Diawali dengan shock karena kenormalan tiba-tiba hilang, gaya hidup yang harus berubah 180 derajat, sampai pada ketakutan akan ancaman ekonomi yang lebih parah lagi. Meskipun dialami kita semua bersama-sama, collective grief ini tetap mengejutkan semua orang. Anticipatory grief, perasaan tidak menentu karena kesulitan memprediksi masa depan yang membuat orang tiba-tiba kehilangan sense of safety dapat menimbulkan ketegangan karena serba ketidakpastian ini. Kecemasan yang dirasakan tidak selamanya terlihat.
Pada saat kritikal seperti ini, peran pemimpin menjadi sangat penting untuk menyeimbangkan rasa aman dan rasa sehat dengan produktivitas di tempat kerja. Meskipun ancaman resesi membayangi, pemimpin tidak bisa hanya berfokus pada produktivitas, karena bisa jadi ada anggota tim yang terdemotivasi, bahkan mengalami mental breakdown. Oleh karena itu, pemimpin di organisasi mendapat tugas tambahan untuk menjaga stabilitas emosi seluruh anggota timnya. Sementara itu, ia sendiri pun pasti berhadapan dengan tantangan-tantangan work life balance-nya sendiri, masalah keluarganya, ketakutan-ketakutannya, sambil tetap perlu memikirkan perubahan strategi mengikuti perubahan yang terjadi di lapangan.
Masih ingat peringatan di pesawat terbang ketika akan take off? Dalam situasi darurat, penumpang yang membawa anak kecil harus memakai masker oksigen terlebih dahulu sebelum menolong anaknya. Ini adalah analogi yang tepat bagi pemimpin dalam keadaan pandemi ini. Pemimpin tidak bisa memimpin dengan efektif kalau ia sendiri tidak sehat secara mental.
“Tough love approach” tidak bisa diterapkan
Stres tingkat tinggi bisa memengaruhi perilaku kita. Daya tahan menurun dan secara tidak langsung produktivitas pun pasti akan terganggu karena banyak yang tidak masuk kerja akibat sakit. Di sini, ada peringatan bagi pemimpin: This is not a time for the “tough love” approach to get a team functioning well again.
Pemimpin yang terlalu task oriented bisa-bisa malah menghadapi masalah. Saat ini, fokus pemimpin perlu diarahkan sebagai social support. Pemimpin juga perlu menjadi role model yang nyata. Semua perilaku dalam menghadapi krisis akan diamati dan dijadikan patokan bagi bawahan. Pada masa krisis ini, pemimpin perlu membuka diri ke bawahan dan meyakinkan mereka bahwa dirinya bisa diajak mendiskusikan beragam hal, baik berkaitan dengan pekerjaan maupun pribadi.
Ia harus terdepan dalam memahami akibat dari kecerobohan protokol kesehatan terhadap penularan. Perhatiannya tidak hanya bawahan, tetapi juga mencakup keluarga mereka. Ia perlu mengembangkan jalur komunikasi yang jelas. Ia tahu informasi-informasi yang tepercaya. Ia paham ke mana harus mencari pertolongan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, baik pada timnya maupun anggota keluarga mereka. Ia menggariskan secara tegas kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kesehatan dari seluruh anggota timnya. Sejauh mana kita bisa melakukan rapat di luar kantor? Apakah seluruh anggota tim memiliki perangkat proteksi yang dibutuhkan bila mereka harus bekerja di luar rumahnya?
Work life balance perlu kita promosikan kepada bawahan kita, tanpa meninggalkan fokus untuk mencapai deadline, target dan kepuasan pelanggan. It is critically important to lead with empathy, strive for flexibility and model ways to prioritize health and well-being.
Pada masa seperti sekarang, kesehatan tidak saja fisik, tetapi juga mental emosional. Paling tidak seorang pemimpin perlu memberi isyarat bahwa ia pun peduli terhadap keadaan emosional bawahan. Ia harus peka terhadap perubahan emosi karyawannya, penyebab penurunan kinerja, sehingga dapat memberi perhatian lebih kepada bawahan yang sedang memerlukan dukungan emosional.
“Set the right tone”
Komunikasi seolah-olah suatu hal yang sangat sederhana, tetapi sebenarnya memberi dampak besar terhadap suasana hati pihak-pihak yang terlibat. Para bawahan saat sekarang pasti mempunya banyak pertanyaan, formal maupun informal. Meski demikian, belum tentu mereka berani mengungkapkannya. Apalagi bila kita sibuk dengan diri kita sendiri, dengan ketakutan-ketakutan kita, tidak mempunyai daya untuk meredakan emosi kita sendiri dan mengembangkan sikap yang calm and low-key.
Untuk bisa menjawab pertanyaan yang sulit, sebagai pemimpin, kita harus memiliki informasi yang akurat, baik mengenai wabah yang melanda, terhadap perkembangan situasi ekonomi, politik dan sosial, maupun bagaimana kita sebagai pemimpin melihat masa depan. Pemimpin tidak boleh speechless dalam menanggapi keluhan maupun pertanyaan bawahan. Ia harus mampu menjawab secara asertif, menyampaikan fakta-fakta dengan tenang dan tegar agar tidak menimbulkan ketakutan baru. Tetap suarakan kepedulian, sambil berhati-hati agar tidak melakukan overpromising. Jangan menjanjikan sesuatu seperti jalan keluar yang kita sendiri pun belum yakin benar akan bisa kita penuhi.
Kita bisa mengatakan bahwa kita ada dan selalu siap untuk dihubungi bila ada masalah, tetapi tidak menjanjikah hal yang lebih jauh lagi. Sikap empati ini juga akan mengurangi gosip atau rumor. Kita justru bisa bersikap jujur dengan berkata: The organization is facing a challenge unlike anything it has ever faced. Let me tell you what we did, why we did it, and how we can move on. Yang jelas, semua mata dengan penuh harap menatap diri kita sebagai pemimpin. Kita harus kuat dan be selective and cautious about how much stress and emotion you show to your team.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING