Menarik bila kita melihat informasi yang bisa digali dari exit interview tersebut. Situasi ketika karyawan sudah tidak memiliki kepentingan lagi di dalam organisasi, biasanya akan memunculkan masukan yang lebih jujur.
Namun, apakah informasi yang didapatkan dari bincang-bincang tersebut ditindaklanjuti secara serius? Bagaimana divisi SDM dan pimpinan menyikapi komentar dan masukan dari “calon eks karyawan” yang mungkin membuat kuping tipis ini?
Bisa jadi masukan mereka terkait perlakuan tidak adil yang dirasakan selama menjadi karyawan, pimpinan yang sering bersikap kasar kepada anak buah, benefit dan tunjangan kesejahteraan yang tidak pernah berubah selama bertahun-tahun, serta program pengembangan SDM yang dinilai melempem.
Selain itu, jangan-jangan malah kita melakukan kill the messanger, alih-alih berusaha melakukan pembenahan. Kita justru menghukum mereka yang menyampaikan informasi yang tidak enak didengar ini dengan mencari-cari kesalahannya. Padahal, brutal facts atau fakta-fakta keburukan inilah yang perlu dikejar oleh para pemimpin bila ia ingin mengembangkan organisasinya.
Selain mendengarkan dan menerima dengan terbuka fakta-fakta keburukan yang disajikan oleh teman-teman di organisasi, dalam situasi yang tidak ideal, pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan fakta-fakta keburukan kepada anak buahnya. Agar anak buah bisa mendapat gambaran nyata mengenai situasi saat ini dan dampak yang mungkin terjadi pada masa mendatang. Apalagi pada masa yang ditandai serba ketidakpastian seperti saat ini.
Sayangnya, dari beberapa studi, rata-rata hanya kurang dari 20 persen pimpinan yang dapat menyatakan realitas ini dengan gamblang. Ini bisa saja disebabkan si pemimpin sendiri khawatir tidak kuat menahan ketegangan ataupun mereka juga bersikap defensif.
Menyikapi fakta dan realitas
Dalam buku Good to Great, Jim Collins menuliskan bahwa salah satu kunci dari kesuksesan organisasi adalah memiliki komunikasi yang terbuka. Dalam era yang serba tidak pasti dan volatile seperti ini, pemimpin memang tidak bisa lagi bersikap alergi terhadap fakta, seburuk apapun itu. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin.
Dimulai dari menggunakan pertanyaan dalam berkomunikasi untuk mendorong terjadinya diskusi. Pertanyaan-pertanyaan terbuka menunjukkan kesediaan pemimpin untuk mendengar pendapat, pemikiran, dan kekhawatiran anak buahnya. Keterampilan melakukan “penyelidikan” (probing) juga perlu dipertajam guna menghindari asumsi yang membawa pada kesalahpahaman.
Semakin kompleks keputusan yang harus diambil oleh pimpinan, semakin ia harus memperkuat keterampilan bertanyanya guna mendapatkan gambaran dan fakta yang lebih menyeluruh dari berbagai pihak.
Ada beragam cara bertanya. Ada pertanyaan menjebak yang dapat membuat lawan bicara merasa tersudutkan, ada juga pertanyaan yang pura-pura bertanya tapi sebenarnya ingin mengarahkan lawan bicara pada jawaban yang diinginkan oleh penanya. Di sinilah dibutuhkan ketulusan hati kita sebagai pemimpin ketika ingin bertanya.
Sebagai pemimpin, kita perlu membangun lingkungan agar kejujuran dihargai dengan baik, dan semuanya ini berawal dari diri sendiri. Bila yang kita ucapkan tidak sesuai dengan yang dilihat anak buah, secanggih apa pun program yang kita buat tidak akan berhasil dengan baik. Dengan demikian, sesengit apa pun fakta-fakta keburukan yang disampaikan, kita tetap perlu menunjukkan pada bawahan bahwa kita menghargai dengan tulus kesediaan mereka untuk berbagi. Dengan sikap positif pula, kita tetap membawa mereka menuju produktivitas.
Dengan sikap positif, fokus kita adalah bersama-sama mencari jalan keluar yang lebih baik. Investigasi kesalahan ditujukan untuk mencari akar permasalahan, bukan menghakimi biang keladi penyebab kesalahan. Dengan demikian, suasana tim pun dapat tetap kondusif berfokus pada solusi. Mempermalukan individu dan menyebabkan rasa bersalah sama sekali bukan jalan menuju perbaikan.
Kita pun bisa kreatif membuat mekanisme penyampaian fakta yang perlu menjadi perhatian organisasi. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita menunjukkan pada pemberi informasi bahwa suara mereka benar-benar didengar dan diperhatikan.
Kotak-kotak saran yang sering kita lihat di beberapa gedung adalah salah satu contoh media penggalian informasi dari lapangan. Namun, kotak saran yang penuh sampah adalah contoh nyata ketidakpercayaan pihak lain terhadap keseriusan organisasi dalam mendengar. Memang tidak semua saran maupun informasi perlu ditindaklanjuti, di sinilah dibutuhkan keterampilan pemimpin dalam memilih informasi yang penting dan genting.
Pemilihan fakta-fakta keburukan yang perlu digarap juga akan berdampak pada pembentukan persepsi bawahan. Bila hanya dari divisi tertentu yang disoroti, sementara permasalahan divisi lain apalagi yang dikenal dekat dengan pimpinan tidak pernah dibahas, persepsi tentang us vs them akan terbentuk di antara mereka.
Sikap fairness dari pimpinan akan dengan mudah terbaca melalui bagaimana cara ia menyikapi kabar-kabar buruk ini dan pada akhirnya memengaruhi keinginan bawahan untuk buka mulut. Whatever the truth, you can still retain faith in your ability to succeed when you embrace a climate that energizes people to communicate.
Sebarkan harapan dan keyakinan
Tugas kita sebagai pemimpin adalah menyebarkan harapan dan keyakinan bahwa di balik semua fakta keburukan yang ada, bila menghadapinya dengan sikap terbuka, optimisme, dan keinginan bersinergi dari semua pihak, kita dapat mengubah tantangan menjadi sebuah kesempatan emas yang membawa kita pada lompatan besar.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Baca juga: