Pada hari-hari ini, kita jadi sangat menyadari, sangat membutuhkan kontak antarmanusia. Kita seolah lapar akan hubungan interpersonal yang lebih mendalam daripada sekadar saling sapa di layar komputer. Kita butuh merasakan antusiasme, energi, dan excitement yang muncul ketika sedang bertemu muka. Kehadiran orang lain secara fisik serasa bisa memberikan energi baru kepada kita. Dunia bisnis pun sekarang menyadari, koneksi dalam tatap muka bisa menguatkan interaksi dan membangun hubungan bisnis yang lebih baik.
Seorang teman yang bekerja di bidang market research mengeluh mengenai kesulitan membaca respons peserta focused group discussion dalam sesi daring (online). Melalui metode virtual, sulit membaca like–dislike secara jelas, meraba ketulusan respons, dan terutama mengingat kebanyakan dari kita terbiasa melakukan multitasking, sulit menjaga fokus atensi peserta agar terus berada dalam sesi FGD ini dan tidak sibuk membalas chatting di ruang yang lain.
Dengan tatap muka, kita bisa mendapatkan beragam pesan nonverbal selain daripada isi pembicaraan semata. Ada body language, nada, bahkan reaksi spontan akan perasaan yang muncul. Kita ingat formula 55 persen body language, 38 persen nada suara, dan 5 persen kata-kata dalam setiap momen berkomunikasi. Bayangkan, betapa banyak saluran pesan yang tersirat hilang dalam setiap pertemuan tatap muka.
Para neuroscientist juga mengingatkan, pertemuan tatap muka memberikan pengaruh positif pada diri kita. Menurut psikolog Susan Pinker, kontak person to person merangsang sistem syaraf untuk melepas sejumlah neurotransmitter yang mampu meregulasi stres dan kekhawatiran sehingga kapasitas kita untuk berespons positif terhadap perubahan lebih kuat. Tatap muka juga bisa memperkuat cara kita mengingat dengan mengimajinasikan konteks atau situasinya. Hal ini tentunya dapat melindungi otak kita mengalami degenerasi. Dengan bertatap muka, kemungkinan kita untuk kebetulan bertemu dengan orang yang memiliki energi positif juga lebih luas tanpa pertemuan yang harus dijadwal sebelumnya. Semakin positif kita memandang dunia, semakin besar harapan kita untuk menempuh jalan menuju kesuksesan.
Dalam teori hierarki Maslow, kebutuhan sosial adalah kebutuhan tier 3, sesudah kebutuhan dasar dan rasa aman. Ini lebih penting daripada prestasi. Isolasi sosial sudah terbukti meningkatkan kebiasaan merokok, tekanan darah, tingkat kecemasan, depresi, sampai obesitas karena kurangnya berolahraga.
Interaksi antarmanusia membantu badan dan otak untuk mengerti secara lebih mendalam apa yang sedang kita alami dan solusi apa yang bisa kita pilih untuk memecahkan masalah. Hubungan dan kontak selalu menimbulkan tantangan sosial baru bagi kita. Kita tidak dibiarkan berhenti pada status quo. Keadaan tidak stabil inilah yang justru membuat kita beradaptasi dengan kesempatan-kesempatan baru dan transformasi yang mengangkat energi kita.
Neocortex manusia jauh lebih besar daripada binatang. Sebagian besar area yang membedakan manusia dengan binatang adalah pada kognisi sosialnya seperti conscious thoughts, bahasa, empati, mindset, pengaturan tata krama, dan emosi. Sebagai makhluk sosial, pembatasan aktivitas sosial akan membuat kita menderita.
Sekarang kita mengerti, mengapa berdiam di rumah, bekerja dengan dikelilingi keluarga tersayang lama-lama juga bisa membuat kita jengah. Namun, dalam situasi ini, kita tidak punya pilihan. Namun, dalam pekerjaan, ada kegiatan-kegiatan yang tetap memerlukan kontak tatap muka.
Berdasarkan penelitian, ada empat dimensi dampak interaksi sosial dalam pengembangan manajemen yang perlu kita perhatikan, yaitu pertama, kolaborasi yang membutuhkan kepercayaan dan konstruksi pemahaman yang sama; kedua, inovasi yang kita perlu brainstorming bersama menggenjot otak untuk mengeluarkan ide-ide dan secara kolektif berkolaborasi, belajar bersama, serta menciptakan sesuatu yang baru. Kegiatan ini membutuhkan rasa percaya dan kebersamaan yang cukup panjang dalam keadaan tanpa tekanan; ketiga, akulturasi, membuat kultur perusahaan yang solid yang pemahaman bersama dan sense of shared identity diperkuat; keempat, dedikasi, sense of purpose yang kuat dan perasaan berada dalam komunitas yang sama.
Peranan ekspresi dalam komunikasi
Dalam berkomunikasi, ekspresi wajah memegang peranan sangat penting untuk memberi konteks terhadap isi pembicaraan. Wajah kita terdiri dari bagian atas, tengah, dan bawah. Di bagian tengah, ada hidung yang bisa mengernyit. Di bagian bawah ada dagu, bibir, dan rahang. Bibir bisa tersenyum, bisa mencibir, atau terkatup rapat bila menahan amarah. Kita lihat bahwa bagian tengah dan bawah wajah memegang peranan sangat penting.
Bisa kita bayangkan betapa komunikasi terganggu dengan dua pertiga wajah yang ditutupi masker? Apa yang bisa kita lakukan dalam berkomunikasi dengan penutup masker?
Pertama, kita perlu meningkatkan kesadaran bahwa kita sedang menggunakan masker yang membuat senyum maupun gerak bibir tidak kelihatan. Kesadaran ini perlu dimiliki oleh kedua belah pihak sehingga keduanya perlu menguatkan bagian-bagian lain yang kelihatan, seperti mata, kening, dan otot-otot lainnya di bagian atas wajah. Kita bisa mendukung pesan kita dengan mata dan wajah, misalnya dengan sedikit mengangguk ataupun memperkuat ekspresi mata kita. Ingat, mata adalah jendela jiwa. Senyum yang dilakukan hanya dengan otot bibir, tanpa dibarengi ekspresi mata bisa terasa seperti senyum palsu.
Kedua, memperkuat ekspresi body language. Tangan bisa lebih kita intensifkan untuk mendukung maksud yang ingin disampaikan.
Ketiga, memperjelas artikulasi kata-kata, berbicara lebih keras, perlahan dan memastikan bahwa lawan bicara menangkap kata-kata kita dengan tepat. Sadari kemungkinan adanya gangguan suara dari lingkungan sekitar.
So really we have no choice but to be social creatures. We can’t help it – it’s the way we’re made.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
HR Consultant/Konsultan SDM