Dalam dunia yang disruptif saat ini, muncul istilah baru “FOBO” atau fear of being obsolete, ketakutan untuk menjadi usang dan ketinggalan perkembangan. Bisa juga ketakutan untuk menjadi tidak lagi relevan. Ketakutan bahwa kita tidak bisa lagi menjawab kebutuhan pasar.

Survei PwC tahun 2021 menemukan bahwa hampir 40 persen pekerja khawatir pekerjaan mereka akan menjadi usang dalam lima tahun ke depan. Kekhawatiran ini mencerminkan meningkatnya FOBO di kalangan pekerja. Kecemasan ini tentunya dapat menjadi krisis nyata di tempat kerja yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan produktivitas karyawan. Apalagi jika pimpinan menjadikan FOBO sebagai tekanan terus-menerus.

Namun, bertahan dalam zona nyaman juga berbahaya. Zona nyaman hari ini bukan sekadar bersantai tidak bekerja. Ia hadir dalam bentuk yang jauh lebih halus, seperti percaya diri berlebihan terhadap cara kerja yang sudah biasa dilakukan. Merasa bahwa yang dulu berhasil membawa pada kesuksesan akan kembali mendulang keberhasilan.

Padahal, pasar berubah dengan cepat. Teknologi melesat dan terus berinovasi. Cara pikir generasi baru meledak-ledak menantang struktur lama. Artinya, di tengah semua perubahan itu, kita harus waswas bila tetap duduk tenang tanpa sadar perubahan terjadi di sekeliling. Hingga tahu-tahu kita sudah tertinggal jauh dan sulit mengejar ketertinggalan.

Seperti katak yang dimasukkan ke air yang dipanaskan dengan api kecil. Inilah fenomena boiling frog yang diperkenalkan Olivier Clark. Si katak terbiasa dengan suhu air yang meningkat secara bertahap sehingga tidak mampu melompat keluar ketika air sudah benar-benar mendidih.

Pengalaman memang berharga, tetapi bila tidak terus diperbarui akan menjadi cerita masa lalu yang membosankan dan tidak relevan. Di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk menghidupkan kembali pengalaman melalui tantangan dan pembaruan menjadi kunci.

Gwynne Shotwell, Presiden & COO SpaceX, mendorong tim tekniknya untuk berpikir lebih jauh, menembus batas-batas kenyamanan, dan tidak takut menghadapi tantangan. Dengan pendekatan lintas fungsi, ia menggabungkan data, eksperimen, dan mimpi-mimpi besar menjadi dasar inovasi.

Shotwell menanamkan budaya berani mengimajinasikan segala kemungkinan, tetapi tanpa meninggalkan kedisiplinan. Ia berhasil menjembatani ide-ide liar dengan eksekusi yang ketat, menjadikan pengalaman masa lalu bukan sebagai arsip, melainkan “bahan bakar” untuk masa depan.

Yoshiharu Hoshino, founder Hoshino Resorts di Jepang, meminta resepsionis ikut memikirkan konsep layanan dan staf kebersihan menyumbangkan ide untuk membuat pengalaman tamu menjadi lebih berkesan. Ia membuka ruang dialog untuk menantang pola pikir “kami selalu melakukannya seperti ini”.

Di kalangan militer pun, David Marquet, kapten kapal selam AS yang menulis buku Turn the Ship Around!, mengubah kapal selamnya dari “kapal yang patuh” menjadi “kapal yang berpikir”. Alih-alih memberi perintah seperti lazimnya militer, Marquet mendorong setiap awak kapal untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab atas keputusan mereka.

Ia mengajarkan leadership at every level dengan pernyataannya yang sangat terkenal, “Jangan pindahkan informasi ke otoritas. Pindahkan otoritas ke informasi.”

FOBO memang terasa tidak nyaman, terutama ketika organisasi menjadikan “tidak FOBO” sebagai indikator stagnansi hingga menumbuhkan budaya kerja menghakimi dan tidak empati. Di sinilah pentingnya empati pemimpin untuk menciptakan keseimbangan antara inovasi dan produktivitas, bagaimana agar roda organisasi tetap bergerak dengan produktivitas saat ini. Namun, langkah inovasi pun terus digalang untuk persiapan masa depan sambil tetap memperhatikan kesejahteraan mental individu karena kedua hal ini menyerap energi yang sangat tinggi.

Baca juga: Overthinking, ketika Pikiran Tak Mau Diam

Ada empat hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah FOBO dari kecemasan menjadi pendorong yang sehat.

Pertama, jangan menunggu disrupsi mengetuk pintu. Buka jendela lebar-lebar untuk mengamati situasi di luar. Ciptakan “gangguan kecil” untuk diri sendiri dengan mencoba teknologi baru, mengikuti pelatihan, dan mencari informasi baru yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan yang membuat kita gelisah. Seperti kata Raméz Baassiri, “Disrupsi memang tidak nyaman. Namun, hal ini diperlukan jika kita ingin berevolusi dan tetap hidup.”

Kedua, biasakan diri dengan ketidaknyamanan. Banyak yang enggan belajar hal baru karena takut terlihat tidak tahu. Padahal, menyadari bahwa kita tidak tahu adalah awal dari menjadi tahu. Keberanian untuk mengaku “belum tahu” adalah suatu kekuatan.

Ketiga, ubah cara melihat diri kita dalam organisasi. Bukan lagi sebagai jabatan tetap, melainkan menjadi kumpulan keterampilan yang terus bergerak. Jangan melihat diri sebagai “manajer keuangan”, tapi sebagai seseorang yang paham analitis, bisa membaca data, terampil membimbing tim, dan antusias belajar hal baru. Dunia kerja hari ini tidak lagi berjalan linear. Tangga karier pun berbentuk modular dan dinamis.

Keempat, peran pemimpin sangat penting. Pemimpin yang adaptif tidak hanya mendorong anak buahnya untuk belajar, tetapi juga melakukannya sendiri. Seorang direktur senior yang mengikuti pelatihan teknologi komputer terbaru mengatakan, “Saya ingin tahu dunia anak-anak muda di tim saya. Saya tak bisa membimbing mereka kalau saya tidak paham cara berpikir mereka.”

Memang ada kebiasaan baru yang harus kita tanamkan, yaitu bertanya pada diri sendiri apakah saya masih bertumbuh dan relevan atau saya hanya sibuk bertahan? FOBO mengingatkan kita bahwa tidak ada posisi yang terlalu aman untuk tidak usang. Namun, juga tidak ada manusia yang terlalu tua untuk belajar ulang.

Kita tidak boleh “terus merasa cukup” hanya karena tidak ditegur atau terjepit. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk tidak nyaman. Seperti kata Steve Jobs, “Kami mempekerjakan orang-orang yang cerdas sehingga mereka dapat memberi tahu kami apa yang harus dilakukan.” Namun, orang pintar pun bisa kehilangan nilainya jika tidak terus bertumbuh.

Jadikan FOBO sebagai teman seperjalanan, bukan musuh. Ia adalah pengingat bahwa relevansi adalah pilihan yang harus kita buat setiap hari. Tidak hanya untuk tetap bertahan, tetapi juga tetap berarti.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman & Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.