Di TikTok bahkan terdapat 1,8 miliar tayangan dengan tagar #sidehustles yang mengagungkan kerja keras tiada henti untuk mencapai kesuksesan. Minuman kopi digambarkan sebagai gaya hidup pekerja keras untuk menambah daya tahan menghadapi tumpukan pekerjaan dan rapat demi rapat.
Banyak contoh yang menggambarkan kesuksesan hasil kerja keras ini. Kekaguman dari lingkungan, kenyamanan hidup dengan beragam fasilitas, barang bermerek, dan kenikmatan menjadi tujuan bagi mereka yang meyakini gagasan ini. Untuk mencapai semua itu, mereka bahkan rela untuk mengorbankan aspek lain dalam hidupnya.
Di sinilah budaya ambisi untuk meraih hal yang lebih menjadi dorongan dari sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi biasa. Budaya ini meyakinkan kita bahwa untuk sukses kita harus memacu diri bekerja lebih lama dan lebih keras.
Di beberapa organisasi, tak jarang rapat-rapat diadakan sampai melewati tengah malam demi mencapai target yang lebih tinggi lagi. Meskipun pekerjaan telah selesai, ada yang tidak berani pulang ketika atasan masih di kantor, khawatir dipandang negatif oleh atasan dan rekan kerjanya.
Namun, bagaimanakah dampak semua itu terhadap kesehatan mental dan fisik kita?
Pandemi membangunkan kita pada kesadaran bahwa bukan bekerja saja yang terpenting dalam hidup. Kita semua tergugah dengan kenyataan betapa pentingnya menjaga kesehatan, baik fisik maupun mental. Individu mulai mengevaluasi kembali keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi mereka. Orang mulai membuat prioritas.
Survei yang dilakukan Prudential pada 2022 menunjukkan, 70 persen pekerja di Amerika sudah memprioritaskan atau mempertimbangkan untuk mendahulukan kehidupan pribadi di atas pekerjaan dan karier mereka. Ada sekitar 20 persen peserta survei yang bahkan bersedia menerima pemotongan gaji demi keseimbangan hidup yang lebih baik.
Media sosial pun mulai mendengungkan isu-isu lain seperti “soft life”, tren gaya hidup yang menunjukkan seseorang memilih menjalani hidup dengan lebih santai untuk menghindari stres atau tekanan yang berlebihan serta menetapkan prioritas utama pada kebahagiaan, kesehatan mental, dan keseimbangan hidup.
Selain itu, ada tren “bare minimum mondays” sebagai jawaban atas fenomena “I hate Mondays”. Bare minimum mondays mengacu pada karyawan yang melakukan pekerjaan dengan tanggung jawab minimal pada hari pertama minggu kerja. Konsep ini memercayai bahwa dengan mengurangi tekanan untuk bekerja pada hari Senin, karyawan dapat meminimalkan kecemasan mengenai minggu yang akan datang dan membuat hari Senin tidak terasa terlalu menakutkan.
Menghindari jebakan budaya “hustle”
Ryan Crownholm, seorang penulis dan wirausaha, berpendapat, kesuksesan jangka panjang membutuhkan pendekatan holistis, mencakup tidak hanya pekerjaan, tetapi juga kesejahteraan pribadi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada masa ketika kita memang perlu mengejar tenggat ataupun tuntutan pelanggan yang mendadak.
Namun, kita perlu waspada agar situasi ini tidak menjadi budaya sehari-hari. Menurut Crownholm, produktivitas sejatinya bersumber dari kerja dengan tujuan dan niat, bukan tanpa henti.
Manoj Dias, Co-founder Open dan VP of Mindfulness, juga berpendapat bahwa tanpa istirahat, kita tidak bisa berfungsi secara optimal. Kita malah cenderung bereaksi secara impulsif karena beroperasi dengan rangsangan hormon kortisol dan adrenalin.
“Jika ingin menjalani hidup dengan sepenuh hati, kita harus memiliki niat untuk membudayakan tidur dan bermain serta melepaskan kelelahan sebagai simbol status dan produktivitas sebagai harga diri,” kata Brené Brown.
Selain berjuang memperbaiki mindset, kita juga perlu mewaspadai pengaruh dari luar. Sebagai manusia, kita memang cenderung berusaha mendapatkan social approval. Dengan budaya yang menekankan kerja keras, orang mengagumi mereka yang datang paling awal dan pulang paling malam. Senantiasa terlihat sibuk menjadi yang paling dicari sampai selalu bisa dihubungi meskipun pada hari libur membuat kita merasa penting.
Produktif tanpa “hustle”
Pekerjaan memang penting dalam hidup kita. Melalui bekerja dan berkarya, kita juga dapat menjadi berarti. Namun, sebagaimana hidup yang bermakna tidak dinilai dari panjang ataupun pendeknya umur, kerja yang berkualitas pun tidak dapat diukur dari waktu yang dihabiskan.
Work smart not hard, demikian kata mereka yang berusaha mencari cara-cara baru, membuat sistematika sampai otomasi yang dapat membuat pekerjaan rutin dan repetitif bisa lebih efisien. Oleh karena itu, waktu yang ada dapat dimanfaatkan untuk pekerjaan yang memiliki nilai tambah.
Para atasan mendorong timnya untuk membuat tenggat yang realistis bukan idealis, sampai pada disiplin memulai dan mengakhiri rapat tepat waktu untuk membiasakan fokus bekerja pada waktu yang telah disepakati.
Saat membuat jadwal rencana kegiatan, pastikan hal-hal penting lain dalam hidup kita pun mendapat bobot sama pentingnya dengan pekerjaan. Dengan demikian, hidup kita juga mendapat tempat dalam jadwal rencana.
Kita juga perlu mengenal ritme biologis tubuh. Ada “orang pagi”, ada “orang malam”. Sesuaikan kegiatan bekerja yang memerlukan konsentrasi tinggi pada saat energi kita lebih penuh meski tentunya perlu juga mempertimbangkan ritme rekan kerja yang berbeda agar kita tetap dapat berkoordinasi dengan baik. Jangan lupa memanfaatkan waktu jeda agar tubuh kita dapat segar kembali untuk bekerja dengan energi baru.
Steve Jobs yang supersibuk pun tetap memiliki prinsip “Hanya dengan mengatakan tidak, Anda dapat berkonsentrasi pada hal-hal yang benar-benar penting.” Kita memang perlu berani mengatakan tidak, termasuk pada diri sendiri dan menetapkan batasan yang membela kesejahteraan jiwa kita. Tidak setiap hari harus sangat produktif, asalkan selalu ada kemajuan walaupun belum sempurna.
“Dalam setiap hal yang dilakukan, Anda memilih arah. Hidup Anda adalah produk dari pilihan-pilihan.” –Dr Kathleen Hall
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.