Budaya kerja terus bergerak. Generasi yang kini mendominasi dunia kerja tidak lagi mudah digerakkan oleh insentif atau ditekan oleh sanksi. Mereka menuntut makna, ruang tumbuh, dan hubungan yang lebih setara.

Sementara itu, banyak organisasi masih bergantung pada pendekatan klasik: memberi hadiah, upah, bonus bagi yang patuh dan mencapai target; serta menjatuhkan hukuman bagi yang melanggar atau berperilaku tidak sesuai selera atasan. Pendekatan ini, yang dikenal sebagai carrot and sticks, makin kehilangan daya dorongnya.

Dalam banyak kasus, sistem ini akhirnya menciptakan hubungan kerja yang transaksional. Karyawan mulai berhitung “apa untungnya buat saya?” sebelum mengambil inisiatif. Rasa memiliki menipis, loyalitas pun melemah.

Tak heran, fenomena seperti quiet quitting, “sikap masa bodoh atau lebih ekstrem lagi, resign tiba-tiba”, dan bare minimum Mondays—melakukan tugas-tugas terpenting saja pada hari Senin—bermunculan di berbagai lini industri. Bukan karena karyawan malas, melainkan mereka kehilangan alasan untuk terlibat sepenuh hati.

Padahal, pada era ini, keterlibatan emosional menjadi kunci. Simon Sinek pernah mengatakan, “Ketika orang berinvestasi secara finansial, mereka menginginkan keuntungan. Ketika orang berinvestasi secara emosional, mereka ingin berkontribusi.” Organisasi yang ingin bertahan dan tumbuh tidak cukup hanya memenuhi aspek finansial dan untung-rugi. Mereka perlu menciptakan lingkungan kerja yang menggerakkan dari dalam.

Salah satu contoh yang relevan datang dari Salesforce, perusahaan teknologi global yang membangun budaya Ohana—konsep keluarga dari Hawaii. Di sana, karyawan diperlakukan sebagai bagian dari komunitas, diberi ruang untuk bersuara, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, layaknya dalam keluarga.

Hasilnya terlihat jelas, kepuasan meningkat, retensi membaik, dan kolaborasi tumbuh dengan sehat. Lingkungan seperti ini lebih menghargai hubungan, bukan sekadar hasil.

Ruang tumbuh yang kerap terabaikan

Manusia pada dasarnya adalah pembelajar. Sejak kecil, proses menguasai hal baru (berjalan, membaca, memecahkan teka-teki) memberi rasa bangga dan percaya diri. Semangat itu tidak hilang saat memasuki dunia kerja. Justru sebaliknya ketika diberi tantangan baru dan kepercayaan untuk menyelesaikannya, motivasi karyawan bisa melonjak tajam. Dunia kerja bisa dijadikannya ajang belajar dan sekaligus “bermain”.

Namun, dalam banyak organisasi, ruang untuk berkembang justru terbatas. Pekerjaan bersifat repetitif, peran dikotak-kotakkan, dan pengembangan diri sebatas pelatihan formal tahunan. Akibatnya, banyak karyawan merasa stagnan. Energi kerja menurun, potensi tidak tergali, dan akhirnya pencarian makna berpindah ke luar organisasi.

Sebenarnya, ruang tumbuh tidak harus selalu berbentuk pelatihan mahal atau program besar. Memberi tanggung jawab baru, mempercayakan proyek lintas tim, atau sekadar mengajak diskusi mengenai rencana karier pribadi bisa menjadi bentuk investasi yang bermakna. Tantangan yang dicanangkan dan dikelola dengan dukungan menciptakan rasa percaya diri. Sementara itu kepercayaan yang diberikan dengan tulus memunculkan rasa memiliki.

Dan Pink, dalam bukunya, Drive, menjelaskan bahwa motivasi sejati lahir dari tiga hal, yakni autonomy, mastery, dan purpose. Karyawan ingin memiliki kendali atas bagaimana mereka bekerja (autonomy), merasa bahwa mereka berkembang dalam keterampilan (mastery), dan memahami makna dari apa yang mereka kerjakan (purpose). Ketika ketiga elemen ini terpenuhi, energi kerja yang muncul tidak sekadar untuk memenuhi kewajiban, tetapi juga tumbuh dari semangat untuk berkontribusi.

Organisasi yang ingin keluar dari budaya transaksional perlu mulai membangun sistem yang memfasilitasi pertumbuhan. Tidak hanya memberi arahan, tetapi juga menyediakan panggung bagi orang-orangnya untuk mencoba, gagal, belajar, dan kembali mencoba.

Sikap suportif ini harus datang dari pucuk pimpinan sampai dengan manajemen lini, tidak terkecuali. Di sinilah transformasi dari “kerja demi gaji” menjadi “kerja karena ingin berkontribusi” mulai terbentuk.

Dari transaksi menuju transformasi

Transformasi budaya organisasi bukanlah soal memilih antara insentif atau tidak, sanksi atau tidak. Pertanyaannya lebih dalam: apa fondasi dari relasi antara organisasi dengan orang-orang di dalamnya?

Jika fondasinya hanya imbalan dan pengawasan, hubungan yang terbentuk akan rapuh, mudah retak saat tekanan meningkat atau ekspektasi tidak terpenuhi. Namun, jika fondasinya adalah kepercayaan, penghargaan, dan makna, organisasi akan punya daya tahan yang lebih kuat.

Baca juga: Membangun Mental Mandiri dan Proaktif

Karyawan tidak lagi cukup digerakkan oleh gaji, bonus, atau ancaman disiplin. Mereka mencari makna dalam pekerjaannya, ingin merasa penting bagi timnya, dan ingin tahu bahwa kontribusinya membawa dampak. Dalam lanskap seperti ini, peran pemimpin pun ikut bergeser, dari sekadar pengatur menjadi pemberi arah, dari pengawas menjadi pemberi makna.

Organisasi yang berhasil keluar dari jebakan budaya transaksional adalah mereka yang secara sadar menciptakan ruang aman untuk berdiskusi, memberi umpan balik dengan empati, dan menata sistem kerja yang memberi ruang eksplorasi dan otonomi. Komunikasi dua arah menjadi kebiasaan. Pertumbuhan personal disambut sebagai bagian dari strategi organisasi, bukan sekadar urusan pribadi karyawan dan bahkan dilihat sebagai potensi pertumbuhan perusahaan.

Meninggalkan pola pikir carrot and sticks bukan berarti melepaskan struktur atau mengabaikan hasil. Justru sebaliknya, organisasi perlu lebih cermat menata ulang arah, proses, dan relasinya. Hasil tetap penting, tetapi cara mencapainya perlu lebih manusiawi. Dan, ketika orang merasa aman, dihargai, dan bertumbuh, hasil kerja pun akan mengikuti, dengan semangat yang lebih “sustainable”.

Budaya kerja yang sehat tidak dibangun dari sistem pengendalian, tapi dari relasi yang tumbuh. Bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal kebermaknaan. Saat organisasi berani bergeser dari relasi transaksional menuju relasi interpersonal, dari sistem berbasis hadiah-hukuman menuju kepercayaan dan rasa memiliki, di situlah daya hidup dan masa depan yang berkelanjutan mulai terbentuk.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman & Daniel Christiananda

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.