Keinginan memenuhi kebutuhan sehari-hari justru membuncahkan ide yang berbuntut inovasi dan omzet bulanan yang tidak kecil. Seiring arus sharing community yang kini menjadi tren pasar ekonomi, mamah-mamah muda yang akrab disapa mahmud pun saling berbagi untuk menyiasati kebutuhan dan keinginan.

Gampang-gampang susah. Begitu yang dirasakan setiap ibu kala mencari baju untuk anak-anak mereka. Hampir semuanya suka dengan baju-baju impor, tetapi merasa overprice. “Anak-anak itu kan pakai bajunya cuma sebentar. Usia nol sampai satu tahun aja bisa tiga kali ganti size. Satu sampai tiga tahun sekitar dua kali ganti size. Kan lumayan juga kalau beli kemeja, satunya Rp 400 ribu. Enggak mungkin cuma beli satu untuk setahun, kan?” ujar Ratih Putri Hehuwat, ibu dua putra yang berusia 4 tahun dan 11 bulan.

Berawal dari menyiasati tingginya harga dan tetap mendapatkan baju sesuai tren terkini, tidak sedikit ibu-ibu muda yang akhirnya terinspirasi untuk membuat sendiri. “Membuat yang versi murahnya aja, toh juga buat main, kotor-kotoran. Yang penting harus nyaman dan desain up to date,” terang Ratih.

Tren belanja daring via Instagram yang booming sejak sekitar 5 tahun lalu pun kian memudahkan para ibu mencari kebutuhan untuk anak. Namun, meski menawarkan kepraktisan dan kemudahan berbelanja, belanja daring dianggap membatasi ruang gerak. Ratih bercerita, “Belum tentu kita bisa dapat dalam jumlah banyak, sesuai kebutuhan. Di satu brand online, paling hanya dapat celana satu, kaos satu. Tapi, gak bisa fullfill my needs. Belanja di mal juga begitu. Harus keluar masuk toko karena satu brand, kan, biasanya hanya punya satu karakter (desain).”

Berangkat dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan ini, Ratih mendirikan Pelangi Aykiko. Ia mengumpulkan merek-merek yang menjual ragam perangkat kebutuhan anak seperti pakaian, aksesori, hingga dekorasi di bawah naungan Pelangi Aykiko.

“Jadi, di dalam satu toko, ada macam-macam brand. Menyajikan karakter (desain) yang berbeda-beda. Jadi bisa beli buat anaknya, untuk kado ulang tahun, untuk keponakannya, sepupunya, macam-macam, semua ada di satu tempat,” tambah Ratih.

Bagi pemilik merek, kehadiran Pelangi Aykiko pun menjadi angin segar. Meski telah memiliki belasan ribu follower di Instagram, jalur offline tetap dibutuhkan. “Supaya konsumen bisa bertanya lebih detail, bisa langsung pegang barangnya, atau ukur langsung. Buat kita, lama-lama menyusahkan kalau setiap pertanyaan via online ini harus dijelaskan satu-satu. Jadi berpikir, kayaknya kita tetap butuh offline store-nya,” terang Novilie, pemilik merek baju anak Philie.

Menyewa tempat untuk berjualan tentu lebih mahal. Sesuai tren pasar ekonomi sharing community yang menekankan konsep berbagi, dengan bergabung maka hal itu bisa disiasati. Pelangi Aykiko menerapkan sistem titip jual atau yang lebih dikenal dengan konsinyasi untuk setiap merek yang bergabung dengannya.

Orisinal

Berawal dari hanya 5 merek, kini Pelangi Aykiko menjadi rumah bagi 33 merek yang mengawali langkah mereka di jalur Instagram. Dengan merek asal Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Aceh.

Pertumbuhan ini terjadi hanya dalam tempo setahun. Banyaknya peminat, membuat Ratih semakin selektif mengiyakan merek-merek yang ingin bergabung.

Pertama, harus merek dalam negeri. Kedua, menjajakan produk buatan sendiri. Bukan reseller atau hasil berbelanja di negara lain lalu dijual di Indonesia.

Ketiga, orisinal. “Bukan hasil copas (copy paste) punya orang lain, melainkan yang jadi pionirnya. Dialah yang pertama kali bikin itu,” kata Ratih.

Keempat, membatasi hanya ada 2 hingga 3 merek untuk jenis dagangan yang serupa. Kelima, harga berkisar Rp 70 ribu hingga Rp 500 ribu. Tidak boleh di bawahnya atau di atasnya.

Orisinalitas menjadi karakter sekaligus identitas utama Pelangi Aykiko. “Yang aku mau kembangkan memang mereka yang punya ide inovatif itu. Yang niat membuat sesuatu, bukan sekadar ikut-ikutan,” tambahnya. Contohnya seperti merek Philie, yang menjadi pertama membuat desain infinity scarf sebagai penutup menyusui.

“Waktu itu, saya masih menyusui. Nah, setiap kali anak mau menyusu, saya repot harus mencari-cari nursing cover di dalam tas yang makan waktu. Anak saya sudah keburu ngamuk. Semakin dia besar juga semakin tidak mau menggunakan penutup. Dari situ saya kepikiran membuat penutup yang tetap nyaman untuk ibu maupun anaknya,” cerita Novilie.

Dengan scarf tak berujung miliknya, ia melakukan banyak percobaan untuk mencari yang paling pas. Utamanya menentukan jenis bahan. Tidak boleh menerawang, harus elastis agar bisa menggantung di tubuh dengan baik sehingga tidak mudah lepas, dan tidak membuat si anak kepanasan. Selesai menyusui, scarf bisa tetap menggantung di leher menjadi aksesori pelengkap penampilan sang mama.

Itu sebabnya, pekerjaan utama Ratih setiap hari adalah menyimak setiap merek yang ada di Instagram. Agar ia tidak kecolongan jika ada merek yang sebenarnya hanya follower, bukan sang inovator.

Apresiasi yang tinggi pada setiap inovator itulah yang dijunjung Pelangi Aykiko. Di balik setiap produk barang, bahkan yang terkesan sepele sekalipun, terdapat ide, kreativitas, dan kegigihan dalam berkreasi. [ADT]