Beberapa bulan yang lalu, MS Team menyatakan pengguna platformnya mencapai penambahan 44 juta orang per bulan. Walaupun bisa mengagumi perkembangan teknologi dan bersyukur ada teknologi yang menyelesaikan banyak masalah dalam masa isolasi ini, kita juga perlu mempertanyakan apa yang hilang dalam komunikasi digital ini? Apa dampak jangka panjang terhadap kehidupan emosional kita?
Dalam pertemuan tatap muka, kita mengekspresikan emosi secara verbal dan nonverbal, emosi manusia berkembang bersamaan dengan interaksi yang terjadi. Secara timbal balik, kita memersepsi tanda-tanda emosi lawan, baik yang disadari maupun secara bawah sadar. Syaraf, indera, dan otak kita menangkap sinyal-sinyal emosional dan bereaksi secara emosional.
Dr Matsumoto, yang mendalami komunikasi verbal, nonverbal, dan emosional, meyakini reaksi-reaksi rutin ini memudahkan kita membentuk ikatan emosional satu sama lain. Lalu lintas reaksi emosional ini merupakan unsur penting pada terbentuknya interaksi antar manusia. Mirror neuron di dalam otak bereaksi bila menangkap sinyal-sinyal emosional dari ekspresi lawan bicara seseorang.
Pada penggunaan komunikasi digital ini, terjadi pengurangan drastis dari intensitas kerja indera kita. Kita kehilangan bau, suara-suara tambahan, dan ekspresi muka seutuhnya di luar yang tampak dan terdengar melalui gadget sehingga ancaman komunikasi digital ini membuat kita sulit membina hubungan interpersonal yang mendalam, memang patut diwaspadai.
Menyadari efek samping komunikasi digital
Kekurangan-kekurangan dalam komunikasi digital ini janganlah kemudian membuat kita menghindari untuk memanfaatkannya. Namun, kita perlu menyadari bahwa mengembangkan dan mempertahankan hubungan perlu usaha lebih. Kita perlu mendedikasikan lebih banyak waktu dan perhatian pada hubungan interpersonal.
Kita tidak boleh lupa, dalam keadaan terpisah-pisah satu sama lain dan hanya terhubung secara digital ini pun kita tetap perlu membangun tim yang efisien dan efektif. Di tengah ketidakpastian kondisi pandemi dan selalu berubah-ubah, kita perlu menyiapkan tim agar mereka memiliki kelenturan untuk mengikuti perubahan ini dengan cepat. Kita juga bertanggung jawab menjaga dinamika kelompok dan mempertahankan atmosfer positif dalam kelompok. Kesemuanya ini hanya bisa dilakukan bila kita cakap menggunakan kepekaan indera dalam berkomunikasi digital.
“Emotional awareness” dalam komunikasi
Pernahkah Anda berusaha menyembunyikan perasaan? Mungkin kita bisa menahan penggunaan kata-kata tertentu dalam bicara kita. Namun, body language sering tidak bisa berbohong. Di sinilah kita sadar, emotional awareness dalam memahami dan mengkomunikasikan perasaan kita sangat berguna. Bila menyadari keadaan emosi kita, kita akan lebih mudah memahami emosi orang lain dan memahami bagaimana emosi memengaruhi komunikasi mereka. Kemampuan ini sering disebut sebagai keterampilan reading the room.
Kita bisa berlatih bagaimana menajamkan kepekaan perasaan. Bayangkan keadaan kita merasa sangat marah atau sedih. Rasakan apa yang terjadi pada tubuh kita, napas yang mungkin semakin cepat sampai pada ketegangan yang terjadi pada otot-otot seluruh tubuh yang biasanya tidak kita sadari. Kurangi ketegangan tersebut sedikit demi sedikit. Melalui latihan ini, kita membangkitkan kesadaran sehingga kita semakin lama semakin mampu mengatur kata-kata dan body language kita: tahu mana yang harus diekspresikan dan mana yang harus ditahan. Di dunia digital dengan pandangan sebatas wajah, air muka kitalah yang perlu diatur sambil juga berlatih untuk menangkap sinyal dari air muka orang lain. Kita juga bisa memperdalam empati dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan empatetik sehingga pemahaman kita tentang kondisi emosional lawan bicara semakin tajam.
Ber–EQ tinggi di dunia digital
Meskipun memiliki batasan, metode komunikasi digital juga beragam. Bermula dari e-mail yang memudahkan surat-menyurat, sampai bentuk pesan-pesan pendek seperti sekarang. Untuk menggantikan emosi, orang sering menggunakan emoticon yang dianggap bisa mewakili perasaannya. Namun, sebenarnya, dialog one on one secara virtual tetap tidak bisa digantikan oleh emoticon apa pun juga. Kehangatan yang dirasakan ketika mendengarkan suara lawan bicara melalui cara “jadul” seperti berbicara di telepon akan memberikan dampak yang lebih kuat.
Ada beberapa hal yang perlu difokuskan ketika mengelola tim dalam dunia virtual ini. Pertama, kita perlu sepakat, semua pihak yang terlibat harus saling mengerti luar dalam, bukan di permukaan saja. Tidak hanya urusan tugas, tetapi juga antarpribadi.
Selanjutnya, kita mesti memanfaatkan emosi dalam melakukan transaksi hubungan interpersonal kita. Kita perlu belajar menggunakan kepekaan emosi untuk membangun self awareness terlebih dulu sebelum menjadi self regulation. Motivasi dan empati adalah kekuatan yang bisa kita gunakan untuk membuat hubungan lebih kaya dan bersemangat. Bila hubungan sudah lebih terbuka, setiap pihak bisa lebih memahami perbedaan satu sama lain dan membangun sikap saling menghargai. Di sinilah kita akan merasakan koherensi hubungan dalam tim virtual ini. Communication works for those who work at it – John Powell.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING