja dari rumah karena yakin bahwa karyawan pasti “mencuri” waktu untuk urusan pribadi. Padahal, dalam era Covid ini, selayaknya kita semua berpikir bahwa bekerja dari rumah akan menjadi gaya kerja baru pada masa mendatang.

Banyak atasan atau pemimpin yang sukses pada masanya, dengan model dan situasi kerja masa lalu, masih gamang menyesuaikan kepemimpinannya pada era sekarang. Disrupsi yang dimulai dengan perkembangan teknologi yang secepat kilat, ditambah dengan munculnya virus Covid-19 secara mendadak telah mengubah semua aspek kehidupan kita. Cara bekerja kita karenanya juga harus dilakukan dengan berbeda.

Stigma lama yaitu orang yang bekerja harus diawasi di depan mata, termotivasi karena kedekatan fisik, sudah harus mulai ditinggalkan. Kita harus bisa memantau kinerja tim tanpa berada bersama mereka secara fisik. Kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang tidak takut menghadapi masa depan yang serba tidak jelas, berubah dengan sangat cepat dan menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tidak pernah dihadapi pendahulu-pendahulu kita.

Pemimpin yang tahan banting

Disrupsi yang terjadi saat ini memang menggugah para pemimpin untuk mengadakan perubahan. Namun, disrupsi yang sekarang terjadi tidak sekadar menggugah, tetapi juga sudah memaksa setiap orang untuk selalu waspada. Pemimpin saat ini perlu betul-betul mengamati bagaimana perubahan itu terjadi. Harapan pelanggan yang berbeda, kompetitor baru yang bermunculan dengan berbagai kreativitasnya, dan bentuk bisnis pun berubah. Prediksi semakin sulit untuk dilakukan dengan akselerasi yang semakin lama semakin cepat. Asumsi pribadi dan pengalaman masa lalu tidak lagi bisa dijadikan acuan.

Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity (VUCA), sudah menjadi bahasa sehari-hari. Satu-satunya jalan bagi pemimpin agar tahan banting adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri. Seorang pemimpin perlu menjaga kesadaran ini setiap saat. Berubah sudah harus menjadi kebiasaan, bahkan harus mempercepat iramanya. Pemimpin perlu melakukan unlearning terhadap praktik-praktik yang ia lakukan. Ia perlu dengan rendah hati bersedia mempelajari praktik-praktik baru.

Pemimpin yang future proof adalah pemimpin yang berani mengambil tindakan ketika informasi tidak memadai dan berani menembus ketidakpastian dengan menerjang maju. Dasar dari keberanian bergerak ini adalah keyakinan bahwa bila kita tidak mengubah cara berbisnis, kita tidak akan eksis lagi. Inilah yang oleh pakar manajemen yang juga futuris disebut sebagai AHA: awareness, humility, dan action.

Kepemimpinan memang berubah

Perkembangan teknologi dan globalisasi sudah pasti mengubah keadaan. Namun, kita tetap harus ingat bahwa kepemimpinan adalah the act of influencing others, getting the job done through others. Perubahan yang terlihat pada perilaku pelanggan, penjualan produk, dan angka laba rugi secara kasatmatalah yang sering menarik perhatian kita.

Kita sering lupa bahwa aset organisasi terbesar tetap manusia. Dalam berorganisasi digital dan memimpin organisasi virtual, bukan sekadar kinerja individual yang harus dipikirkan oleh pemimpin. Engagement karyawan akan memiliki dampak yang besar sekali terhadap kinerja jangka panjang dan membawa organisasi kepada inovasi di masa depan.

Selain itu, pemimpin perlu menyesuaikan diri dalam memimpin generasi yang banyak menggunakan pola pikir gaming dalam bekerja. Segala sesuatu yang tidak challenging dan fun akan dianggap membosankan dan ditinggalkan. Bagi generasi X apalagi baby boomers, memindahkan mindset dari linier menjadi pola pikir yang terpolarisasi seperti sebuah game memang membutuhkan usaha yang tidak sedikit.

Seorang futute proof leader juga tidak hanya melakukan aksi perubahan, tetapi juga perlu menanamkan semangat perubahan ini pada anak buahnya. Growth mindset harus ada dalam seluruh organisasi dan tidak boleh ada seorang anak buah pun tertinggal ketika organisasi berubah. Bahkan, anak buahlah yang harus menginisiasi perubahan. Pemimpin harus berada di tengah perubahan. Ia perlu waspada bila dalam kurun waktu tertentu tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam organisasinya.

Kita sudah lama mengenal kegiatan coaching. Banyak orang menyadari bahwa seorang pemimpin yang baik juga harus berperan sebagai coach. Tetapi, dalam pola kerja virtual, coaching tidak lagi menjadi tanggung jawab pemimpin seorang diri. Ia harus disebarkan dalam organisasi secara ketuk tular. Tidak boleh ada seorang pun dalam tim yang tidak melakukan coaching atau tindakan-tindakan korektif setiap saat. Kita bukan lagi menerapkan reward dan punishment semata, tetapi juga harus membudayakan corrective communication dalam organisasi. Coaching culture merupakan solusi untuk memimpin organisasi bila mau berprestasi.

Jadi, seorang pemimpin yang future proof haruslah lebih cerdas dalam berstrategi, memahami marketing, keuangan dan teknologi, serta memiliki sikap yang lebih positif untuk meminimalisasi politik kantor, menciptakan moral yang tinggi, produktif, dan menjaga hati karyawannya.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING